Perkembangan sektor industri di Sulawesi Utara pada masa pra-Pelita pada umumnya berjalan lambat dan statis. Hal ini antara lain disebabkan belum adanya stabilitas nasional yang merata ke daerah-daerah sehingga menghambat terciptanya iklim investasi yang sehat. Kondisi perekonomian Sulawesi Utara sangat didominasi oleh sektor pertanian dengan kondisi spesifik mono untuk kelapa, sedangkan kegiatan sektor industri hanya meliputi beberapa perusahaan yang berskala kecil dan sedang. Sampai saat ini, komoditas ekspor hasil industri Sulawesi Utara baru meliputi kelompok aneka industri dan industri kecil. Produk kelompok aneka industri yang telah diekspor meliputi minyak kelapa, tepung kelapa, bungkil kelapa, rotan olahan, ikan kaleng, kayu olahan, dan arang tempurung granular, sedangkan kelompok produk industri kecil yang telah diekspor meliputi biji pala sortir, fuli pala, dan ikan kayu (smoke bonito). Nilai dan jenis komoditas industri yang diekspor Sulawesi Utara sejak awal Pelita IV dan tahun I Pelita V perkembangannya cukup menggembirakan, rata-rata per tahun nilai ekspornya adalah US$ 57,127 juta dan tenaga kerja yang terserap 346.719 orang atau rata-rata 57.787 orang per tahun. Itu berarti ada indikasi bahwa pengembangan sektor industri di Sulawesi Utara di masa mendatang memiliki iklim investasi yang cukup baik, terutama dengan terbukanya jalur hubungan langsung. Jika potensi ini kurang mendapat dukungan dari berbagai pihak, terutama para investor dalam negeri, peluang baik yang menjadi harapan Sulawesi Utara tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Berkaitan dengan masalah di atas, konsorsium lima perusahaan bermodal kuat -- - yakni PT Bina Reksa Perdana, PT Eropa Jaya, PT Rempah Jaya Lestari, PT Argo Bina Perkasa, dan PT Sinar Utara Agung -- yang semula sebagai perusahaan pendukung Badan Penyangga & Pemasaran Cengkeh, alangkah bijaksananya jika rencana Ketua BPPC untuk meminjam dana Rp 1,2 trilyun (US$ 630 juta) kepada Sultan Hassanal Bolkiah (Sultan Brunei) dialokasikan ke sektor aneka industri dan industri kecil. Selain menunjang ekspor nonmigas, yang paling mendasar adalah misi penyerapan tenaga kerja. Dengan adanya investasi Rp 1,2 trilyun itu, tenaga kerja yang terserap di sektor aneka industri dan industri kecil lebih kurang 1,2 juta orang sehingga Sulawesi Utara sudah terbebas dari masalah pengangguran pada awal pembangunan jangka panjang kedua. Hal ini tentu akan membantu pemerintah dalam upaya mengurangi jumlah pengangguran, yang tiap tahun senantiasa terus bertambah. Pendek kata, proyek yang dikelola BPPC ibarat membangun Tugu Monas, yang secara ekonomis sukar mendapatkan titik impas (break even point). Sebab, prospek industri pertanian cengkeh kurang menggembirakan dan masalah yang banyak dihadapi, selain harga, tentunya masa panennya pun relatif membutuhkan waktu yang cukup panjang. Akibatnya, investasi yang ditanam terhadap pertanian cengkeh untuk kembali ke investasi awal juga sedikit mengalaml kendala. Demikianlah brainstorming dari saya, mudah-mudahan dapat dijadikan masukan untuk BPPC di masa datang. WISNU MAHARISI Jalan Jayawijaya Blok B VI/7 Kompleks Patria Jaya Pondok Gede, Bekasi 17414, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini