DENGAN dua medali emas, kegembiraan pun meledak di sini, seakanakan Indonesia telah menjuarai Olimpiade Barcelona. Begitu riuh rendahnya suara sorak gembira. Bahkan banyak yang terisak karena tak kuat menahan haru. Di segala pelosok Tanah Air, di kantor, di jalan, di kedai kopi, atau di mana saja, orang membicarakannya. Kemenangan ini seolaholah menenggelamkan kegagalan di cabang lainnya. Bahkan telah menghapus kegagalan bulu tangkis Indonesia di berbagai kejuaraan, akhir-akhir ini. Penyambutan untuk duta olah raga Indonesia ini disiapkan secara besar-besaran, pekan ini. Para pengusaha Indonesia pun ramai-ramai menyiapkan hadiah milyaran rupiah untuk Susi dan Alan. Pemerintah juga akan memberikan penghargaan untuk olahragawan yang telah mengharumkan nama Indonesia ini. Semua itu tentu merupakan peristiwa yang menarik untuk ditulis dalam sebuah laporan utama. Untuk itu, kami memang telah melakukan persiapan. Liston Siregar, wartawan kami yang sering meliput berita olah raga, kami kirim ke Barcelona. Karena itu, ia ikut menyaksikan sendiri acara pengalungan medali emas di leher Susi dan Alan. Untuk laporan utama ini, Liston pula yang mewawancarai Susi dan Alan, serta sejumlah sumber lainnya, di Barcelona. Di Jakarta dan daerah, wartawan kami bergerak untuk mendukung pengumpulan bahan cerita yang sedang hangathangatnya dibicarakan ini. Bagi Liston, ditugaskan seorang diri untuk meliput Olimpiade Barcelona memang tak mudah. Apalagi ia berangkat ke Barcelona tanpa kartu identitas yang dikeluarkan penyelenggara olimpiade. Sejak setahun yang lalu, kartu itu sudah diurus, tapi tak dapat diperoleh. Rupanya, kartu yang dikeluarkan panitia terbatas jumlahnya. Karena itu, banyak wartawan dari berbagai penjuru dunia mengalami nasib seperti Liston. Karena itu pula, pihak penyelenggara menyediakan press center palsu, dengan fasilitas mesin ketik dan dua komputer. Untuk menggunakan fasilitas ini, para wartawan harus membayar 1.000 pesetas setiap hari. Dengan kartu identitas palsu itu, Liston bisa masuk ke press center olimpiade. Sedangkan di lapangan pertandingan, ia mengalami perlakuan sebagai penonton biasa. Ada lagi kerepotan lain. Masyarakat di sana tak bisa berbahasa Inggris. Penduduk yang pintar berbahasa Inggris sudah ditugaskan di perkampungan atlet, stadion, dan press center. Maka, di luar arena ini, menurut Liston, ia mengalami kesulitan berkomunikasi. Orang yang berlalu-lalang di jalan hanya bisa berbahasa Spanyol. Sementara itu, penjagaan keamanan begitu ketatnya. Maklumlah, pada setiap pesta olah raga seperti ini, ancaman teroris selalu menghantui. Ketua PBSI Jenderal Try Sutrisno turut merasakan ketatnya penjagaan. Beberapa saat setelah Hermawan Susanto mengalahkan pemain bulu tangkis Cina Zhao Jianhua, Try Sutrisno hendak mengadakan pertemuan dengan atlet Indonesia. Ternyata, ruangan yang akan dipakai untuk pertemuan itu berada di wilayah yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang punya kartu identitas. Padahal, tak semua anggota rombongan Pak Try memiliki kartu itu. Akhirnya, pertemuan terpaksa dilaksanakan di pojok lapangan, dengan duduk bersila di atas karpet. "Polisi di sini galak-galak," ujar Try tersenyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini