Pada 6-9 Mei 1991 lalu, saya mengunjungi teman keluarga Amerika yang sedang berlibur di Ubud, Bali. Saya sudah memesan tiket pesawat Merpati pergi-pulang Surabaya-Denpasar, dan sudah dinyatakan oke. Perjalanan ke Denpasar lancar dan tepat waktunya. Namun, waktu kembalinya ke Surabaya, pelayanan sangat mengecewakan. Kebetulan teman Amerika saya ikut mengantarkan saya sampai di Bandara Ngurah Rai. Ketika saya akan check-in dikatakan oleh petugas bahwa pesawat yang akan berangkat pukul 08.15 sudah terisi penuh, sehingga saya tidak dapat naik pesawat itu walau tiketnya sudah oke. Petugas mengakui bahwa itu adalah kesalahan mereka, yang katanya telah menerima penumpang lebih banyak dari jumlah kursi yang ada. Walau merasa kesal dan marah atas pelayanan ini saya tetap menerima tawaran petugas untuk dialihkan ke pesawat yang sore. Justru teman Amerika sayalah yang memprotes. "Bagaimana kalau saya ada keperluan penting dan harus segera pulang? Seharusnya pihak airport segera dapat mencarikan pesawat. Kalau tak bisa, penumpang harus mendapat ganti rugi berupa tiket gratis dan fasilitas telepon interlokal untuk memberi tahu yang akan menjemput di airport," kata teman itu. Saya sangat malu, karena hal ini terjadi di depan orang asing. Juga pada saat kita sedang mempromosikan Visit Indonesia Year. Seharusnya, kita dapat memberi servis yang baik dan memuaskan bagi para penumpang. Setelah kami keluar dari airport, saya hanya bisa berkata, "Anyway, this is Indonesia". DRA. ESTHER KUNTJARA, M.A. Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Petra Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini