Orang tua saya adalah Kepala SD Negeri. Sekitar tahun 1980, petugas Asuransi Jiwasraya Cabang Tangerang datang ke sekolahnya. Ia berhasil mengajak bapak saya dan guru-guru lainnya membeli polis asuransi jiwa dengan ketentuan harus membayar premi per bulan dalam mata uang US dolar atau sekitar Rp 15 ribu. Empat tahun pertama, pembayaran memang tidak memberatkan. Soalnya, petugas asuransi datang secara rutin. Tapi pada tahun- tahun berikutnya, petugas tersebut tidak pernah datang lagi, sehingga beban premi yang biasa dibayar rutin berganti menjadi utang yang terus membesar. Akibatnya, sebagian besar guru terpaksa keluar dari keanggotaan asuransi karena mereka tidak mampu membayar utang premi tersebut. Sebagai gantinya, mereka hanya mendapat kurang dari 40 persen atas total premi yang telah disimpannya. Melihat kenyataan ini, bapak saya tidak jadi keluar, dan dengan susah payah melunasi utang premi tersebut. Sampai sekarang sisa utang premi tersebut masih banyak. Bapak saya mengeluh dan berasumsi, pihak asuransi sengaja memperlakukan seperti itu karena jelas lebih menguntungkan asuransi. Pengalaman ini perlu menjadi pelajaran bagi kita, terutama bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah, bila ingin menjadi nasabah asuransi. Menurut saya, pihak asuransi seharusnya lebih mengutamakan harapan-harapan nasabahnya atas manfaat yang akan diperolehnya, sehingga asas saling menguntungkan sama-sama bisa diperoleh. Juga, pihak asuransi seharusnya mau memberikan kemudahan kepada nasabahnya dalam melakukan pembayaran premi per bulan.SYAHRONIKalideres, Tangerang Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini