Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Mutiara Dari Banggai

Peternakan mutiara di lokotoy di p. banggai diusahakan oleh pt nisshin samudera mutiara jakarta (pma) mutiara dari banggai ini mendapat pasaran tinggi di amerika dan eropa.

7 Juni 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPULAUAN Banggai terhampar antara Laut Maluku dan Laut Banda. Dari sekumpulan pulau yang termasuk Provinsi Sulawesi Tengah ini, ada sebuah pulau yang bernama Banggai juga. Di pulau ini terdapat Desa Lokotoy, berpenghuni 527 orang. Sebagian besar penduduk Lokotoy hidup sebagai penghasil kopra. Makanan pokok mereka sebangsa talas yang dalam bahasa sana disebut dekka. Cuma ada sebuah sekolah dasar dengan 4 orang guru dan seorang tenaga Butsi IAIN Sunan Kalijaga Yogya, yang mengasuh 140 orang murid. Karena Luwuk -- I bukota Pemda Tingkat II Banggai - terletak di Teluk Tolo dan menempel di tubuh Sulawesi, komunikasi dengan kawasan bawahannya tidaklah begitu lancar. Misalnya, uang tunjangan untuk kran (sebutan untuk kepala kampung) yang cuma Rp 2.229 itu sering datang terlambat. Tetapi mutiara dari Banggai tetap mendapat pasaran tinggi untuk kawasan Amerika dan Eropa. "Sebelum dijual, kami proses dulu di Jepang," kata Norihisa Taira (29 tahun) wakil presiden direktur PT Nisshin Samudera Mutiara di Jakarta. Perusahaan PMA dengan kontrak 25 tahun ini, menurut pengakuan Taira bermodal US$ 1 Juta. Perusahaan ini memusatkan peternakan mutiaranya di Lokotoy. Tenaga pribumi yang dipakai perusahaan itu di Lokotoy cuma 35 orang, dengan gaji mulai dari Rp 12.000 sampai Rp 35.000. Kerja mereka terutama membuat keranjang kawat tempat siput-siput yang diharap akan menelurkan mutiara, memeriksa dan membalik siput-siput tersebut di tengah laut. Dalam setahun Nisshin Samudra menargetkan dapat memelihara 100 ribu sipur. Tapi hingga saat ini, baru ada sekitar 53.000 ekor yang mereka pelihara dan baru 9 ribu yang sudah dioperasi. Lewat operasi inilah, siput dipaksa untuk menghasilkan gumpalan kecil keras yang kemudian disebut mutiara. Yang Bulat "Tampaknya pekerjaan operasi ini mudah saja," kata Okamoto orang Jepang dari perusahaan tadi yang kerjanya memang mengoperasi siput-siput ini. Tetapi kalau salah 'iris dan saraf siput terkena, matilah dia. Caranya: mula-mula kulit luar siput dibersihkan. Lalu kerangnya yang terkatup erat dibuka dengan paksa. Dengan hati-hati sekali, peace (sebagian dari sisi tubuh si siput) digunting sekitar « cm. Kemudian peace dan nuclear (kulit mutiara yang sudah dihaluskan dan dijadikan bulatan-bulatan sebesar biji jagung) dimasukkan kembali ke tempat yang telah terluka karena irisan tadi. Tubuh siput akan terangsang dengan adanya benda asing di dalam tubuhnya. Rangsangan ini akan mengeluarkan lendir yang kemudian akan membentuk mutiara. Sebuah rakit yang selalu terapung di tengah laut digantungi kandang-kandan,e siput dari anyaman kawat. Siput harapan tadi kemudian dikembalikan ke kandang kawat itu dan setiap 3 hari sekali letak siput harus dibolak-balik selama 40 hari -- yaitu dengan cara mengguncang-guncang kandangnya. Setelah 90 hari, siput hasil operasian ini diambil lagi dan dengan sinar tembus akan tampak apakah semaian mutiara jadi atau tidak. Kalau gagal, sekali lagi sang siput menjalani operasi. Tetapi kalau kiranya mubazir, diambil saja dagingnya untuk kemudian dibagikan kepada karyawan Rasanya lumayan. Siput-siput yang tampak bernas biji mutiaranya, dikembalikan lagi ke kandang dan dibiarkan berada di dalam laut selama kurang lebih 1,5 tahun. Setelah waktu ini cukup, berarti mutiara sudah matang Sang siput diangkat lagi. Mutiara yang bulat hanya bisa dihasilkan sebutir saja oleh setiap siput. Sedangkan mutiara setengah bulat (dan kurang mendapat pasaran) bisa terdapat 3-5 butir dalam tiap siput. Membolak-balik tubuh si siput itulah yang konon bisa menghasilkan mutiara yang bulat cemerlang. Tetapi hanya siput yang berusia di bawah satu tahun yang boleh di operasi dan dibubuhi nuclear agar menghasilkan mutiara. Menurut Okamoto, siput-siput Indonesia lebih besar dibanding siput-siput yang ada di perairan Jepang. "Tetapi kualitasnya lebih baik Jepang," ujarnya. Namun mutiara dengan warna-warni yang lebih indah didapat di kawasan Sulawesi dan beberapa tempat lainnya di Asia Tenggara. Di Banggai sendiri, terdapat mutiara berwarna biru, merah muda dan kuning. Warna merah muda biasanya dihargai paling tinggi. Mutiara Banggai tergolong jenis Pinctada Maxima. Ditelan Negara yang pertama kali menernakkan siput mutiara ini adalah Tiongkok di abad ke-13. Tetapi kemudian disempurnakan oleh orang Jepang. Terutama di tahun 190 oleh Mikimoto Kokichi setelah lama mengadakan penelitian. Cultured pearls hasil semaian Mikimoto nyaris sama denan mutiara asli. PT Nisshin mengumpulkan siput yang akan dia ternakkan lewat sebuah perusahaan lain, CV Cahaya Cemerlang yang mempekerjakan 14 orang penyelam. Gaji para penyelam antara Rp 20.000 -- Rp 25.000 ditambah premi Rp 350 setiap siput yang mereka temukan. Cahaya Cemerlang menjual siput tadi kepada Nisshin dengan harga Rp 2.000 sampai Rp 3.000 seekor. Sepanjang 1978 saja Nisshin telah mengumpulkan sebanyak 400 mommi mutiara Banggai. Satu mommi sama dengan 3,75 gram. Satu biji mutiara bulat berbobot sekitar 2-4 gram. Harga FOB Jakarta, US$ 19.00/gram bila belum dipoles. Menurut perjanjian PHP (Pungutan Hasil Perikanan), PT Nisshin harus menyetor 1,5% dari harga seluruh produksinya. Tahun lalu Nisshin telah menyerahkan PHP US 1.500 (sekitar Rp 937 ribu) kepada Dinas Perikanan Kabupatan Banggai. Desa Lokotoy sendiri hanya mendapat bagian aliran listrik dari Nisshin yang bisa dinikmati sampai jam 22.00. Para penyelam mutiara hanya dilengkapi tabung zat asam. Mereka mampu menyelam sampai kedalaman 20-30 meter. Bagi penyelam yang hilang (artinya mati) karena kram misalnya, perusahaan hanya memberi ganti rugi sebanyak 4 bulan gaji dan ongkos penguburan. Sesekali para penyelam mendapat mutiara asli. Sebetulnya ini milik perusahaan yang mengupahnya. Tapi mereka selalu mempunyai akal, demikian cerltera seorang nyonya yang suaminya Jadi Camat Banggal. Mutiara itu mereka telan. Baru besok paginya mereka nantikan mutiara itu keluar berbarengan dengan buang air besar. Mutiara asli sebesar biji jagung di sana bisa mencapai Rp 35.000 sebutir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus