Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyelundupan mobil mewah tak pernah surut dari masa ke masa. Pada masa Orde Baru, Tempo menurunkan laporan “10 Tahun Plus” yang mengungkap skandal seorang pengusaha yang kerap bermain mata dengan petugas pabean untuk mengimpor puluhan mobil mewah secara ilegal. Praktik culas tersebut dilakukan untuk menyiasati tingginya tarif pajak terhadap komoditas mobil mewah kala itu.
Jaksa penuntut umum meminta hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 10 tahun bui kepada Robby Tjahjadi. Pemilik 26 mobil mewah itu diyakini bersalah memanipulasi dokumen impor untuk memperkaya diri sendiri. Jaksa yang berkali-kali meneguk minuman saat membacakan tuntutan itu mengemukakan bahwa perbuatan terdakwa merugikan negara hingga Rp 716 juta.
Menurut jaksa, tindakan Robby dianggap melawan hukum lantaran membeli mobil di luar negeri atas nama sejumlah pemegang paspor. Sebagai barang penumpang, mobil itu disebut pindahan dan kiriman agar terbebas dari bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan MPO. Atas fasilitas yang ditunggangi terdakwa itu, orang-orang tersebut mendapat sejumlah uang dari terdakwa sebagai imbalan.
Di sini turut berperan formulir-formulir kepabeanan dan Sekkab yang dipalsukan, serta dokumen-dokumen lain. Tak alpa tindakan terdakwa memberikan hadiah kepada pejabat Bea-Cukai seperti Abu Kiswo, Kepala Dinas Penyelundupan Bea-Cukai Tanjung Priok; Willy Lumagit, Kepala Seksi Kendaraan Bermotor; serta Maulana Jadul, pemeriksa pada Dinas Penyelundupan.
Terdakwa juga menggunakan alamat-alamat fiktif untuk dituliskan pada paspor-paspor yang menghasilkan laba itu. Kemudian: mobil-mobil yang dimasukkan dipindahtangankan kepada orang lain tanpa izin Bea-Cukai. Bahkan semua mobil itu belum pernah dimiliki oleh orang yang memegang paspor—hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Tarif Tahun 1872.
Menurut penuntut umum khusus untuk barang pindahan mobil, bagi seseorang yang membeli mobil di luar negeri, kendaraan itu harus sudah ia miliki enam bulan sebelumnya di luar negeri. Jadi fasilitas tidak berlaku jika orang yang memegang paspor sudah kembali ke Indonesia dan kemudian mobil baru dibeli dari luar negeri, seperti cara Robby.
Setelah itu, unsur kedua: memperkaya diri sendiri. Dari pengakuannya terungkap bahwa modal usaha terdakwa mula-mula hanya Rp 5 juta. Tapi, dalam waktu hanya dua tahun, terdakwa yang masih muda ini berhasil memiliki kekayaan yang diperkirakan tak seimbang dengan usahanya. Ditaksir rumahnya di Jalan Tanjung berharga Rp 100 juta.
Dua puluh enam kendaraan mewah ditaksir bernilai Rp 60 juta. Kemudian peralatan rumah, 20 ribu meter tekstil, dan lain-lain dinilai seharga Rp 10 juta. Dan hasil yang tak sebanding dengan usaha dan melawan hukum itu mengakibatkan negara menderita kerugian ratusan juta rupiah. Sampai sini terpenuhi unsur ketiga: langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara.
Robby tak sendiri. Penuntut umum juga menguraikan persekutuan terdakwa dengan dua adik iparnya yang berperan sebagai calo: Heru dan Irawan Chandra. Dikatakan bahwa Robby selalu menerima pesanan dari calo melalui dua orang bersaudara ini. Alamat-alamat pemesan mobil diterima dari Heru—yang juga menguruskan pengeluaran mobil dari Priok.
Irawan dalam soal ini diberi kewenangan meneken cek dan melakukan penagihan. Bahkan Irawan jugalah yang meminjamkan mobil kepada Abu Kiswo dan Maulana Jadul, masing-masing satu Mercy. Semua kerja sama dilakukan di rumah terdakwa di Jalan Tanjung 28.
Selesai jaksa, hakim menerangkan jelas-jelas kepada terdakwa tentang apa yang dimaksudkan dalam tuduhan dan memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan pembelaan. Boleh sendiri boleh bersama-sama dengan pembela atau pembela saja.
Setelah dikasih kesempatan berunding sejenak antara pembela dan Robby, si terdakwa mengatakan tidak akan melakukan pembelaan sendiri. “Cukup pembela saya saja,” kata Robby. Masih adakah jalan lain bagi Robby yang dituduh memasukkan 228 mobil ini? Entahlah. Yang jelas, dia masih muda dan belum pernah dihukum, faktor-faktor yang meringankannya seperti yang disebutkan jaksa.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 17 Februari 1973.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo