Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Piala Dunia di Brasil sebentar lagi. Para penggila bola mulai bersiap menikmati perhelatan sepak bola terbesar sejagat itu dengan berbagai rencana. Mereka akan mengenakan kostum dan macam-macam atribut meski hanya nonton bareng siaran pertandingan melalui televisi. "Biar berbeda dengan pendukung kesebelasan lain," ujar Fahmi Maulana, 25 tahun, penduduk Sidoarjo.
Fahmi, yang merencanakan nonton bareng Piala Dunia di sejumlah kafe di Surabaya, sudah menyiapkan beberapa atribut untuk mendukung kesebelasan yang dijagokannya, Brasil. Dia sudah punya syal, jaket, dan jersey untuk nobar. Bagi karyawan swasta itu dan penggila bola lain, atribut adalah identitas sekaligus penopang kemeriahan pertandingan.
Kegilaan penonton bola itulah yang menghidupkan bisnis Miftakhul Rahman, 36 tahun, penduduk Desa Jiwut, Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar. Lelaki tamatan sekolah menengah atas itu mendongkrak keramaian stadion sepak bola di berbagai negara dengan bonet Indian atau topeng kepala suku Indian dan macam-macam aksesori bertema Indian.
Topi-topi Indian bikinan Mifta mulai meramaikan kemeriahan stadion bola sejak Piala Dunia digelar di Afrika Selatan empat tahun lalu. Untuk perhelatan itu, tak kurang dari 13 ribu topi Indian dikirim ke Afrika melalui pedagang asing. "Saya lihat topi itu dipakai bule di televisi," kata Mifta bangga saat ditemui di rumahnya, Rabu pekan lalu.
Tak hanya ke Afrika, topi dan kerajinan bikinan Mifta juga melanglang buana ke berbagai belahan dunia dengan label berbeda. Menurut dia, selain untuk atribut penonton bola, kerajinan buatannya dijual oleh toko aksesori dan mainan anak-anak. Anak-anak menyukai topi Indiannya untuk bermain perang-perangan. Karena terbuat dari rajutan tangan, benda itu cepat rusak. Tapi anak-anak akan membelinya kembali. "Di luar negeri, harganya seperti harga jajanan."
Besarnya peluang mendorong Mifta terus mencari ide baru. Hingga kini ia memiliki 200 model topi Indian. Selain membuat topi, Mifta memproduksi topeng kepala Indian. Namun topeng hanya diproduksi jika ada pesanan. Topi dan topeng Indian itu digemari dan diyakini pembeli sebagai benda khas Indian.
Pesanan topi Indian tak pernah putus. Saban tiga hari sekali, 25 pekerja menyelesaikan 100 topi. Mifta tak punya catatan rapi ke mana saja topi bikinannya dikirim. Yang diingatnya, saat ini ia tengah menyelesaikan 4.000 topi Indian pesanan seorang pedagang di Inggris. Para pekerja menggarap pesanan itu satu per satu dengan tangan (handmade). Mifta membayar tenaga pekerja itu secara borongan sesuai dengan jumlah pekerjaan yang dihasilkan.
Pekerja membawa garapannya ke rumah. Mifta membagi kelompok pekerja yang membuat gulungan topi dan lintingan pengait bulu serta perajut secara terpisah. Ini dianggap lebih efisien dalam memproduksi topi tanpa repot menyediakan tempat kerja. Rumah orang tuanya yang berhalaman luas tapi berada di gang sempit sebagian dijadikan ruang pamer model topi Indian.
Selain padat karya dan hampir sama sekali tanpa mesin, pengerjaan manual secara tidak langsung menghindarkan topi Indian bikinan Mifta dari pemalsuan. "Kalau menggunakan mesin jelas sudah ditembak Cina," ujarnya. Karena itu, dia berani mengklaim semua gambar topi Indian yang tersebar di berbagai belahan dunia di Internet adalah ciptaannya. Apalagi bentuk rancangannya selalu berubah dan menyesuaikan dengan keinginan pemesan agar pasar tidak jenuh.
Topi-topi Indian dibuat dalam tiga ukuran: pendek tanpa ekor alias hanya menutup kepala, ukuran medium dengan panjang ekor 50 sentimeter, dan ukuran panjang dengan ekor hingga 150 sentimeter. Tiap ukuran membutuhkan bahan baku berbeda. Selain disesuaikan dengan diameter lingkar kepala, keberagaman bentuk sangat menentukan jumlah bulu yang dipasang. Untuk topi paling sederhana dengan hanya bulu unggas di sekeliling kepala membutuhkan sekitar 20 lembar bulu.
Bulu-bulu itu dipesan khusus dari tujuh pengepul bulu unggas asal Blitar, Tulungagung, dan Kediri. Bulu-bulu dijual dan dihargai per lembar. Satu lembar bulu entok harganya Rp 200, bulu kalkun Rp 1.000-1.500 per lembar, dan bulu merak Rp 6.000-7.000 per lembar. Selain bulu, bahan lain yang dipasok dari luar daerah adalah kain. Kain beludru dipasok dari Jawa Barat dan kain topi dari Surabaya.
Semua produk bikinan Mifta dibuat untuk keperluan pasar luar negeri. Harganya relatif murah. Sebuah topi Indian yang sederhana hanya dibanderol Rp 50 ribu. Harga akan meroket jika sudah dijual kembali oleh pedagang luar negeri dengan label sendiri. Dia mencontohkan topi sederhana saja dibanderol menjadi Aus$ 22 di pasar Australia atau lebih dari empat kali lipat harga aslinya. Meski produknya dijual relatif mahal, Mifta tak khawatir barang bikinannya tak laku. "Semua yang dari bulu pasti dibeli," katanya seraya tertawa.
Hingga kini Mifta ogah menjual produknya di dalam negeri. Menurut dia, penghargaan masyarakat terhadap benda seni di dalam negeri masih sangat rendah. "Lebih berharga beras ketimbang benda seni," ucapnya.
Order topi Indian dari seluruh dunia yang tanpa putus itu tidak langsung datang sendiri. Semuanya dimulai dari nol besar. Mifta merintis usahanya ketika bangkrut terpukul krisis moneter dan politik pada 1998. Kala itu, dia bersama istrinya membuka toko kerajinan lilin di sebuah lapak di Legian, Bali. "Saya berangkat ke Bali tahun 1995 sebagai pengangguran," ujarnya.
Di pulau para dewa itu, Mifta mengawali hidup sebagai kuli bangunan. Lelah mengangkut bahan material di sebuah proyek, ia menjadi tukang cat di bengkel sambil mempelajari pekerjaannya secara detail. Dari situ kemampuannya meramu bahan warna terlatih sehingga sangat menunjang bisnisnya di kemudian hari.
Minat akan seni menguatkannya saat pekerjaan datang bertubi-tubi. Hal itu pula yang membulatkan tekadnya membuka lapak kecil ukuran 2 x 3 meter di Legian, yang menjajakan kerajinan tangan lilin. Kemampuan mengolah bahan lilin ini dipelajari secara otodidaktik di sejumlah seniman dan perajin Bali meski sebagian besar dagangannya buatan orang lain.
Mujur tak dapat ditolak. Rutinitas Mifta membersihkan barang dagangan menggunakan kemoceng mengantarkannya pada keberuntungan. Bulu ayam kemoceng yang rontok dikumpulkannya satu per satu. Alih-alih membuang, Mifta justru merajutnya menjadi topi Indian dengan ide dan imajinasinya sendiri. Topi Indian yang diletakkannya di atas rak tak sengaja justru dibeli turis Prancis. "Dia senang dan meminta dibuatkan lagi yang lebih banyak," kata Mifta.
Kerajinan lilin tergusur oleh topi Indian. Lapak yang mulai sepi setelah bom Bali kembali bangkit. "Padahal saya juga bukan penggemar film Indian," ujarnya, lalu tertawa.
Pesanan yang tak diikuti dengan kesediaan bahan baku bulu membuat Mifta berpikir keras. Ia kesulitan mencari bulu unggas yang menjadi bahan utama topi Indian di Bali. Karena itu, Mifta memutuskan pulang ke kampungnya, yang merupakan basis peternakan unggas. Di Blitar, ia dan istrinya, Wahyuning Wulandari, bahu-membahu menyelesaikan pekerjaan. "Kami berdua yang membuat dari awal hingga finishing," kata Wahyuning.
Di kampung kendalanya adalah modal untuk membeli bulu unggas. Tak ada bantuan dari pemerintah setempat dan perbankan. Mifta terpaksa mengais bulu dari tempat-tempat penyembelihan unggas. "Saya seperti gelandangan saat mengais bulu di tempat pemotongan binatang." Itu pun tak mudah. Karena yang dicarinya adalah bulu entok dan kalkun yang lebih panjang dan bercorak dibanding bulu ayam.
Situasi sulit ini berjalan hingga beberapa tahun. Tapi permintaan dari lapak di Legian menambah pendapatan hingga Mifta mampu merekrut tetangga sebagai pekerja. Kini usaha topi Indian berjalan lancar. Dari usaha itu, dia punya dua toko mebel untuk Wahyuning dan ayahnya.
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Blitar Joni Setiawan tidak membantah adanya pengusaha yang belum mendapat bantuan modal. Ia berjanji memperluas fasilitas untuk pelaku usaha kecil melalui program Alokasi Dana Desa. Usaha Mifta, menurut dia, sangat layak dikembangkan menjadi produk unggulan daerah.
Endri Kurniawati, Hari Tri Wasono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo