KRI Yos Sudarso dan KRI Ki Hajar Dewantara mengapit Lusitania Expresso Rabu pagi pekan lalu. Kapal feri Portugis itu telah menyentuh perairan Indonesia di tenggara Timor Timur. Sementara itu, di atas Lusitania Expresso, sejumlah penumpang tampak panik. Sejumlah wartawan Portugis dan Australia mengerubuti Koresponden TEMPO Dewi Anggraeni Fraser. Mereka bertanya dengan nada menyerang, "Mengapa Indonesia mengirim kapal perang? Bukankah kapal ini tak membawa senjata?" Dewi, yang warga negara Australia, tentu merasa tak punya kompeten untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi mengingat ia hadir di situ atas nama majalah TEMPO dan dialah satu-satunya wartawan dari media Indonesia di antara 59 wartawan dari berbagai penjuru dunia, ia mencoba menyampaikan pandangannya. "Kalau Anda melihat ada orang yang ingin memasuki rumah Anda tanpa izin, dan meskipun sudah diperingatkan, mereka masih tetap mencoba masuk, apakah Anda tidak melepas kucing atau anjing herder Anda?" katanya. Para wartawan itu hanya manggutmanggut. "Saya kira mereka menerima analogi itu. Tapi apakah mereka setuju dengan langkah yang diambil pemerintah Indonesia itu, saya tidak tahu," lapor Dewi ke majalah TEMPO. Sebagai koresponden sebuah majalah Indonesia di tengah 70-an peserta misi tabur bunga Lusitania Expresso dan sejumlah wartawan Portugal, yang umumnya sudah antipati pada pemerintah Indonesia, memang repot. Selain meliput peristiwa itu, Dewi terkadang terpaksa menjelaskan hal-hal seperti di atas. Yang lebih repot lagi, sejak kapal itu bertolak dari Darwin, wartawati ini dicurigai oleh sejumlah peserta "misi" sebagai mata-mata Indonesia. Seorang mahasiswi dari Amerika, Lorne Rider, berkata terus terang pada Dewi, "Anda tak khawatir dianggap mata-mata Indonesia di kapal ini?" Sambil tersenyum pahit Dewi menjawab, "Memang mereka menganggap saya mata-mata, saya sudah tahu." Lorne tercengang mendengar jawaban itu. "Apakah Anda tak tersinggung," katanya lagi. Dewi menjawab dengan kalem, " Ah, saya sudah siap. Selama mengikuti "petualangan" Lusitania Expresso, ibu dua anak ini sering mengalami mual-mual dan pusing karena mabuk laut dan juga ketakutan. Umpamanya, ketika kapal Lusitania Expresso mulai memasuki perairan Indonesia dan diapit oleh dua kapal perang Indonesia tadi. Tapi ia hampir setiap hari tetap mengirimkan laporan dengan fax dari atas kapal itu ke kantor TEMPO di Jakarta. "Tapi harganya mahal sekali," lapor Dewi. Panitia menetapkan tarif untuk para wartawan: telepon 20 dolar per menit, dan fax 20 dolar selembar. Sementara itu, di Dili, pengumpulan bahan dilakukan wartawati Sandra Hamid, dibantu pembantu TEMPO di kota itu, Ruba'i Kadir. Lalu wartawan Bambang Sujatmoko ikut dalam KRI Yos Sudarso sedangkan Fotografer Hidayat Gautama nangkring di KRI Ki Hajar Dewantara. Ketika Lusiana Expresso diapit kedua kapal perang tadi, sesungguhnya awak TEMPO ada di atas setiap kapal. Dengan demikian, kami harap laporan kami akan lebih lengkap, berimbang, dan lebih jujur. Itulah yang kami rangkum dalam Laporan Utama nomor ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini