Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politikus dari berbagai partai sengaja menyasar kelompok tersebut untuk menancapkan pengaruh masing-masing. Artikel majalah Tempo berjudul “Perkara Ayat Suci, dan Sebagainya” mengungkap bagaimana strategi para politikus mengumbar kosakata spiritualitas agar mudah dipahami- penganut agama tersebut.
Akhirnya “wasit pemilu” mulai mengeluarkan semacam kartu kuning. Soalnya adalah pengutipan ayat-ayat suci Al--Quran dalam kampanye. Tanpa menunjuk pihak mana yang dimaksud, di Kisaran, Sumatera Utara, Rabu pekan lalu, Menteri Dalam Negeri dan Ketua Lembaga Pemilihan Umum, Amirmachmud, mengecam keras mereka “yang dalam kampanye membawa-bawa ayat suci Al-Quran dan merusak serta menyelewengkan ajaran Islam”.
Kecaman tersebut dilontarkan di depan rapat umum lebih-kurang 5.000 peserta di Pondok Pesantren Daar Al Uluum, menyusul penyerahan bantuan Rp 25 juta kepada pemimpin pondok. Tidak dirinci siapa yang merusak ajaran Islam. Kepada peserta Pekan Orientasi Ulama dan Khatib Se-Sumatera Utara esok harinya, Amirmachmud berkata: “Tiada sepotong pun ayat dan hadis yang mengatakan bahwa menusuk tanda gambar PDI dan Golkar haram hukumnya”.
Jadi bisa ditafsirkan sendiri bahwa Partai Persatuan Pembangunan-lah yang “punya ulah”. Tapi siapa pula orang PPP yang lancang berkampanye seperti itu, dan di daerah mana? Menteri Dalam Negeri agaknya keberatan menyebutkannya. Ia menjelaskan bahwa kesimpulan itu merupakan “hasil inventarisasi”. Lalu dia mengatakan kekhawatirannya seolah-olah “ulama disusupi orang-orang yang tak bertanggung jawab”.
KH Hasyim Adnan dalam kampanye PPP di lapangan Masjid Al-Aqittamah, Manggarai, menangkis tudingan itu. “Kalau ada kiai yang mengatakan menusuk Ka’bah haram, itu namanya kiai omprengan”, katanya, disambut luapan teriakan “Allahu Akbar” dari hadirin. Hasyim Adnan pun menolak anggapan sementara pihak yang ingin memisahkan hubungan antara tanda gambar pemilu dan kegiatan agama. “Itu namanya beloon,” kilahnya.
Penggunaan ayat-ayat Al-Quran dalam kampanye itu bukan hanya monopoli PPP. Di lapangan Persima, Tambora, Jakarta, pekan lalu, juru kampanye Golkar tak sedikit yang mengutip ayat suci itu. “Mengikuti pemerintah tidak bertentangan dengan agama,” ucap KH Achmad Royani. Tentunya pemerintah yang tidak bertentangan dengan agama, kan?
Saling sambut antarkiai ini tampaknya asyik juga diikuti. Apalagi tuding-menuding kini sudah meluas ke tema kampanye lain. Nyonya Adam Malik saat berkampanye di lapangan Persima mengatakan “yang membangun Indonesia sekarang adalah Golkar. Pak Harto juga Golkar”. Di pihak lain, Sudarji dari PPP mengungkapkan di Medan pekan lalu bahwa “jika ada yang mengaku sebagai jagoan pembangunan, ini namanya sok jago dan pembohong”.
Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia memusatkan perhatian pada pelanggaran pemilu yang masih terus terjadi. Dalam jumpa pers di Jakarta, pekan lalu, DPD PDI Jakarta mengungkapkan 18 kasus yang dianggap merugikan partai tersebut. Di antaranya aktifnya beberapa camat dalam aksi bagi-bagi tanda gambar, pencabutan papan kampanye, dan tangan usil yang menggambar palu-arit di papan kampanye PDI.
Yang terakhir ini pelakunya telah ditahan. Umurnya masih dua puluhan tahun dan diberitakan “gila”. Tapi rupanya ini dianggap aneh. “Sudah dua kali mereka yang ditangkap polisi dinyatakan gila. Apa orang-orang gila selalu memusuhi PDI?” tanya Wakil Ketua DPD PDI A.P. Batubara. Ihwal pelanggaran ini menjadi pembicaraan antara para pemimpin partai politik dan Kepala Staf Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo di Wisma Ahmad Yani, Jakarta, Selasa pekan lalu.
Pertemuan itu sepakat membentuk forum nasional pada masa kampanye. Forum serupa akan dibentuk di daerah tingkat I dan kabupaten. Tugas forum ini menyelesaikan tiap kasus selama masa kampanye. Karena itu, tiap peserta pemilu diharapkan “jangan segera menyampaikan berita penyimpangan dan pelanggar-an kampanye kepada mass media”. Demikian kata Laksamana Sudomo kepada pers seusai pertemuan.
Sudomo menambahkan, hal itu tidak bermaksud membatasi pemberitaan pers tentunya. “Tapi untuk mencari jalan penyelesaian sebaik-baiknya,” katanya. Meski begitu, Kepala Staf tidak melarang wartawan yang menemukan sendiri pelanggaran menyiarkannya dalam media masing-masing. “Selama itu memang fakta, koran boleh saja memuatnya sebagai berita utama dengan huruf besar,” ujar Sudomo.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 26 Maret 1977. Dapatkan arsip digitalnya di:
https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201212250027/demokrasi-tidak-perlu-india#.XJTSB8kzaUk
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo