Sebagai Badan Kajian Melayu Riau, kami menyampaikan tanggapan terhadap tulisan "Perzinaan Versi Peradilan Desa" (TEMPO, 8 Juni 1991, Hukum) sebagai berikut: 1. Tiap hukum adat Melayu (Siak) merujuk kepada kitab Babul Qawaeid, yang dibuat oleh Sultan Syarif Hasyim (1889-1908) sebagai kitab undang-undang. Kemudian, kitab itu disempurnakan menjadi Lembaran Kerajaan oleh Sultan Syarif Qasim (1915-1949). Kedua kitab itu dapat disamakan dengan KUHP-nya hukum adat (asas material). 2. Lembaga yang bertugas mengadili perkara kecil cukup dilakukan oleh kerapatan adat. Kalau menyangkut masalah besar seperti pembunuhan dan perzinaan harus oleh kerapatan sultan, yang tempatnya di Balai Adat Siak. Pada saat sekarang, ketiga kerapatan tersebut dapatlah disamakan dengan KUHAP (asas formal). 3. Asas material hukum adat seluruhnya mengacu kepada hukum agama seperti dijelaskan dalam Lembaran Kerajaan, "Maka, bersalahanlah segala adat yang tidak bersandikan syareat Islam dan tiadalah boleh dipakai lagi. Maka, adalah sejak itu adat-istiadat Melayu disebut adat bersandikan syarak, yang berpegang kepada kitab Allah dan Sunnah Nabi". Sebagai salah satu contoh adalah perkara zina yang dilakukan oleh Zainun Binti Murad di Bagansiapiapi pada 1932. Ia terbuang dari adat. 4. Hukum perzinaan yang langsung mengacu kepada Quran adalah dayus, yakni bila si suami mengetahui istrinya berzina tapi tak menceraikannya, maka persetubuhan yang dilakukan dengan istri yang tidak diceraikannya itu adalah zina. Ia harus menceraikan istrinya lebih dulu untuk memastikan keturunannya, barulah setelah tiga masa idah (artinya setelah menstruasi selesai) ia boleh rujuk kembali. 5. Dalam tulisan TEMPO itu Wan Ghalib membenarkan bahwa kasus Entok dan Misni diselesaikan secara adat. Itu bertentangan dengan pernyataannya di makalah "Adat Istiadat Dalam Pergaulan Orang Melayu", yang disampaikannya pada Seminar Kebudayaan Melayu 1985 di Tanjungpinang. Pada makalah itu Wan Ghalib menjelaskan, "Dasar adat Melayu menghendaki sandarannya pada Kitab Suci Quran dan Sunah Nabi. Prinsip itulah yang tak dapat diubah alih, tak dapat dibuang, apalagi dihilangkan. Itulah yang disebut adat sebenar adat." 6. Penyelesaian kasus Entok-Misni yang dimaksud TEMPO sebagai penyelesaian adat Melayu itu sesungguhnya adalah penyelesaian yang tidak beradat. 7. Bila TEMPO mengutip hal-hal yang berhubungan dengan adat-istiadat, kami sarankan agar hati-hati. Sebab, perasaan masyarakat Melayu sangat sensitif, terutama mengenai perzinaan. DR. H. TABRANI RAB Direktur Badan Kajian Melayu Lembaga Studi Sosial Budaya Riau Jalan Jenderal Sudirman 410 Pekanbaru
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini