Sebagai pemuda asal Kabupaten Fakfak, Irianjaya, saya "menangis" membaca iklan PT Freeport Indonesia seperti dimuat di Majalah Tempo, 12 Oktober 1998, dan harian Bisnis Indonesia, 26 Oktober 1998, yang intinya mengatakan bahwa eksistensi Freeport memberikan manfaat bagi pembangunan Irianjaya.
Padahal, menurut saya, sejak saya SD hingga di universitas dan kini wiraswasta, jalan darat dari Kabupaten Fakfak ke Kecamatan Kokas, yang hanya lebih kurang 35 kilometer, sampai kini belum 100 persen mulus. Kalaupun ada kemajuan, relatif lamban, dengan kualitas rendah, padahal ini satu-satunya jalan yang diharapkan meningkatkan arus ekonomi. Akibatnya, penduduk memilih jalan laut--kurang lebih lima jam, apalagi jika musim hujan.
Infrastruktur dasar lain berupa kelancaran dan keterjaminan fasilitas air bersih saja belum optimal, apalagi musim kemarau, hampir kesulitan air, sehingga air sungai menjadi alternatif. Padahal terdapat sumber air potensial yang lebih menjanjikan untuk sumber perusahaan air minum dan tak jauh dari kota. Beberapa waktu lalu, masih ada warga yang mati kelaparan di daerah pedalaman yang dekat pertambangan ini. Ibarat "mati kelaparan di atas lumbung padi sendiri".
Karena itu, distribusi pendapatan yang desentralisasi sangat penting untuk pembangunan Irianjaya yang ketinggalan. Pemerintah harus mengoptimalkan manfaat proyek untuk rakyat sendiri, jangan investor swasta nasional saja yang memang "profit oriented".
Nicolas H.T.
Surabaya
Alamat lengkap pada Redaksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini