Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti dua edisi kerusuhan 21-22 Mei 2019 yang diterbitkan majalah ini dalam dua pekan terakhir. Kami terkejut bahwa berkas format dokumen portabel (PDF) dua edisi tersebut beredar pada Ahad pagi di grup-grup percakapan aplikasi WhatsApp. Edisi digital Tempo muncul pada Sabtu malam dan versi cetak baru beredar Senin pagi.
Ada pelanggan digital Tempo Media Apps yang mengapresiasi liputan itu, lalu dengan penuh semangat menyalin isi majalah dan mengubahnya ke dalam berkas PDF, kemudian menyebarkannya. Kami percaya mereka tak punya niat buruk: mereka hanya ingin artikel-artikel itu dibaca oleh sebanyak mungkin orang.
Bagi para penulis dan wartawan, tersebarnya karya mereka tentu menyenangkan. Penulis di mana pun selalu berharap karyanya dibaca luas. Dalam hal jurnalistik, viralitas menjadi penting karena dengan demikian artikel itu akan mewarnai wacana publik.
Di sisi lain, kami bersedih karena menyadari jurnalisme yang bermutu adalah hasil kerja panjang dan militan. Jurnalisme investigasi yang kami praktikkan membutuhkan waktu, koordinasi, tanggung jawab, ketekunan, juga keberanian—sebuah kerja besar. Semua upaya itu membutuhkan biaya. Karena itu, majalah Tempo dan Koran Tempo, selain dicetak, didistribusikan secara digital dalam format berbayar. Tersebarnya versi bajakan dari dua edisi majalah Tempo, selain mencederai hak cipta, merugikan mereka yang telah membeli dengan berlangganan.
Informasi gratis cenderung berbahaya di era pelintiran seperti sekarang, seperti diyakini sejarawan Yuval Noah Harari. Informasi berbayar membuat kita—Anda dan kami—kian bertanggung jawab dalam menyajikan dan mengunyah berita. Sebab, dengan Internet dan media sosial, tiap orang kian mudah mengakses informasi. Tapi, konsekuensinya, kabar bohong dan menipu acap lebih cepat muncul ketimbang berita yang terverifikasi.
Kami ingin bertahan menyajikan berita yang terverifikasi itu, di tengah tsunami informasi yang menghembalang keseharian kita. Tapi, untuk itu, kami sadar harus mengadopsi dan beradaptasi dengan keadaan, terutama dalam soal menyediakan format berita di era digital.
Tempo berkali-kali bereksperimen—melalui pelbagai aplikasi dan platform—dalam menyajikan konten majalah, koran, ataupun tulisan-tulisan panjang. Percobaan itu tidak mudah, butuh kesabaran, bahkan penelitian, dan tes pasar yang acap berubah secara cepat.
Sudah beberapa bulan terakhir kami menghilangkan berkas PDF dan hanya menyediakan artikel dalam format aplikasi. Selain menghindari pembajakan, format itu memudahkan pembaca mengakses tiap-tiap artikel. Tempo digital tidak cuma berisi teks, tapi juga pesan suara, infografis, dan video pendek.
Kami pelan-pelan mengikuti arus revolusi digital dengan inovasi berita dan medium penyampaiannya. Kami senang karena makin banyak orang yang sadar bahwa dengan mengeluarkan sedikit uang untuk berlangganan produk Tempo, mereka telah menjadi bagian dari proses produksi kami lewat jalur pembiayaan publik (crowdfunding).
Ikhtiar itu mendapat dukungan yang luas. Di media sosial, banyak pembaca dan kolega yang secara sukarela mengimbau masyarakat menghentikan peredaran berkas PDF majalah dua edisi itu. Dampaknya sangat terasa: sepanjang dua pekan terakhir, pengunjung aplikasi Tempo Media, baik di Android maupun Apple Store, melonjak hingga 900 persen. Dukungan itu memacu semangat kami menyajikan liputan-liputan bermutu untuk Anda semua—juga untuk Indonesia, negeri yang selalu kita bela dan kita cintai.
Keberatan Kopassus
SEHUBUNGAN dengan pemberitaan Tempo edisi 10-16 Juni 2019 dengan judul pada sampul “Tim Mawar dan Rusuh Sarinah”, di halaman 30, diulas berita dan foto tentang Mayor Jenderal TNI (Purnawirawan) Soenarko dan Letnan Kolonel Infanteri (Purnawirawan) Fauka Noor Farid dengan berita sebagai berikut:
a. Foto yang ditampilkan di majalah adalah foto Mayjen TNI (Purnawirawan) Soenarko memakai seragam Komando Pasukan Khusus dan foto Letkol Infanteri (Purnawirawan) Fauka Noor Farid memakai baret merah. Kopassus menegaskan bahwa Mayjen TNI (Purnawirawan) Soenarko telah menyerahkan jabatan Komandan Jenderal Kopassus dan menjadi Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda pada 14 Juli 2008. Sedangkan Letkol Infanteri (Purnawirawan) Fauka Noor Farid telah pindah satuan dari Kopassus sejak 31 Juli 2009 sesuai dengan Surat Perintah Komandan Jenderal Kopassus Nomor Sprin/835/VII/2009 tanggal 31 Juli 2009 selanjutnya telah mengajukan pensiun dini.
b. Berita yang diulas di Tempo edisi 10-16 Juni 2019 menonjolkan Mayjen TNI (Purnawirawan) Soenarko dan Letkol Infanteri (Purnawirawan) Fauka Noor Farid saat mereka masih berdinas di Kopassus sehingga menggiring opini pembaca ada keterkaitan Kopassus dengan peristiwa 22 Mei 2019.
c. Ada kata-kata yang dapat menggiring opini pembaca bahwa Kopassus mempunyai keterkaitan dengan peristiwa 22 Mei 2019 dalam artikel “Bau Mawar di Jalan Thamrin”. Kopassus menegaskan bahwa Tim Mawar telah bubar pada 1999.
d. Berita Tempo terkesan menjadikan Kopassus sebagai satuan yang selalu bermasalah dengan hukum dan bertentangan dengan pemerintah yang sah. Perlu diketahui bahwa Kopassus saat ini telah berubah. Reformasi besar telah dilaksanakan di Kopassus di mana setiap kegiatan selalu dilaksanakan secara profesional, sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta menjunjung hak asasi manusia. Selain itu, Kopassus telah menjalin kerja sama dengan negara-negara luar dalam rangka membangun citra positif untuk bangsa Indonesia.
e. Berita Tempo edisi 10-16 Juni 2019 sangat merugikan nama baik Kopassus karena menggiring opini bahwa Kopassus mempunyai keterkaitan dengan peristiwa kerusuhan di depan kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, pada 22 Mei 2019.
Karena itu, Kopassus meminta kepada Tempo untuk:
1. Membuat surat permohonan maaf secara resmi kepada Komandan Jenderal Kopassus tembusan Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat;
2. Membuat permohonan maaf kepada satuan Kopassus yang dimuat di halaman depan 10 media cetak nasional selama 7 hari berturut-turut dan meminta maaf secara terbuka dengan melaksanakan konferensi pers di media televisi nasional paling lambat 3 hari kerja setelah menerima secara resmi surat pemberitahuan ini;
3. Mengklarifikasi pemberitaan pada edisi berikutnya dan tidak lagi mencantumkan nama institusi Kopassus serta foto-foto purnawirawan dengan memakai seragam ataupun atribut Kopassus yang dapat menggiring opini pembaca bahwa satuan Kopassus mempunyai keterkaitan dengan peristiwa kerusuhan di depan kantor Bawaslu, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, pada 22 Mei 2019;
4. Sebelum memuat berita tentang klarifikasi, agar melaporkan lebih dulu kepada Penerangan Kopassus untuk mendapat persetujuan; dan
5. Apabila surat pemberitahuan ini tidak diindahkan pihak majalah Tempo, satuan Kopassus akan menempuh jalur hukum.
Atas nama Komandan Jenderal Kopassus
Kolonel Infanteri Achiruddin S.E.
Asisten Intelijen
Sesuai dengan aturan Dewan Pers, surat ini telah disunting tanpa mengubah maknanya.
Soal Iklan Unpar
SAYA tergelitik membaca iklan Program Filsafat Budaya Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, yang dimuat Tempo edisi 10-16 Juni 2019. Mengutip Profesor Bambang Sugiharto, guru besar Fakultas Filsafat Unpar, iklan tersebut menarasikan bahwa budaya baca-tulis bangsa Indonesia baru “bangun” setelah 1998 di era reformasi, jauh tertinggal dibanding budaya baca-tulis negara-negara Barat yang terbentuk sejak 500 tahun silam atau budaya Jepang yang sudah maju pasca-Restorasi Meiji pada abad ke-19. Lalu disimpulkan, itulah sebabnya masyarakat Barat lebih terbiasa berpikir dan menulis secara argumentatif dan mendalam, sementara masyarakat Indonesia gagap dan serba tidak matang.
Saya menduga, barangkali, ada penjelasan sang profesor yang tak dikutip lengkap dalam narasi iklan. Namun, sebagai pengajar filologi, saya perlu memberikan perimbangan informasi bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia terekam jauh sebelum terbentuknya negara-bangsa (nation-state). Tepatnya sejak 650 tahun silam tradisi baca-tulis bangsa ini sudah terbilang maju jika indikatornya adalah karya tulis. Sekadar contoh: Kakawin Nagarakretagama, yang berkisah tentang Kerajaan Majapahit, ditulis Mpu Prapanca pada 1365 Masehi. Pada masa yang sama, Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma yang kelak menjadi inspirasi para pendiri republik ini untuk mengikat bangsa Indonesia dalam Bhinneka Tunggal Ika. Karya tulis yang luar biasa itu dihasilkan ketika masyarakat Eropa-Barat baru mengawali kejayaan aksara Latin pada abad ke-14.
Budaya baca-tulis bangsa Indonesia makin tampak jejaknya ketika Islam berkembang di bumi Nusantara. Sedikitnya 18 kelompok bahasa daerah di Nusantara telah dipakai untuk menulis kajian tentang agama, sosial, dan budaya dengan argumentasi yang kuat dan mendalam. Sebagian karya itu bahkan menjadi materi kajian serius di sejumlah perguruan tinggi ternama di Eropa hingga kini.
Iklan boleh mengunggulkan opini, tapi jangan sampai mengaburkan fakta. Di era post-truth ini, mari kita budayakan informasi yang akurat agar masyarakat kian matang.
Oman Fathurahman
Guru Besar Filologi FAH UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo