Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Indonesia ada empat partai politik yang sangat bergantung pada tokoh sentral, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gerakan Indonesia Raya atau Gerindra, NasDem, dan Demokrat. Partai-partai tersebut berada di papan atas dan tengah serta menguasai 319 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Tiga partai pertama pada saat ini berada dalam barisan pendukung pemerintah dan sosok-sosok sentralnya menjabat ketua umum partai. Sementara itu, partai yang disebutkan terakhir beroposisi dan sosok sentralnya menjabat ketua majelis tinggi partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Segala keputusan penting dalam partai akan datang dari sosok-sosok sentral tersebut. Semua petinggi partai berserta jajarannya hanya menunggu perintah dan mematuhinya. Demokrasi di dalam partai tidak terlihat dan berjalan sama sekali. Hal ini sangat memprihatinkan. Padahal salah satu peran dan fungsi partai politik adalah menjalankan fungsi demokrasi. Bagaimana demokrasi di negeri kita akan berjalan dengan baik jika partai-partainya mengabaikan fungsi tersebut? Tidak ada yang berani menyimpang dari kebijakan yang digariskan dan ditentukan oleh para tokoh sentral, karena bisa berdampak negatif terhadap mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apabila kita membicarakan PDIP, Gerindra, dan NasDem, ketiga partai tersebut sampai saat ini belum mempunyai sosok yang menonjol dan bisa mengambil alih kepemimpinan partai. Namun PDIP kelihatannya sedang menempatkan Puan Maharani pada posisi yang diharapkan bisa menggantikan Megawati. Dengan segala kekurangan serta kelebihannya, pengalaman sebagai menteri koordinator dan Ketua DPR merupakan bekal yang memadai untuk memimpin sebuah partai besar.
Adapun kekuasaan Gerindra kini digenggam oleh Prabowo Subianto. Belum terlihat sama sekali ada elite partai Gerindra yang menonjol dan diharapkan muncul sebagai pengganti Prabowo. Hal tersebut cukup mengkhawatirkan. Apalagi sampai sekarang belum terlihat tanda-tanda adanya suksesi. Sebab, kalau kita melihat Gerindra, yang terpikir adalah Prabowo, dan begitu juga sebaliknya, jadi seperti one man show. Bagaimana kalau karena kehendak alam secara mendadak Gerindra ditinggalkan oleh Prabowo Subianto?
NasDem kurang-lebih sama dengan Gerindra. Kekuasaan Surya Paloh dalam mengendalikan partai yang didirikannya ini masih belum tergantikan. Elite partainya tidak ada yang menonjol sama sekali. Kebanyakan kader yang dimiliki belum matang dalam berpolitik karena relatif belum lama terjun ke dunia politik.
Demokrat, walaupun sudah ada penggantian ketua umum, kekuasaannya sebenarnya masih berada di tangan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua majelis tinggi partai itu. Semua kebijakan partai harus sesuai dengan arahan Yudhoyono. Sampai kapan partai-partai tersebut akan dikelola seperti milik pribadi atau keluarga?
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Jual Buku Dumi
SAYA mendapati naskah cetak buku saya yang berjudul "Rahasia Sehat Tania" dijual bebas di lapak buku bekas (lapak Buku Murah Slawi Tegal, Jawa Tengah). Padahal buku tersebut belum resmi terbit dan editor mengatakan naskah tersebut masih mentok di penilaian Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
Bagaimana buku/naskah yang berangkat ke Pusat Kurikulum dan Perbukuan bisa berakhir serta melanglang ke lapak penjual buku bekas, dengan lokasi penjual di Tegal pula? Ternyata buku yang dijual tersebut adalah naskah dumi yang seharusnya tersimpan rapi di arsip Pusat Kurikulum dan Perbukuan.
Setelah saya telusuri lebih lanjut, penjual lapak Buku Murah Slawi Tegal mengaku membeli buku tersebut dari penjual lain yang berlokasi di Cirebon, Jawa Barat.
Saya pun berasumsi bahwa kelalaian ada di pihak Pusat Kurikulum dan Perbukuan. Mengapa buku dumi bisa dijual? Jika tidak mampu mengarsipkannya dengan baik, mengapa pula tidak dimusnahkan saja? Dua bulan surat saya ke Pusat Kurikulum dan Perbukuan tak ada tanggapan. Jika tidak ada tindakan teguran, saya yakin, keteledoran semacam ini akan berulang dan menimpa penulis lain. Lucu dan menyedihkan.
Nur Hadi
Jepara, Jawa Tengah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo