Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyalahgunaan masjid untuk kampanye merupakan fenomena yang mencemaskan. Politisasi tempat ibadah mengundang banyak mudarat karena akan memicu konflik umat Islam yang memiliki aspirasi politik berbeda-beda. Kampanye lewat masjid juga menghambat peningkatan mutu pemilihan umum: masyarakat tidak makin cerdas dan rasional dalam menyokong kontestan.
Tren penggunaan masjid sebagai ajang mengarahkan pilihan politik menjelang pemungutan suara 17 April mendatang itu mendorong tumbuhnya sejumlah gerakan. Belum lama ini, misalnya, muncul Forum Silaturahmi Takmir Masjid Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang bertujuan menjaga netralitas masjid. Ada juga organisasi Masyarakat Cinta Masjid yang mengklaim punya jaringan di 24 provinsi. Sebelumnya, telah bergerak Satuan Tugas Nusantara yang diinisiasi Kepolisian Republik Indonesia dengan tujuan serupa.
Tujuan semua gerakan itu tentu bagus. Hanya, upaya itu bisa mengundang kecurigaan jika didalangi oleh salah satu kontestan pemilu. Agar gerakan efektif, sebaiknya dilakukan oleh institusi yang benar-benar independen, seperti Dewan Masjid Indonesia. Lembaga ini jelas bertujuan mewujudkan masjid sebagai pusat ibadah, pengembangan masyarakat, dan persatuan umat. Organisasi keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, dan Muhammadiyah, semestinya juga bisa menjadi motor untuk menjaga netralitas masjid.
Politik sebenarnya bukan barang tabu dibicarakan di dalam masjid. Urusan yang substantif, seperti pemerintahan yang bersih, perlindungan hak asasi manusia, dan persamaan perlakuan hukum, boleh saja dibahas di tempat ibadah karena semua itu juga merupakan nilai-nilai ajaran agama. Tapi mudarat akan muncul apabila masjid digunakan untuk kampanye partai politik, calon anggota legislatif, dan calon presiden.
Kampanye secara terang-terangan ataupun terselubung di masjid mudah memicu konflik. Problem ini bahkan mencuat pada 1955 ketika muncul banyak partai Islam. Walaupun beribadah di masjid yang sama, orang bisa mendukung partai politik berbeda. Hal ini pun sekarang terjadi, bahkan perbedaan pilihan politik tak hanya menyangkut partai, tapi juga calon presiden. Keteduhan dan kesucian masjid terusik oleh politik elektoral yang cenderung kotor: diwarnai propaganda, penyebaran kabar bohong, bahkan fitnah, untuk menyerang lawan.
Undang-Undang Pemilihan Umum sebetulnya melarang penggunaan rumah ibadah sebagai tempat kampanye. Tapi aturan ini hanya akan bisa menjangkau kontestan pemilu atau anggota tim sukses yang berkampanye di masjid. Seorang tokoh agama yang menyelipkan dukungan politiknya dalam ceramah atau khotbah akan sulit dijerat aturan kampanye pemilu itu.
Urusan menjaga netralitas dan kesucian masjid sebaiknya memang menjadi tugas organisasi keagamaan. Pemerintah bisa saja mengeluarkan rambu-rambu dan hal ini sudah dilakukan seperti yang dijalankan Kementerian Agama lewat maklumat keagamaan, dua tahun lalu. Salah satu dari sembilan butir maklumat itu adalah materi ceramah di tempat ibadah tidak boleh bermuatan kampanye politik atau promosi bisnis. Yang berperan besar menegakkan seruan ini tentu saja para ulama, ustad, dan kiai.
Kalangan ulama semestinya menyadari mudarat mencampur-adukkan ibadah dan demokrasi di masjid. Kedua-duanya justru akan menanggung dampak buruk. Ibadah dikotori kepentingan politik elektoral. Sementara itu, kecerdasan masyarakat dalam berdemokrasi terhambat: orang tidak makin rasional dalam menentukan pilihan politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo