Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Hubungan Indonesia dan Malaysia

Surat pembaca soal politik Indonesia sekarang dan hubungan diplomatik dengan Malaysia.

 

2 Juli 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Surat pembaca

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik Kita Sekarang

HIRUK pikuk politik Indonesia sering kali diwarnai “dendam” dan kebencian personal yang tidak jelas. Kok, bisa rasa benci itu mendarah daging? Sampai-sampai jika kita berfoto dengan tokoh yang seseorang benci pun kita ikut dibenci oleh orang itu pula. Lagi pula apa yang dia atau kita pilih pun kita tidak tahu karena prinsip pemilihan umum Indonesia adalah rahasia. Diskusi politik kita sudah mulai tidak sehat. Tidak ada lagi pertukaran ide-ide besar untuk kemajuan Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang ada adalah kekuasaan dan keserakahan. Yang ada adalah aku yang baik dan yang lain jahat. Oligarki dan monopoli telah meluas. Muncul pula korupsi, kolusi, dan nepotisme gaya baru. Padahal masa depan republik ini dalam pertaruhan besar. Kita tidak hanya menghadapi ketidakpastian global, tapi juga kekerdilan jiwa pemimpinnya sendiri, yang kata-katanya tidak sesuai dengan perbuatan. Ini juga yang menjadi kerisauan Muhammad Hatta dalam Demokrasi Kita (1960).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sistem ketatanegaraan kita pun menjadi kacau-balau setelah Undang-Undang Dasar 1945 dipermak sedemikian rupa pada era Reformasi dan tidak senapas lagi dengan Pancasila. Salah satu contoh adalah tidak kongruennya sila kelima Pancasila yang jelas menyatakan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Maka jelas fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat sekarang ini sudah bertentangan. Pemilihan langsung Presiden juga tidak sesuai. Negara kita menganut sistem presidensial, bukan parlementer. Sungguh menggelikan kalau para elite politik dan pemerintahan dengan lugunya membentuk koalisi. Koalisi hanya dikenal dalam sistem kabinet parlementer.

Adri Istambul Lingga Gayo Sinulingga
Sidoarjo, Jawa Timur


 

Diplomasi Publik dengan Malaysia

HUBUNGAN Indonesia dengan Malaysia selama 15 tahun belakangan ini mengalami pasang-surut. Indonesia dan Malaysia pernah mengalami konflik pada masa Presiden Sukarno dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Pada masa Orde Baru, hubungan Indonesia dan Malaysia tidak mengalami masalah serius, meskipun ada problem perbatasan, termasuk perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan sejak 1969.

Setelah 1998, hubungan Indonesia-Malaysia juga pasang-surut. Pada 2005, ada sengketa Ambalat. Kemudian pada 2007 terjadi protes masyarakat Indonesia atas penggunaan lagu “Rasa Sayang-Sayange” dalam iklan pariwisata Malaysia. Muncul pula masalah klaim kesenian, seperti reog dan tari pendet. Termasuk permasalahan tenaga kerja Indonesia di Malaysia.

Pada era globalisasi, ketika hubungan antarmanusia makin kompleks, opini publik berpengaruh kuat dalam kebijakan luar negeri. Hal ini juga dipengaruhi oleh proses demokratisasi. Pada awal abad 21, ada sekitar 60 negara di dunia meliputi kawasan Eropa, Asia, dan Amerika Latin yang berada dalam proses demokratisasi. Di antaranya negara-negara di Eropa Timur dan Asia Tenggara, seperti Indonesia. Negara-negara ini kemudian menunjukkan tren global.

Demokrasi membawa pengaruh pada kebebasan masyarakat untuk mengekspresikan pemikiran politik mereka. Pemikiran politik ini tidak hanya menyangkut isu domestik, tapi juga globalisasi ekonomi, yang mencoba membuka batas negara. Lalu ada pula perkembangan teknologi informasi dengan Internet menjadi alat yang umum dalam hubungan dan komunikasi manusia. Jarak dan waktu bukanlah sebuah kesulitan.

Apa itu diplomasi publik? Publik menjadi obyek dan subyek. Publik sebagai obyek dalam arti publik di negara lain adalah obyek atau tujuan diplomasi negara. Adapun publik sebagai subyek ikut serta dalam aktivitas diplomasi negara/pemerintah. Dalam pendekatan tradisional, diplomasi didefinisikan sebagai seni bernegosiasi dengan negara lain. Dalam perkembangan diplomasi saat ini, beberapa ahli mengatakan diplomasi telah meninggalkan sisi tradisionalnya, yaitu dominasi negara.

Kata diplomasi publik pertama kali digunakan di media The London Times pada Januari 1856. Mereka menggunakan kata ini untuk mengkritik kebijakan Presiden Franklin Pierce dan mendorongnya untuk memberikan contoh kepada warga dalam proses diplomasi. Pada Januari 1871, The New York Times melaporkan perdebatan kongres tentang intrik rahasia dalam kebijakan menganeksasi Republik Dominika. Dari sudut pandang media massa, kata diplomasi publik juga digunakan oleh pemimpin politik seperti Presiden Wilson pada 1918 yang menyampaikan empat prinsip dalam pemerintahannya.

Nadya Putri Az-Zahra
Mahasiswa Universitas Fajar, Sulawesi Selatan 
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus