Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Papua Mencekam

KERUSUHAN terjadi di be--be-rapa kota di Papua buntut dari perlakuan rasis dan persekusi yang dialami mahasiswa Papua di Surabaya pada 17 Agustus 2019.

31 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di Jayapura, misalnya, massa yang semula menggelar demo memprotes per-lakuan rasis itu berujung ricuh dengan membakar kantor pemerintahan serta pertokoan, Kamis, 29 Agustus lalu. Suasana di Jayapura mencekam.

Tiga hari sebelumnya, 500 kilometer dari Jayapura, sebanyak 5.000 orang menggelar unjuk rasa di depan kantor Bupati Deiyai. Mereka mengibarkan bendera bintang kejora, simbol Organisasi Papua Merdeka, selama satu setengah jam. Aksi bergeser ke tuntutan menggelar referendum. Menu-rut Gubernur Papua Lukas Enembe, re--fe-rendum merupakan aspirasi rakyat Papua. “Orang Papua memiliki harga diri dan martabat,” katanya pada Senin, 26 Agustus lalu.

Bukan kali ini saja suasana di Jayapura mencekam. Majalah Tempo edisi 24 Okto-ber 1981 berjudul “Peristiwa 9 Oktober Itu” mereportasekan kerusuhan di Papua pada zaman Presiden Soeharto. Suasana di Jayapura, Abepura, dan Sentani di Provinsi Irian Jaya lengang, terutama malam hari. “Sekarang sulit mencari taksi lewat pukul 8 malam. Padahal dulu sampai tengah malam pun gampang,” begitu cerita se--orang pengusaha Jakarta yang baru kem-bali dari Irian Jaya.

Suasana sepi itu akibat peristiwa 9 Okto-ber. Menurut harian Merdeka, Jumat subuh 9 Oktober itu, sekelompok orang dari Or-gani-sasi Papua Merdeka menyerang Lem-baga Pemasyarakatan Abepura, Keca-mat-an Abepura, Jayapura Selatan. Akibat se-rang-an mendadak itu, para penjaga LP melarikan diri. Massa merusak kantor LP serta merampok barang-barang milik para penjaga.

Motif penyerangan itu, menurut Ke--pa-la Daerah Kepolisian XII Irian Jaya Briga-dir Jenderal Yusuf Chuseinsaputra, untuk membebaskan anggota mereka yang dita-han Pelaksana Khusus Daerah Jaya-pura. “Usaha teror OPM itu bukan dalam rangka memperjuangkan masalah politis, tapi sudah mengarah pada teror kriminal,” kata Yakob Mano, anggota Fraksi Karya Pem-bangunan Dewan Perwakilan Rakyat dari Irian Jaya, yang ada di Irian Jaya tatkala peristiwa itu terjadi.

Menurut beberapa sumber di Jakarta, massa OPM yang ditaksir berjumlah ratus-an orang itu turun dari bukit di belakang Kota Abepura pada sekitar pukul 04.30. Mereka terbagi dalam tiga rombongan serta bersenjata api pistol, senapan Mau-ser, parang, tombak, panah, dan jubi (se--jenis tombak untuk mencari ikan). Gagal mem-bebaskan para tahanan di LP tersebut karena tidak bisa masuk ke ruang tahanan, mereka memecahkan kaca pintu dan jen-dela serta mengobrak-abrik dua rumah pegawai yang letaknya bersebelahan.

Menjelang pukul 05.30, mereka kembali naik ke bukit. Massa sempat merusak bebe-rapa rumah, antara lain rumah seorang pegawai Dinas Lalu Lintas, Angkutan, dan Jalan Raya yang dikira anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sepeda motor dinas sang pegawai dibakar. Konon, se-kembali dari penyerbuannya, mereka mengibarkan bendera OPM di puncak bukit, kemudian bernyanyi mengelilingi bendera sembari menarikan sejenis tari perang dari Wamena.

Serangan tersebut, menurut beberapa warga Irian Jaya di Jakarta, sebetulnya su-dah bisa diduga. “Pihak keamanan di sana kecolongan,” ujar seorang di antaranya. Me-nurut dia, tanda-tanda kerusuhan sudah lama kelihatan. Sejak akhir September lalu, terjadi beberapa kali insiden. Antara lain penembakan pada mobil milik Radio Re-publik Indonesia Jayapura dan mobil tangki yang mengangkut avtur. Terjadi juga penembakan pada helikopter dan pe-sawat helikopter yang akan mendarat di lapangan terbang Sentani.

Pelaksana Khusus Daerah Irian Jaya telah mengambil beberapa tindakan untuk mengatasi aksi tersebut. Jalan antara Sen-tani-Abepura-Jayapura dijaga pasukan ABRI bersenjata lengkap. Namun pihak ke-amanan setempat rupanya menganggap beberapa sebagai “aksi anak-anak nakal” karena dilatarbelakangi ketidakpuasan social, bukan politis. Karena itulah Pe-laksana Khusus Daerah Irian Jaya sejak 1978 men-jalankan “kebijaksanaan senyum” dengan melakukan pendekatan kema-nu-sia-an guna menyadarkan mereka dan meng-ajak membangun Irian Jaya.


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  24 OKTOBER 1981. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1770/1981-10-24

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus