Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sultan Hamengku Buwono IX mangkat di Washington, DC, Amerika Serikat, pada usia 78 tahun, 2 Oktober 1988. Dalam edisi 17 Agustus tahun ini, Tempo mengupas perjalanan hidup Raja Jawa itu. Untuk mengenang kepergian wakil presiden 1973-1978 itu, Tempo juga mengulasnya pada edisi 15 Oktober 1988.
Di Keraton Yogyakarta, wafatnya Sultan sudah dirasakan dengan munculnya tejo bathang. Pelangi yang menjadi isyarat belasungkawa menurut kepercayaan Jawa itu tampak sekitar pukul 07.00 pada Senin Wage, 3 Oktober 1988. Pelangi itu membujur ke utara, persis di atas kompleks Keraton Yogyakarta.
Maka banyak orang Yogyakarta pagi itu bertanya-tanya, siapa pembesar atau orang penting yang meninggal. "Tejo bathang itu berada di atas Keraton pagi hari sekitar satu jam," kata Ki Lurah Hardodiyatmo, abdi dalem Keraton. Tatkala siangnya tersiar berita bahwa Sultan Hamengku Buwono IX pagi itu mangkat di Washington, mereka pun mafhum.
Oleh sebagian orang, munculnya pelangi dukacita itu dianggap sebagai petunjuk adanya kekuatan metafisik di sekitar Sultan dan Keraton Yogyakarta. Untuk memperkuat argumentasi, beberapa kisah lain dikemukakan.
Arkian, beberapa abdi dalem Keraton Yogyakarta, Senin malam sepekan sebelumnya, sekitar pukul 22.30, melihat sesosok tubuh berpakaian gelap melewati regol (pintu gerbang) dengan tergesa-gesa. Delapan orang abdi dalem yang bertugas piket, antara lain Bekel Joyowerdoyo, Ronowedoyo, Joyowiguno, dan Mujiyono, curiga dan segera mengejar. Tapi sosok manusia itu kemudian lenyap di Gedong Kuning, tempat kediaman Sultan.
Mereka kemudian mencoba membuka pintu Gedong Kuning itu. Setelah pintu dibuka, mereka dikejutkan oleh angin pusar di dalam ruangan. Begitu angin reda, tercium bau harum semerbak keluar dari ruang tidur Sultan. Maka mereka menduga bau harum itu keluar dari Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan, yang menurut cerita sering bersua dengan Sultan.
Satu jam kemudian, abdi dalem yang sedang bertugas piket dan beberapa pelayat yang sedang tirakatan dikejutkan oleh ledakan keras di atas atap Bangsal Kencono. Di tempat sumber ledakan, terlihat bola api yang kemudian membubung dan akhirnya menghilang.
Ada kisah lain. Sebelum Sultan meninggal, di Keraton direncanakan akan ada upacara penanaman pohon beringin, pengganti pohon lama yang tumbang. Tapi, pada puncak tirakatan—sekitar pukul 03.00—tiba-tiba datang suara angin meniup daun-daunan. Sebelum angin reda, di hadapan Juru Purnomo, anak sulungnya, dan beberapa cantrik, tiba-tiba muncul dan berdiri seorang lelaki berpakaian seperti Pangeran Mataram dan mengaku bernama Kiai Supogati. Dalam pertemuan misterius itu, Kiai Supogati memerintahkan, "Upayanen Kiai Joko Piturun (usahakan cari Kiai Joko Piturun)."
Yang diminta "Pangeran" itu belum jelas benar: mencari manusia bernama Joko Piturun atau keris pusaka Keraton Yogyakarta yang bernama Joko Piturun. Keris itu selama ini diserahkan oleh raja kepada penggantinya atau putra mahkota yang berhak mewarisi takhta.
Juru Purnomo belum sempat menerjemahkan perintah "Pangeran" dari Mataram itu. Ia semula menduga keris Kiai Joko Piturun yang disimpan di Keraton itu sudah mukso atau "jiwa"-nya pergi. Ia belum mendapatkan jawaban sampai datang berita bahwa Ngarso Dalem telah wafat.
Di mana kini sebenarnya Joko Piturun, sampai sekarang masih teka-teki. Mungkin di Jakarta, mungkin juga di Keraton Yogyakarta. Yang kemudian menjadi pertanyaan kaum tua di lingkungan Keraton adalah apakah keris yang secara fisik kelihatan itu masih mempunyai "wahyu" seperti sebelumnya. Sebab, siapa pun yang mendapat "wahyu"—jiwa keris Joko Piturun—akan berhak menduduki takhta di Mataram.
Siapa yang akan mewarisi takhta Keraton Yogya mungkin masih perlu ditunggu. Ada yang percaya, Sultan yang secara fisik sudah tiada akan menentukan siapa penggantinya dan bagaimana masa depan Kerajaan Yogya selanjutnya. Sebab, bukankah selama ini Sultan dalam memutuskan—terutama menyangkut masalah pelik Keraton Yogya—selalu menunggu wisik atau suara gaib?
Hamengku Buwono IX memang termasuk raja yang dianggap sebagai manusia linuwih. "Ia mampu dan berhasil memadukan yang spiritual dan yang rasional," kata KRT Hardjonagoro, ahli sejarah dan budaya Jawa dari Keraton Surakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo