Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan Pertamina
Sehubungandengankolom berjudul"BBM di Bawah Standar "dari Direktur Eksekutif KPBB dan Founder pada The Thamrin School for Climate and Environment, Ahmad Safrudin, di majalah Tempo edisi 9-16 Agustus 2015 halaman 64-65, kami sampaikan terima kasih atas kritik dan masukan penulis kepada PT Pertamina (Persero).
Guna menghindari kesalahan persepsi publik terkait dengan produk bahan bakar minyak yang dipasarkan oleh Pertamina, dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tidak benar Pertamina cenderung tidak memasok kebutuhan BBM yang sesuai dengan persyaratan teknis teknologi kendaraan sebagaimana ditulis pada paragraf 1. Dalam memproduksi produk BBM yang dipasarkan, Pertamina mengikuti regulasi yang berlaku di Indonesia, baik dari aspek perlindungan lingkungan, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 tentang Standar Emisi Kendaraan Tipe Baru, maupun dari aspek perlindungan konsumen, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Analisis dalam tulisan ini belum begitu mendalam, banyak menggunakan asumsi yang tidak berdasar, baik terkait dengan isu penggunaan timbel dalam bahan bakar maupun penerapan standar Euro 2 korelasinya dengan penyediaan bahan bakar. Penulis mencampuradukkan sesuatu yang sudah tidak relevan mengenai penggunaan timbel di masa lalu, seperti kasus Innospec (paragraf 5), dengan kondisi pasca-2006 hingga sekarang, ketika BBM Pertamina tidak lagi mengandung timbel dalam bahan bakarnya. Pernyataan penulis tendensius dan mengesankan citra yang buruk terhadap produk Pertamina.
3. Demikian halnya dengan isu mengenai kerusakan fuel pump. Berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan berbagai pihak yang kompeten, termasuk pemerintah, Premium hasil produksi Pertamina dinyatakan sesuai dengan spesifikasi dari pemerintah, yang mengacu pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3674.K/10/DJM/2006 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) BBM Jenis Bensin 88, yang sudah diperbarui dengan Surat Keputusan Dirjen Migas Kementerian ESDM Nomor 933.K/10/DJM.S/2013.
4. Penulis menuduh Pertamina melanggar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan alasan konsumen tidak memperoleh jaminan pasokan BBM yang memiliki spesifikasi sesuai dengan vehicle engine technology requirement (paragraf 11) dengan kecenderungan seakan-akan semua kendaraan yang ada di Indonesia sudah berstandar teknologi Euro 2. Penulis tidak mempertimbangkan kemungkinan adanya tuduhan yang sama apabila Pertamina tidak menyediakan bahan bakar yang sesuai dengan teknologi kendaraan-kendaraan lama yang memiliki kompresi di bawah 9.0. Kecerobohan analisis dari penulis karena alpa menunjukkan statistik populasi tipe kendaraan yang dimiliki dan dikendarai masyarakat serta jenis bahan bakar apa yang cocok untuk masing-masing tipe tersebut. Penulis juga keliru menerjemahkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 tentang Standar Emisi Kendaraan Tipe Baru karena menganggap semua tipe kendaraan harus diperlakukan sama.
5. Saat ini Pertamina telah menyediakan dan menjamin ketersediaan pasokan beragam pilihan jenis BBM untuk konsumen sesuai dengan kebutuhan spesifikasi mesin kendaraan, dari Premium (RON 88 untuk kendaraan dengan kompresi r < 9.0), Pertalite (RON 90 untuk kendaraan dengan kompresi 9.0 < r < 10.0), Pertamax (RON 92 untuk kendaraan dengan kompresi 10.0 < r < 11.0 ), Pertamax Plus (RON 95 untuk kendaraan dengan kompresi 11.0 < r < 12.0), Pertamax Racing (RON 100 untuk kendaraan dengan kompresi r > 12.0), Solar (CN min. 48 dengan kadar sulfur 1.290 ppm), dan Pertamina Dex (CN min. 53 dengan kadar sulfur di bawah 300 ppm). Dengan demikian, pendapat penulis yang menyatakan masyarakat tidak punya pilihan sebagaimana tertulis dalam paragraf 8 sama sekali tidak benar. Dalam konteks ini, Pertamina bukan satu-satunya badan usaha niaga BBM sehingga tanggung jawab pemerataan ketersediaan BBM, termasuk yang memenuhi standar Euro 2, adalah tanggung jawab semua badan usaha niaga BBM. Sejauh ini hanya Pertamina satu-satunya badan usaha yang mampu mendistribusikan BBM berbagai jenis tersebut di ribuan SPBU di pelosok Indonesia, tidak berniaga sebatas di perkotaan dan/atau kota besar.
6. Pertalite merupakan bensin dengan kadar oktan 90 yang disediakan untuk konsumen yang menginginkan bahan bakar tepat dengan spesifikasi kendaraan dengan harga terjangkau. Berdasarkan hasil uji laboratorium dari lembaga independen terhadap Pertalite, terbukti bensin tersebut telah melampaui spesifikasi bahan bakar bensin RON 90 yang ditetapkan oleh pemerintah cq Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM. Hingga hak jawab ini ditulis, kami mensyukuri respons yang positif dari masyarakat, terbukti dengan animo konsumen menggunakan Pertalite sangat tinggi.
7. Penulis pada paragraf 12-14 sangat menyudutkan Pertamina dengan menyebut telah melakukan penyesatan dan pengelabuan konsumen karena tidak membuat notifikasi yang menyatakan spesifikasi BBM yang dipasarkan, baik BBM 88 maupun Solar 48. Tudingan ini sangat tidak masuk akal karena Pertamina sangat terbuka mempublikasikan karakteristik BBM yang dipasarkan, sejauh memenuhi asas kepatutan dalam kacamata keterbukaan informasi publik. Hal tersebut justru merupakan kebutuhan perusahaan untuk dapat mengedukasi, mempersuasi, dan mengadvokasi konsumen agar menggunakan BBM yang sesuai dengan kebutuhan spesifikasi kendaraan yang dimiliki. Dengan demikian, pendapat penulis yang mengatakan Pertamina menyesatkan dan bertendensi mengelabui konsumen tidak sesuai dengan fakta.
Wianda Arindita Pusponegoro
VP Corporate Communication
Bualan Politik dan Realitas Ekonomi
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memprediksi posisi perekonomian Indonesia akan menjadi nomor tujuh di dunia pada 2030 (dari posisi ke-16 pada saat ini). Menurut saya, negara ini masih perlu berbenah menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum mampu mencapai gol ambisius itu.
Contohnya: Yamaha Indonesia Motor Manufacturing didirikan pada 1974. Artinya, cabang lokal dari perusahaan multinasional Jepang terkenal itu merakit sepeda motor sejak 41 tahun lalu. Tapi, sampai hari ini, produsen itu belum mampu memasok onderdil-onderdil untuk model baru.
Sudah satu bulan saya tunggu penggantian kaca sein untuk skuter N-Max yang saya punya. Pernyataan satu-satunya dari Yamaha: "Untuk model itu, kami belum berfokus pada bagian spare parts." Susah mengualifikasikan jawaban karena "tidak masuk akal". Untungnya, onderdil pembalap seperti Agostini, Wayne Rainey, dan Valentino Rossi disediakan oleh perusahaan induk di Jepang. Kalau Yamaha Jakarta, mereka tidak pernah bisa mengikuti balapan, bahkan tidak akan menjadi juara dunia.
Untuk mencapai posisi perekonomian ketujuh, penatalaksanaan perusahaan-perusahaan Indonesia perlu dibenahi secara serius.
Rainer Wendt
Bali
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo