Saya, seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak di sekolah swasta, selalu disibukkan seragam sekolah. Anak-anak saya menolak masuk sekolah negeri karena tak suka berpakaian seragam pramuka karena mereka tidak aktif di pramuka. "Kami tak ingin menjadi pramuka gadungan," begitu kata mereka. Bagi saya, penolakan mereka itu berarti suatu penghematan biaya. Tapi pada semester genap ini, sekolah swasta mulai mengisyaratkan adanya penyeragaman sepatu (hitam) dan kaus kaki (putih). Bagi saya, mungkin juga ibu-ibu lain yang tak berduit, pergantian sepatu dan tas untuk anak-anaknya hanya dilakukan sekali setahun sebagai hadiah naik kelas. Nah, kalau benar penyeragaman sepatu itu berdasarkan keputusan Menteri Fuad Hassan, seperti yang dikatakan kepala sekolah anak-anak saya, demi seragam nasional, maka saya bertanya: apa bedanya dunia pendidikan dan politik. Anak sekolah bukanlah pegawai negeri atau ABRI. Mereka adalah jiwa-jiwa polos yang sedang tumbuh. Dengan penyeragaman semacam itu, jelas berpengaruh pada jiwa mereka, sehingga cara berpikir dan bertindak mereka seragam: cepat atau lambat. Bukankah dengan begitu kreativitas mereka bisa mati? Bagi keluarga yang hidupnya serba pas-pasan, apakah peraturan penyeragaman itu tidak menambah beban baru yang sudah sangat berat. Untuk itu mohon penjelasan Pak Menteri. RETNO d/a Jalan Tegalsari 81-83 Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini