Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

18 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kereta Pengap dan Sering Terlambat

Saya seorang mahasiswi yang menggunakan kereta Serpong-Tanah Abang sebagai alat transportasi ke kampus. Belakangan ini, saya merasa amat terganggu oleh sistem perjalanan baru—Commuter Line—yang diberlakukan PT Kereta Api.

Dengan sistem baru ini, seluruh kereta berhenti di setiap stasiun. Tujuannya memang baik: agar tidak terjadi penumpukan penumpang di stasiun-stasiun tertentu. Tapi, di lapangan, aturan ini justru menimbulkan masalah baru. Penumpang kini bertumpuk di semua stasiun karena seringnya kereta datang terlambat.

Dua pekan terakhir ini keterlambatan kereta sudah mencapai taraf yang tak bisa ditoleransi lagi. Setiap hari ada saja kereta yang terlambat. Ini membuat jadwal keberangkatan kereta jadi tak menentu. Akibat keterlambatan kereta dari Serpong, misalnya, saya jadi sering ketinggalan kereta jurusan Depok. Ini sesuatu yang pada sistem perjalanan sebelumnya jarang terjadi.

Tak hanya itu. Meski sudah ada kenaikan harga tiket, tak ada perbaikan dalam fasilitas kereta. Penyejuk udara di dalam gerbong sering mati. Sepekan terakhir, hampir setiap hari ada saja penumpang perempuan yang pingsan di dalam kereta. Dalam kondisi berdesak-desakan dan panas, ketiadaan penyejuk udara memang bisa amat menyiksa.

Mudah-mudahan dengan kritik ini PT Kereta Api dan anak perusahaannya dapat memperbaiki diri, menjadi lebih baik.

Monika Astridlia
Ciledug, Tangerang


Kecewa Ananda Islamic School

Anak kami menempuh pendidikan usia dini di Taman Kanak-kanak Ananda Islamic School Pegadungan, Kalideres, Tangerang. Pada tahun kedua di sana, kami mulai membayar cicilan biaya masuk sekolah dasar di SD Ananda Islamic School. Pada saat itu, kami memang berniat meneruskan pendidikan anak kami di sana.

Pada Mei lalu, seluruh biaya masuk SD telah lunas kami cicil. Total uang kami yang disetor ke sana Rp 10,5 juta.

Tapi, karena satu pertimbangan, kami kemudian mengurungkan niat memasukkan anak kami ke SD Ananda Islamic School. Sudah sewajarnya kami lalu meminta pihak sekolah mengembalikan seluruh biaya pendaftaran yang sudah kami cicil berbulan-bulan sebelumnya.

Tapi apa yang terjadi? Pihak sekolah hanya mau mengembalikan separuh dari total biaya pendaftaran yang telah kami cicil. Alasannya macam-macam. Kami pun sudah berusaha dengan segala cara agar pihak sekolah mau mengembalikan seluruh uang kami. Tapi tak ada hasil.

Kami merasa amat kecewa atas perlakuan TK dan SD Ananda Islamic School. Anak kami belum pernah memanfaatkan fasilitas apa pun di SD Ananda, tapi kok sudah diminta menyetor dana jutaan rupiah. Apalagi, ketika awal mencicil, pihak sekolah tak pernah menjelaskan dana setoran kami itu berpotensi hilang separuh jika anak kami batal bersekolah di sana. Kami tak tahu lagi harus mengadu kepada siapa.

Supriatna
Tangerang


Cabut Subsidi BBM

Subsidi bahan bakar minyak sejatinya merupakan sebuah kebijakan populis demi meraup dukungan saat pemilu. Subsidi Rp 120 triliun setiap tahun itu benar-benar menguras keuangan negara. Padahal seharusnya pendapatan negara digunakan untuk membangun infrastruktur.

Saya mengusulkan agar subsidi bahan bakar minyak dicabut saja. Para pengusaha nasional dan pemilik industri yang membutuhkan bahan bakar dengan harga murah bisa mendapat insentif pajak, sehingga total biaya produksi mereka tetap kompetitif. Di sisi lain, rakyat yang kurang mampu juga sebaiknya diberi harga khusus, agar pencabutan subsidi ini tidak memberatkan mereka. Selebihnya, biarkan setiap warga membeli bahan bakar minyak dengan harga pasar, tanpa subsidi.

Tentu, di samping semua kebijakan itu, pemerintah harus mengupayakan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan, seperti air, panas bumi, angin, dan sinar matahari. Dengan begitu, kita tidak memboroskan hasil kekayaan alam kita, yakni minyak dan gas bumi, yang kian hari makin menipis saja.

Lie Gan Yong
Pulogadung


Jaminan Sosial Selangkah Lagi

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu, memenangkan gugatan Komite Aksi Jaminan Sosial melawan Presiden Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie, dan sejumlah menteri. Hakim menilai pemerintah bersalah karena tak segera membentuk Badan Pelaksana Jaminan Sosial sesuai dengan amanat Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional Nomor 40 Tahun 2004.

Putusan ini merupakan tonggak bersejarah untuk komite yang terdiri atas 67 elemen masyarakat sipil itu. Persidangan berlangsung selama lebih dari satu tahun.

Tak hanya itu, majelis hakim juga meminta pemerintah—bersama parlemen—segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Badan Pelaksana Jaminan Sosial, yang sampai pekan lalu masih terus dibahas. Secara khusus, hakim meminta empat lembaga asuransi nasional—Jamsostek, Askes, Asabri, dan Taspen—melebur dan dikelola Badan Hukum Wali Amanat. Dengan demikian, hasilnya bisa dinikmati seluruh penduduk Indonesia.

Saat ini waktu yang tersisa untuk pengesahan RUU Badan Pelaksana makin pendek. Sudah saatnya pemerintah serius memperjuangkan terbentuknya Badan Pelaksana Jaminan Sosial.

Risnawati Sinulingga
Trade Union Rights Centre
Jalan Mesjid III Nomor 1 Pejompongan, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus