Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUGAAN keterlibatan Setya Novanto dan Idrus Marham dalam skandal suap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar memantik curiga perkara ini bukan sekadar manuver individu. Setya adalah Bendahara Partai Golkar dan Idrus sekretaris jenderal. Dengan jabatan setinggi itu, dan adanya kait-mengait beberapa orang sekalian, patut diduga rasuah ini menyeret partai tempat mereka bersandar.
Komisi Pemberantasan Korupsi telah memeriksa keduanya sebagai saksi. Kerja Komisi semestinya tak sampai di situ. Komisi perlu memastikan kebenaran sangkaan duit suap itu masuk kas partai atau dipakai membiayai kegiatan organisasi.
KPK, lewat kasus Akil, punya kesempatan membongkar praktek kuno yang belum pernah dibuktikan telak: partai ditengarai berperan dalam rasuah sengketa pemilihan kepala daerah.
"Tangan" partai itu tampak dalam skandal Akil Mochtar, yang ditangkap KPK pada Oktober tahun lalu, saat akan menerima uang dari Hambit Bintih, yang waktu itu Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ternyata pengurus pusat Partai Golkar ikut menjadi perantara. Dia adalah Chairun Nisa, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar, yang sudah pula dicokok KPK.
Apakah Chairun Nisa bermain "solo" dan partainya sama sekali tak mengetahui "kreativitas" pengurus terasnya? KPK mesti mengembangkan penelisikan sampai mengungkap peran partai ini.
Selain perkara Gunung Mas, kasus Lebak di Banten, yang ikut menjerat Akil Mochtar, bisa menjadi bahan KPK. Diharapkan penelusuran KPK dalam sengketa pemilihan kepala daerah Jawa Timur dan Palangkaraya, yang sedang berjalan, akan memperjelas kesertaan partai dalam soal mudarat ini.
Di Jawa Timur, jejak Idrus dan Setya lebih kentara. Percakapan telepon Akil dengan Zainudin Amali, Ketua Golkar di sana, membuka aksi kedua orang itu. Kepada Akil, Zainudin membeberkan peran Idrus dan Setya dalam lalu lintas rasuah. Zainudin diketahui menjadi penghubung Akil dengan gubernur inkumben dalam pilkada provinsi itu. Di Palangkaraya, Idrus ditengarai sebagai perantara wali kota terpilih Riban Satia untuk menyerahkan Rp 2 miliar kepada Akil.
Dugaan partai terlibat korupsi bukan pertama kali. Dalam kasus suap impor daging sapi, kas Partai Keadilan Sejahtera ditengarai juga digerojoki dana ilegal. Ketika itu KPK menemukan adanya rapat yang dihadiri Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq guna membahas penggalangan dana Rp 2 triliun untuk biaya Pemilu 2014. Uang direncanakan digaruk dari tiga kementerian yang dipimpin kader PKS-Kementerian Pertanian, Kementerian Sosial, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Keterlibatan sejumlah pengurus Partai Demokrat dalam kasus pembangunan pusat olahraga Hambalang juga menerbitkan prasangka bahwa partai "tutup mata" atas sepak terjang kadernya.
Pembuktian lebih lanjut tentu diperlukan. Hasilnya sangat penting untuk membenahi partai, organ esensial demokrasi. Semua pihak perlu memastikan agar partai sebagai penyalur aspirasi rakyat berfungsi maksimal untuk semata-mata menyampaikan kepentingan publik.
Partai punya beban paling berat untuk menjaga fungsi ini. Penggalangan dana dengan cara melawan hukum, untuk kepentingan semulia apa pun, merupakan perbuatan lancung. Publik tentu tak bisa menitipkan aspirasi kepada partai curang yang lazimnya hanya berkutat memenuhi kepentingan diri atau kelompok sendiri.
Salah satu biang korupsi partai adalah biaya politik. Partai perlu duit besar untuk memutar organisasi. Celakanya, banyak kader mencari hidup dari partai, bahkan mengambil jalan pintas meraup rezeki tak halal. Selama ini audit internal partai dan badan penyelenggara pemilu terbukti tak mampu membendung kiprah kotor kader partai.
Sudah saatnya diterbitkan aturan yang melarang partai menerima sumbangan dalam bentuk apa pun. Di sejumlah negara Skandinavia, larangan semacam ini efektif menjaga partai dari korupsi. Sebagai gantinya, biaya partai ditanggung negara, besarnya tergantung jumlah kursi yang diperoleh dalam pemilu. Publik yang ingin menyumbang bisa menyalurkannya melalui negara.
Terhadap partai yang terbukti serong, harus ada langkah tegas. Prinsip hukuman atas kejahatan korporat patut diterapkan: pembubaran.
Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi membuka peluang sanksi tegas itu. Partai bisa dibubarkan jika melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Mahkamah Konstitusi bisa mengambil putusan atas usul pembubaran yang diajukan pemerintah.
Dari kasus Akil, Hambalang, dan lainnya, memang belum terbukti partai menjadi "binatu" uang haram. Tapi keterkaitan sejumlah pengurusnya saja sudah menunjukkan betapa buruk manajemen partai. Kalau mengurus uang partai saja sudah tak jujur, siapa mau percaya mereka mewakili aspirasi kita mengurus negara.
berita terkait di halaman 32
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo