Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PANITIA seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi tampaknya akan menjadi jagal yang mengakhiri hidup lembaga itu. Pilihan mereka kental dengan jalan akomodasi dan kompromi, termasuk mengabaikan riwayat hitam sejumlah calon. Presiden Joko Widodo bisa dianggap merestui usaha mengakhiri hidup komisi antikorupsi ini jika mengabaikan masukan dan kritik publik terhadap kerja panitia, lembaga yang dia bentuk.
Akomodasi dan kompromi terlihat pada keputusan panitia untuk meloloskan calon yang mewakili kepentingan polisi. Inspektur Jenderal Antam Novambar dan Inspektur Jenderal Firli Bahuri merupakan contoh paling nyata dari politik akomodatif itu.
Antam pada 2015 diduga mengintimidasi Komisaris Besar Endang Tarsa, Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, ketika lembaga ini menetapkan status tersangka pada Komisaris Jenderal Budi Gunawan—sekarang kepala Badan Intelijen Negara. Bukan sekadar persoalan etik, intimidasi itu merupakan upaya menghalang-halangi proses penyidikan—sebuah tindak pidana.
Firli pada April 2018-Juni 2019 menempati jabatan deputi penindakan di Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia disebut-sebut berhubungan dengan sejumlah orang yang sedang dalam proses penyelidikan berbagai perkara korupsi. Di antaranya, ia beberapa kali menemui mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, yang diduga terlibat korupsi dana divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara.
Panitia seleksi juga meloloskan sejumlah calon dari kalangan pejabat yang tidak menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Yenti Garnasih, ketua panitia seleksi, beralasan pelaporan itu baru diwajibkan setelah calon terpilih. Yenti lupa: ada aturan yang mewajibkan penyelenggara negara melaporkan harta kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi, dan pensiun.
Calon bermasalah yang lolos hingga 20 nama itu mengindikasikan persoalan besar di tubuh panitia seleksi. Sejak awal, mereka terkesan mengutamakan calon dari kepolisian. Tak salah jika koalisi masyarakat sipil menyebutkan setidaknya ada tiga anggota panitia yang memiliki konflik kepentingan: Yenti, Hendardi, dan Indriyanto Seno Adji. Ketiganya ditengarai punya hubungan dekat dengan Markas Besar Kepolisian RI.
Bisa jadi Presiden menginginkan kepemimpinan KPK yang adem, lebih mengutamakan pencegahan daripada penindakan korupsi, dan menjaga harmoni dengan institusi lain, terutama kepolisian. Mungkin saja Jokowi juga tidak percaya bahwa operasi tangkap tangan yang terus dilakukan KPK bakal menghentikan praktik busuk korupsi. Bukan mustahil pula jika dia menganggap ketatnya operasi melawan korupsi itu dapat menghambat pembangunan. Jika berbagai dugaan itu benar adanya, panitia seleksi tampaknya memang didesain untuk melemahkan komisi antikorupsi.
Presiden semestinya paham bahwa komisi antikorupsi sangat penting untuk membantu menciptakan pembangunan yang bersih. Benar bahwa lembaga itu juga semestinya menggencarkan usaha pencegahan. Namun penindakan pun tidak boleh disingkirkan. Tindakan untuk memberikan efek jera tetaplah penting, sekaligus sebagai bagian dari usaha pencegahan korupsi.
Jokowi harus mengembalikan hasil kerja panitia seleksi jika mereka masih memasukkan calon bermasalah. Apabila tidak, ia akan dikenang sebagai presiden yang melumpuhkan komisi antikorupsi, jika bukan penancap nisan di atas pusara lembaga terpenting hasil reformasi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo