Ketika membuka Kongres Walubi 1986, Presiden Soeharto memberikan pernyataan bahwa tidak ada istilah mayoritas dan minoritas dalam kehidupan beragama untuk ikut membangun negara. Itu berarti kelima agama yang diakui secara sah di Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk berperan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun, agama Budha, dalam hal ini diwakili Walubi sebagai wadah majelis-majelis agama Budha yang diakui pemerintah Indonesia, menurut saya, belum menjalankan perannya secara maksimal. Kiprah Walubi sejauh yang saya dengar selama ini hanyalah perselisihan dan pertikaian intern. Padahal, dari dulu agama Budha terkenal sebagai agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan perdamaian. Dalam sejarah penyebarannya, agama Budha tak mengenal pertikaian dan pertumpahan darah. Selain itu, agama ini berkembang subur dan dapat membawa kejayaan dan kemakmuran bagi rakyatnya, seperti zaman Raja Asoka di India, Sriwijaya, dan Majapahit. Bahkan, meninggalkan peninggalan budaya yang sampai sekarang masih bisa kita saksikan, seperti Candi Borobudur. Maka, sangat disayangkan, pada saat banyak permasalahan bangsa muncul, Walubi jutstru berselisih di antara anggotanya. Sebentar lagi Walubi akan berkongres. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah Walubi sudah betul-betul siap berkongres? Jangan sampai masa lima tahun mendatang tersia-sia. Fungsi, bentuk, dan tugas Walubi perlu dipikirkan secara jelas dan tegas. Karena, Walubi dibentuk bukan untuk menjadi wadah pertikaian. Bangsa dan negara ini membutuhkan karya dan pemikiran yang nyata dari agama Budha. ENI MULIA Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini