Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

14 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanggapan Kementerian Kehutanan

KAMI ingin menanggapi pemberitaan majalah Tempo edisi 7-13 April 2014 berjudul "Menggali 'Sumur' di Hutan Rupat". Perlu kami jelaskan bahwa perubahan rencana kerja usaha (RKU) atau revisi RKU yang dilakukan pada Juni 2008, Mei 2011, dan Maret 2013 adalah revisi 1 rencana karya pengusahaan hutan yang dibuat untuk jangka izin 35 tahun diubah menjadi RKU 10 tahun sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 juncto PP Nomor 3 Tahun 2008. Sedangkan revisi 2 untuk menambah luas tanaman kehidupan, tanaman unggulan, dan kawasan lindung dalam rangka mengutangi luas tanaman pokok. Adapun revisi 3 untuk mengubah daur tanaman pokok dan perubahan luas blok rencana kerja tahunan (RKT). Maka perubahan RKU bukan merupakan siasat untuk menebang kayu alam yang lebih banyak.

Perlu diketahui, penyebutan status HPT menjadi HP atau sebaliknya dalam dokumen yang berbeda tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan di lapangan karena pada peta RKU tetap konsisten dan dilaksanakan dengan RKT. Karena itu, kekeliruan di dokumen dimungkinkan karena ketidakcermatan pengetikan.

Kejanggalan tentang harga kayu dalam RKU PT Sumatera Riang Lestari sebesar Rp 1-2 juta per meter kubik merujuk pada surat keputusan Menteri Perdagangan adalah tidak benar. Sebab, harga patokan dari Menteri Perdagangan berdasarkan jenis dan sortiran kayu, yaitu kayu bulat kecil Rp 245 ribu per meter kubik, kayu bulat meranti Rp 600 ribu per meter kubik, rimba campuran Rp 360 ribu meter kubik, cerucuk Rp 12 ribu per batang, tiang termal Rp 380 ribu per batang, dan galangan rel Rp 152 ribu per meter kubik.

Ihwal pengecekan yang dilakukan pegawai Kementerian Kehutanan, Ibrahim, yang dikirim menemui tim Bathin Botuah, adalah tidak benar. Tim rutin tidak pernah melakukan inspeksi tanaman kehidupan. Berkaitan dengan pertemuan Muhammad Ali Taher Parasong sudah dibantah oleh yang bersangkutan serta tidak pernah terjadi pertemuan antara tim Bathin Botuah dan direktur jenderal.

M. Sumarto
Kepala Pusat Hubungan Masyarakat


Hak Jawab Lie Kamadjaya

SAYA ingin menyampaikan hak jawab terkait dengan tulisan majalah Tempo edisi 7-13 April 2014 di rubrik Ekonomi halaman 90-97 berjudul "Janji (Tak) Manis Samurai Gula".

Menurut saya, tulisan tersebut tidak akurat dan melanggar prinsip jurnalistik. Sebab, saya, sebagai Presiden Direktur PT Gendhis Multi Manis (GMM/PG Blora), tidak diwawancarai Tempo. Belakangan, saya baru tahu bahwa, pada 3 April 2014, Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara dengan alamat yang salah karena dikirimkan ke kantor istri saya.

Beberapa hal perlu saya luruskan. Pertama, sejak awal saya sama sekali tidak berniat menjadi samurai gula seperti disebutkan Tempo, tapi sekadar ingin menjadi "pendekar gula" bersenjatakan golok demi kepentingan petani dan pabrik gula berbasis tebu.

Kedua, kedekatan saya dengan Bibit Waluyo, bekas Gubernur Jawa Tengah, karena memiliki kesamaan visi, misi, dan cara kerja. Sedangkan dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, saya merasa dekat dan cocok karena sama-sama "membela wong cilik".

Ihwal informasi mengenai kedatangan saya bersama Bibit Waluyo menggunakan Toyota Fortuner H-8181-T adalah tidak benar. Saya ataupun PT Gendhis Multi Manis tidak memiliki mobil seperti itu. Perihal kedudukan Bibit Waluyo sebagai komisaris di PT GMM juga tidak benar.

Soal komentar Seno Margo Utomo bahwa kami tidak menepati janji menyerap tebu petani kendati mereka sudah menyimpan raw sugar, perlu saya tegaskan bahwa giling tebu perdana dimulai pada pertengahan Mei 2014, sehingga kami tidak bisa disebut ingkar janji.

Dalam tulisan itu juga disebutkan seakan-akan PT Gendhis Multi Manis belum memiliki kelengkapan izin analisis mengenai dampak lingkungan, izin mendirikan bangunan, dan sertifikat hak guna bangunan tapi bangunan sudah didirikan. Informasi ini juga tidak benar. PT GMM sudah melengkapi semua izin tersebut. Bahkan tanah Kwartir Cabang Blora telah kami bayar dalam bentuk kompensasi tanah seluas 27 hek­tare. Kami juga telah menyerahkan dokumen kepada Gubernur Ganjar Pranowo pada 26 Februari 2014 sebagaimana tanda terima yang kami miliki.

Kamadjaya
Presiden Direktur
PT Gendhis Multi Manis

Jawaban:

Terima kasih atas penjelasan Anda. Dua reporter Tempo ­sudah berusaha menghubungi Anda sejak 1 April 2014 melalui telepon nomor 0811872XXX, baik hubungan telepon langsung maupun pesan pendek (SMS), tapi tidak ada tanggapan sama sekali. Kami juga mengirim surat kepada Anda melalui alamat Jalan Moti Dalam II Nomor 4 C Kelurahan Cideng RT 009 RW 005, ­Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat. Alamat ini tercantum dalam Surat Keputusan Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kabupaten Blora Nomor 97 Tahun 2011 serta akta perusahaan perubahan terakhir yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia 2012. Kami menyampaikan tenggat 4 April 2014. Reporter Tempo juga mendatangi pabrik Gendhis pada 3 April, tapi Anda tak bersedia menemuinya. Baru pada 5 April, Anda menjawab SMS kami melalui nomor telepon 0811872XXX.


Gangguan Kereta Rel Listrik

HAMPIR setiap hari kereta rel listrik Commuter Line, yang melayani jasa angkutan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), mengalami gangguan. Dari gangguan wesel, sinyal, rangkaian gerbong, kompresor, rem, pantograf, penyejuk udara, hingga antrean di Stasiun Gambir dan Manggarai yang puluhan tahun tidak teratasi.

Kejadian hampir setiap hari itu terulang dan terulang lagi. Sepertinya tidak ada upaya serius dari pemerintah untuk memperbaiki layanan. Memang, harus diakui, saat ini ada perbaikan layanan stasiun yang lebih bersih dan rapi. Namun, perlu diketahui, esensi sebenarnya dari perjalanan darat berbasis rel seperti KRL Commuter Line Jabodetabek adalah ketepatan waktu serta bagaimana memindahkan orang dari satu titik ke titik lain dengan aman dan nyaman. Sebab, kendaraan darat berbasis rel seharusnya relatif minim gangguan, tidak seperti mengendarai mobil atau sepeda motor. Tapi kenyataan berkata lain. Berkendara sepeda motor atau mobil terjebak macet karena jalan rusak dan lalu lintas padat. Namun naik KRL pun hampir setiap hari ada gangguan.

Kami, warga Jabodetabek, hampir putus asa mesti dengan kendaraan apalagi kami harus sampai tepat waktu di tempat tujuan. Dengan kondisi transportasi publik yang buruk seperti ini, pemerintah tidak perlu berteriak bahan bakar minyak bersubsidi kelebihan kuota dan terjadi pemborosan BBM. Silakan berteriak di padang pasir.

Pemerintah sepertinya lebih senang memberikan subsidi dan mengimpor BBM ratusan triliun rupiah karena mungkin ada rente dari setiap barel BBM yang diimpor daripada membangun transportasi publik yang layak di Jabodetabek lantaran mungkin hanya menghabiskan sekian puluh triliun rupiah tapi berakibat pada pengurangan impor BBM.

Nanto
Bogor, Jawa Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus