Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Jawa Timur Soekarwo beberapa waktu lalu menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Bersama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, ia membahas kemelut di Kebun Binatang Surabaya. Pemerintah pusat akhirnya memberi kewenangan penuh kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk menangani kebun binatang tersebut.
Sengkarut bermula ketika banyak satwa yang berstatus dilindungi negara itu "hilang". Berbagai jenis satwa sudah hilang sejak kepengurusan tim pengelola sementara. Ada 483 satwa yang hilang atau ditukar dengan mobil. Tri Rismaharini tidak tinggal diam. Sang Wali Kota mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk berdiskusi mengenai KBS.
Persoalan kebun binatang seperti salah urus atau kematian tiba-tiba ternyata telah ada sejak dulu. Pada edisi 14 Juni 1980, majalah Tempo pernah menurunkan tulisan mengenai gambaran kebun binatang di beberapa kota di Indonesia, termasuk Kebun Binatang Surabaya.
Di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta, seekor gajah bernama Kiai Rebo marah besar ketika pawangnya, Amat Juweni, 60 tahun, menghidangkan satu dari tiga kelapa yang dibawa serombongan keluarga untuknya. Karena kesal, Kiai Rebo melilit Juweni dengan belalainya. Beberapa saat kemudian, Juweni pun meninggal. Peristiwa itu bukan pertama kalinya di Gembira Loka. Pada Agustus 1978, seekor kuda nil berbobot 3,5 ton bernama Gombloh menginjak pengawasnya, Idrus. Karena kejadian itu, kaki kanan Idrus mesti diamputasi.
Persoalan lain yang dihadapi kebun binatang adalah sempitnya lahan. Sebagai perbandingan, Kebun Binatang Ragunan di Jakarta berada di area 185 hektare, sedangkan Surabaya hanya 14 hektare dan Bandung 13,5 hektare. Kebun Binatang Surabaya, yang semakin terdesak oleh gedung-gedung baru dan kebisingan kota, tampaknya tak terawat baik. Dengan sekitar 500 hewan, KBS tidak memiliki satu pun dokter hewan tetap. Meski ada poliklinik binatang, kunjungan dokter terbilang langka. "Kalau binatang sudah mati, baru kami dipanggil," kata Amitaba, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.
Kondisi memprihatinkan ini terjadi karena kurangnya anggaran, sehingga tidak ada dana untuk menggaji dokter tetap. Banyak binatang yang sakit dan telantar. Salah satunya unta. Hewan berpunuk berusia 15 tahun ini selalu sakit-sakitan. Bulunya rontok, sehingga terpaksa disembunyikan di bagian belakang kebun binatang karena tak lagi sedap ditonton. Begitu pula nasib sepasang bison Amerika.
Beberapa binatang lain bahkan menemui ajal dengan cara menyedihkan. Pasalnya, setelah diotopsi, di dalam perut mereka ditemukan bermacam benda asing seperti paku, kayu, dan berbagai benda keras lainnya. Menurut sejumlah dokter hewan di Surabaya, kematian binatang itu terjadi bukan hanya karena kurang biaya, melainkan juga karena asal terima binatang.
Sepinya pengunjung juga menjadi salah satu penyebab. "Pengunjung ramai hanya pada hari libur atau kalau ada binatang baru yang menarik," kata seorang penjaga.
Meski tak disebutkan angkanya, menggaji karyawan kebun binatang terasa sulit. Di Kebun Binatang Bandung, misalnya, biaya rutin Rp 9 juta setiap bulan harus dibagi rata untuk hewan dan 70 karyawannya. Adapun bantuan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Kota Madya Bandung masing-masing hanya Rp 7,5 juta setiap tahun.
DiKebunBinatangMedan, karena tak ada biaya untuk membuat kandang dan makanan, seekor singa sumbangan seseorang belum dapat diterima sebagai penghuni. "Meskipun setiap Minggu di sini ada pertunjukan band dan lawak untuk menambah pendapatan," kata Darsono, Manajer Kebun Binatang Medan.
Untungnya, kebun binatang di Yogya dan Jakarta terlihat lebih baik. Gembira Loka setiap bulan rata-rata mendapat Rp 12 juta dari penjualan karcis, sedangkan pengeluaran untuk makananbinatangRp 3 juta-belum terhitung gaji 80 karyawan. Adapun Ragunan, di luar pendapatan dari karcis, memperoleh subsidi Rp 30 juta setiap tahun dari pemerintah DKI untuk ratusan jenis hewan dan 350 karyawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo