Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Falsafah 'Malima' dalam Kehidupan Sehari-hari

“Malima” akrab dalam budaya Jawa. Jadi manusia tak boleh madat, madon, mabuk, main, dan maling.

21 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM etika masyarakat Jawa dikenal istilah “Malima” yang mengandung arti lima perilaku manusia yang wajib dihindari, yaitu madat (mengisap candu/narkotik), madon (bermain perempuan/berselingkuh), minum (mabuk minuman keras), main (berjudi), dan maling (mencuri, melakukan korupsi). Lima perilaku ini sangat populer dan bermakna dalam bagi orang Jawa. Walaupun demikian, dalam kenyataan, masih banyak manusia yang melanggarnya. Dalam situasi saat ini, yang sering terjadi dalam masyarakat ataupun pemerintahan adalah madat, madon, dan maling. Tiga hal ini seakan-akan sulit dihindari dan selalu berulang terjadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya ingin menyoroti yang satu ini, yaitu masalah madon. Perempuan dalam kultur Jawa sering disebut tiyang wingking atau orang yang letaknya di belakang, maksudnya dapur. Namun, di zaman sekarang, wanita memegang peran penting bagi lelaki, apa pun jabatannya. Ini cocok dengan lagu “Sabda Alam”, yang mengatakan: “wanita dijajah pria, namun kadang kala pria bertekuk lutut di sudut kerling wanita”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Contoh yang paling populer saat ini adalah diberhentikannya Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari karena tuduhan pelecehan seksual. Sebelumnya ada nama Hasbi, Sekretaris Mahkamah Agung nonaktif, yang juga terjungkal karena masalah perempuan. Semoga nasihat bijak “Malima” masih dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia agar selamat dunia-akhirat.

Kosmantono
Purwokerto, Jawa Tengah

Kemunafikan

MUNGKIN tidak banyak yang memperhatikan bahwa peristiwa yang dialami seseorang secara bersamaan menggambarkan terjadinya hipokrisi dalam diri seorang yang diharapkan integritasnya. Sebenarnya kita dapat melihat betapa hal yang normatif sahih secara nurani mengandung cacat kebenaran.

Pada 17 Juni 2024, Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari berperan sebagai khatib dalam salat Idul Adha di Semarang dan dihadiri Presiden Indonesia. Tidak lama kemudian muncul berita yang mengusik hati nurani kita: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Hasyim. Putusan itu membawa angin segar bagi pengungkapan kasus-kasus dugaan tindakan asusila, termasuk kekerasan seksual, oleh pejabat publik.

Koran Tempo edisi 5 Juli 2024 menulis artikel: “Buah Pahit Buruknya Proses Seleksi Calon Komisioner KPU”. Pemecatan Hasyim Asy’ari adalah hasil buruknya proses seleksi. Kasus itu makin menyadarkan kita bahwa akhlak serta tata nilai masyarakat tidak sedang baik-baik saja. Rusaknya tradisi panutan menjadi hal yang bermuara pada hilangnya penghayatan masyarakat terhadap hakikat kejujuran serta kebenaran.

Saya pernah menulis dalam rubrik ini bahwa bangsa ini seharusnya bisa maju seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang. Kita mesti mendidik, menciptakan, membangun, serta mewujudkan berbagai kemajuan ilmu dan teknologi. Ilustrasi peristiwa di atas menambahkan lagi betapa pentingnya pembinaan akhlak mulia serta tata nilai luhur. Pemerintah jangan sekadar membeli dan memboroskan uang negara untuk berbagai proyek mercusuar yang rapuh di dalam. Kecerdasan tanpa akhlak dan tata nilai akan melahirkan kleptokrasi dan negeri yang dikelola oleh pencoleng.

Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta Pusat

Infografik Tempo

MENGINGAT masih minimnya pengetahuan rakyat Indonesia tentang berbagai problem yang telah terjadi sepanjang 79 tahun republik ini, saya berharap Tempo makin sering membuat penjelasan-penjelasan ringkas berupa infografik yang mudah dimengerti dan menyebarkannya di media sosial secara gratis agar bisa mendidik bangsa ini.

Misalnya konten daftar proyek mangkrak pemerintah dari rezim ke rezim, daftar daerah-daerah yang lingkungannya rusak parah akibat kebijakan pemerintah, dan daftar kinerja buruk presiden dari rezim ke rezim. Intinya, konten seperti rangkuman pengetahuan umum bagi kita semua. 

Tidak mungkin 200 juta rakyat Indonesia berlangganan Tempo. Jangankan berlangganan, membaca saja masih malas. Maka, jika kontennya gratis, mungkin mereka setidaknya mau menengok dan menyimaknya karena sederhana. 

Hardi Yan
Tembilahan, Riau

Terima kasih atas idenya, Pak Hardi. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus