KEPULAUAN Banggai terhampar antara Laut Maluku dan Laut Banda.
Dari sekumpulan pulau yang termasuk Provinsi Sulawesi Tengah
ini, ada sebuah pulau yang bernama Banggai juga. Di pulau ini
terdapat Desa Lokotoy, berpenghuni 527 orang.
Sebagian besar penduduk Lokotoy hidup sebagai penghasil kopra.
Makanan pokok mereka sebangsa talas yang dalam bahasa sana
disebut dekka. Cuma ada sebuah sekolah dasar dengan 4 orang guru
dan seorang tenaga Butsi IAIN Sunan Kalijaga Yogya, yang
mengasuh 140 orang murid.
Karena Luwuk -- I bukota Pemda Tingkat II Banggai - terletak di
Teluk Tolo dan menempel di tubuh Sulawesi, komunikasi dengan
kawasan bawahannya tidaklah begitu lancar. Misalnya, uang
tunjangan untuk kran (sebutan untuk kepala kampung) yang cuma
Rp 2.229 itu sering datang terlambat.
Tetapi mutiara dari Banggai tetap mendapat pasaran tinggi untuk
kawasan Amerika dan Eropa. "Sebelum dijual, kami proses dulu di
Jepang," kata Norihisa Taira (29 tahun) wakil presiden direktur
PT Nisshin Samudera Mutiara di Jakarta. Perusahaan PMA dengan
kontrak 25 tahun ini, menurut pengakuan Taira bermodal US$ 1
Juta.
Perusahaan ini memusatkan peternakan mutiaranya di Lokotoy.
Tenaga pribumi yang dipakai perusahaan itu di Lokotoy cuma 35
orang, dengan gaji mulai dari Rp 12.000 sampai Rp 35.000. Kerja
mereka terutama membuat keranjang kawat tempat siput-siput yang
diharap akan menelurkan mutiara, memeriksa dan membalik
siput-siput tersebut di tengah laut.
Dalam setahun Nisshin Samudra menargetkan dapat memelihara 100
ribu sipur. Tapi hingga saat ini, baru ada sekitar 53.000 ekor
yang mereka pelihara dan baru 9 ribu yang sudah dioperasi. Lewat
operasi inilah, siput dipaksa untuk menghasilkan gumpalan kecil
keras yang kemudian disebut mutiara.
Yang Bulat
"Tampaknya pekerjaan operasi ini mudah saja," kata Okamoto orang
Jepang dari perusahaan tadi yang kerjanya memang mengoperasi
siput-siput ini. Tetapi kalau salah 'iris dan saraf siput
terkena, matilah dia. Caranya: mula-mula kulit luar siput
dibersihkan. Lalu kerangnya yang terkatup erat dibuka dengan
paksa. Dengan hati-hati sekali, peace (sebagian dari sisi tubuh
si siput) digunting sekitar « cm.
Kemudian peace dan nuclear (kulit mutiara yang sudah dihaluskan
dan dijadikan bulatan-bulatan sebesar biji jagung) dimasukkan
kembali ke tempat yang telah terluka karena irisan tadi. Tubuh
siput akan terangsang dengan adanya benda asing di dalam
tubuhnya. Rangsangan ini akan mengeluarkan lendir yang kemudian
akan membentuk mutiara.
Sebuah rakit yang selalu terapung di tengah laut digantungi
kandang-kandan,e siput dari anyaman kawat. Siput harapan tadi
kemudian dikembalikan ke kandang kawat itu dan setiap 3 hari
sekali letak siput harus dibolak-balik selama 40 hari -- yaitu
dengan cara mengguncang-guncang kandangnya. Setelah 90 hari,
siput hasil operasian ini diambil lagi dan dengan sinar tembus
akan tampak apakah semaian mutiara jadi atau tidak.
Kalau gagal, sekali lagi sang siput menjalani operasi. Tetapi
kalau kiranya mubazir, diambil saja dagingnya untuk kemudian
dibagikan kepada karyawan Rasanya lumayan.
Siput-siput yang tampak bernas biji mutiaranya, dikembalikan
lagi ke kandang dan dibiarkan berada di dalam laut selama kurang
lebih 1,5 tahun. Setelah waktu ini cukup, berarti mutiara sudah
matang Sang siput diangkat lagi.
Mutiara yang bulat hanya bisa dihasilkan sebutir saja oleh
setiap siput. Sedangkan mutiara setengah bulat (dan kurang
mendapat pasaran) bisa terdapat 3-5 butir dalam tiap siput.
Membolak-balik tubuh si siput itulah yang konon bisa
menghasilkan mutiara yang bulat cemerlang. Tetapi hanya siput
yang berusia di bawah satu tahun yang boleh di operasi dan
dibubuhi nuclear agar menghasilkan mutiara.
Menurut Okamoto, siput-siput Indonesia lebih besar dibanding
siput-siput yang ada di perairan Jepang. "Tetapi kualitasnya
lebih baik Jepang," ujarnya. Namun mutiara dengan warna-warni
yang lebih indah didapat di kawasan Sulawesi dan beberapa tempat
lainnya di Asia Tenggara. Di Banggai sendiri, terdapat mutiara
berwarna biru, merah muda dan kuning. Warna merah muda biasanya
dihargai paling tinggi. Mutiara Banggai tergolong jenis Pinctada
Maxima.
Ditelan
Negara yang pertama kali menernakkan siput mutiara ini adalah
Tiongkok di abad ke-13. Tetapi kemudian disempurnakan oleh orang
Jepang. Terutama di tahun 190 oleh Mikimoto Kokichi setelah
lama mengadakan penelitian. Cultured pearls hasil semaian
Mikimoto nyaris sama denan mutiara asli.
PT Nisshin mengumpulkan siput yang akan dia ternakkan lewat
sebuah perusahaan lain, CV Cahaya Cemerlang yang mempekerjakan
14 orang penyelam. Gaji para penyelam antara Rp 20.000 -- Rp
25.000 ditambah premi Rp 350 setiap siput yang mereka temukan.
Cahaya Cemerlang menjual siput tadi kepada Nisshin dengan harga
Rp 2.000 sampai Rp 3.000 seekor.
Sepanjang 1978 saja Nisshin telah mengumpulkan sebanyak 400
mommi mutiara Banggai. Satu mommi sama dengan 3,75 gram. Satu
biji mutiara bulat berbobot sekitar 2-4 gram. Harga FOB Jakarta,
US$ 19.00/gram bila belum dipoles.
Menurut perjanjian PHP (Pungutan Hasil Perikanan), PT Nisshin
harus menyetor 1,5% dari harga seluruh produksinya. Tahun lalu
Nisshin telah menyerahkan PHP US 1.500 (sekitar Rp 937 ribu)
kepada Dinas Perikanan Kabupatan Banggai. Desa Lokotoy sendiri
hanya mendapat bagian aliran listrik dari Nisshin yang bisa
dinikmati sampai jam 22.00.
Para penyelam mutiara hanya dilengkapi tabung zat asam. Mereka
mampu menyelam sampai kedalaman 20-30 meter. Bagi penyelam yang
hilang (artinya mati) karena kram misalnya, perusahaan hanya
memberi ganti rugi sebanyak 4 bulan gaji dan ongkos penguburan.
Sesekali para penyelam mendapat mutiara asli. Sebetulnya ini
milik perusahaan yang mengupahnya. Tapi mereka selalu mempunyai
akal, demikian cerltera seorang nyonya yang suaminya Jadi Camat
Banggal. Mutiara itu mereka telan. Baru besok paginya mereka
nantikan mutiara itu keluar berbarengan dengan buang air besar.
Mutiara asli sebesar biji jagung di sana bisa mencapai Rp 35.000
sebutir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini