Yang tak dapat saya lupakan dari TEMPO ada dua. Pertama, liputan tentang gerakan pembaruan Islam oleh Cak Nur dan kawan-kawan yang kemudian diikuti polemik tentang gerakan itu sendiri. Kedua, polemik kebudayaan babak kedua mengenai pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisyahbana.
Kedua polemik yang nikmat itu saya baca ketika saya masih di Pesantren Kajen, Jawa Tengah. Fotokopi polemik itu masih saya simpan sampai sekarang, dan selalu saya baca ulang setiap kali saya menengok pesantren saya. Bagi saya, TEMPO lebih terasa kehadirannya justru ketika saya berada di kampung, di pesantren.
Kira-kira 14 tahun kemudian setelah itu, saya kawin dengan putri seorang kiai yang juga penyair, K.H.A. Mustofa Bisri atau biasa dipanggil Gus Mus. Keluarga Bisri mempunyai koleksi buku, jurnal, dan majalah yang cukup bagus. Ketika saya membongkar-bongkar koleksi itu, saya menemukan dua polemik itu berada di antara timbunan buku dan majalah. Saya menduga, polemik itu juga "bermakna" untuk salah satu anggota keluarga Kiai Bisri, ayah Gus Mus.
Saya ingin TEMPO memberikan kembali makna semacam itu buat saya, buat puluhan keluarga semacam Kiai Bisri, buat semua pembaca.
Ulil Abshar-Abdalla
Jalan Raden Saleh II/Gg. VIII No. 99
Jakarta Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini