Berangkat dari panggilan tugas bahwa di daerah banyak kekurangan guru dan fasilitas kurang memadai, saya sebagai guru SD ingin meringankan beban pemerintah dalam pemerataan guru. Sebab itu, saya memutuskan pindah ke daerah. Walaupun dari segi materi kurang menguntungkan keluarga yang sudah lama hidup di Jakarta, saya berharap proses kepindahan saya akan mendapat angin segar dari bapak-bapak yang mejanya dilalui berkas saya. Namun, harapan itu hanya tinggal harapan. Sebab, start mutasi pertengahan bulan Februari 1990 baru masuk ke Biro Kepegawaian Depdikbud tanggal 4 Oktober 1990. Bukan hanya itu kekecewaan saya. Ketika saya menanyakan berkas saya di lantai 14 Depdikbud, pejabat yang ada di situ enak saja ngomong: "Tuh yang sudah dua bulan saja, Pengantar ke BAKN belum diketik." Yth., Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sekarang ini, kantung saya sudah terkuras habis. Tak mungkin lagi saya menggeser berkas saya supaya diproses menjadi SK dengan setumpuk amplop. Lagi pula, istri saya yang asli Betawi tidak sempat lagi mendampingi saya di dalam bertugas di desa. Ia telah dipanggil Yang Mahakuasa bersama anak saya yang kedua pada 12 November 1990. Almarhumah tidak sempat melihat SK mutasi suaminya, yang birokrasinya berbelit-belit dan banyak pungli. Ketika surat ini dibuat, teman saya yang ada di BAKN menginformasikan bahwa berkas saya belum masuk ke BAKN (14/11/90). Kapan SK saya turun? Hanya Bapak Menteri dan stafnya, terutama Ka Biro Kepegawaiannya, yang bisa menjawab. Saya hanya seorang guru SD, lapisan pegawai/aparat yang paling bawah. Semoga kasus saya tersebut hanya kebetulan menimpa diri saya pribadi. Andai nanti SK itu turun, akan saya kabarkan kepada istri dan anak saya. "Sayang, SK yang kalian nanti-nantikan itu kini telah turun." Walau kubisikkan hanya di atas nisan mereka. Nama dan alamat ada di Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini