Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keluhan untuk Kedutaan Swiss
Saya sangat kecewa dengan perlakuan Kedutaan Besar Swiss di Jakarta terhadap kami. Tunangan saya orang Swiss dan kami berencana menikah pada Agustus ini. Sebagaimana lazimnya, saya ingin keluarga saya ikut merayakan hari bahagia ini.
Orang tua dan dua saudari saya mengajukan aplikasi visa kepada Kedutaan Swiss. Mereka berempat pernah berkunjung ke Swiss pada 2011 dan menetap selama satu bulan. Dengan demikian, kami sudah mengerti betul bagaimana cara mengurus visa. Pada 18 Juli 2013, manakala kembali ke kedutaan untuk mengambil paspor, kami terkejut lantaran yang mendapatkan visa hanya orang tua saya. Permohonan visa kedua saudari saya ditolak.
Adik perempuan saya berumur 15 tahun dan dia duduk di bangku SMA. Kakak perempuan saya berumur 30 tahun dan tidak bekerja karena cacat. Saya tidak melihat ada alasan mengapa visa mereka ditolak. Tunangan saya telah menelepon pihak kedutaan menanyakan hal ini, tapi tidak ada yang bisa memberikan jawaban yang memuaskan.
Apakah ini berarti orang Indonesia pada usia produktif (termasuk yang cacat), meskipun terdaftar di sekolah, tidak lagi diizinkan mengunjungi Swiss? Jika demikian, jelaskan itu dalam peraturan Anda. Dengan demikian, kami tidak akan membuang percuma jutaan rupiah. Jangan menjebak kami seperti ini.
Banyak negara maju berlomba-lomba memperbaiki sistem visa mereka (misalnya mempromosikan komunikasi dua arah, memperpendek waktu tunggu) untuk menarik lebih banyak pengunjung dan mahasiswa asal Indonesia. Juga, sejauh yang saya tahu, negara berkembang belajar dari negara maju dalam menegakkan kesetaraan dan hak asasi manusia dalam praktek. Tapi pelajaran apa yang bisa didapat dari kasus kami?
Saya yakin semua diplomat Swiss diterima dengan baik oleh orang Indonesia. Bukankah normal untuk memperlakukan kami sebagaimana Anda ingin diperlakukan? Menurut saya, pihak berwenang di Indonesia harus membantu warganya berkaitan dengan aplikasi visa. Di antaranya meminta pihak kedutaan asing untuk memperlakukan warga Indonesia dengan baik.
Amita Yulia
Morges, Swiss
Nyawa di Kereta, Siapa Peduli
Pada Selasa, 16 Juli 2013, saya bersama suami naik kereta commuter line dari Tanah Abang pukul 16.00 menuju Stasiun Sudimara. Satu menit setelah kereta menaikkan penumpang di Stasiun Kebayoran, terdapat seorang penumpang wanita pelajar SMK mengalami anfal sakit jantung dan asma (kejang-kejang dan pingsan). Kondisi gerbong yang sangat tidak layak, sempit dan berdesak-desakan, kami duga jadi pemicu penyakit anak itu. Memang gerbong sore itu sangat penuh dan tidak manusiawi lagi untuk diisi.
Akhirnya kereta sampai di Stasiun Pondok Ranji sekitar pukul 16.29. Saya dan suami serta salah satu penumpang membopong korban, mencari bantuan petugas stasiun setempat. Sampai di ruang kendali kereta, kami jumpai dua petugas yang juga bingung dan tidak tahu harus berbuat apa melihat korban yang kejang-kejang. Korban diletakkan begitu saja di lantai. Pertanyaan saya:
1. Jika pada waktu itu terjadi hal yang tidak diinginkan (kematian) di dalam kereta, apakah ada sistem atau prosedur untuk memberi tahu masinis agar berhenti atau melakukan upaya penyelamatan, sementara untuk berjalan di dalam kereta pun sudah sangat susah? Dan siapa yang bertanggung jawab jika hal tersebut terjadi?
2. Dengan penumpang yang semakin membeludak saat ini, apakah tidak ada aksi dari pihak PT KAI untuk menyediakan klinik/sarana kesehatan di setiap stasiun?
3. Apakah PT KAI tidak memiliki tenaga atau semacam aparatur pengawas untuk mengawasi kelayakan angkutan kereta saat ini?
Fenty
Puri Bintaro Indah
Ciputat, Tangerang Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo