Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jangan Politisasi Kasus Yusril-Ruki
Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra melakukan klarifikasi penting. Ia menyatakan tak pernah mengadukan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrrachman Ruki ke KPK dalam pengadaan lawful interception device (alat penyadap telepon seluler).
Yusril mengungkapkan dirinya hanya minta agar KPK membuat tafsiran hukum yang sama atas definisi dan persyaratan yang terkandung di dalamnya, seperti tertuang dalam Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Ia minta agar dicek penerapannya di KPK karena mereka juga melakukan penunjukan langsung. Karena itu Yusril tidak melaporkan bahwa di KPK ada korupsi. Ia hanya minta KPK mengkaji adanya pemahaman yang sama. Sebab, untuk menegakkan hukum, tidak boleh ada multistandar.
Kasus Menteri Sekretaris Negara dengan Ketua KPK seputar penunjukan langsung proyek pengadaan alat sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan pada 2004 (kini Departemen Hukum dan HAM) sudah menjadi konsumsi publik dan menyedot perhatian banyak pihak, termasuk di kalangan elite politik. Dalam hal ini, nuansa politis menjadi lebih terasa karena masing-masing mencoba mengartikulasi hukum sesuai dengan kemauan dan kepentingan diri dan kelompoknya.
Hendaknya semua pihak bisa menahan diri dalam menyikapi kasus Yusril dengan Taufiequrrachman Ruki ini. Masalah ini tidak perlu dikomentari dan disikapi secara berlebihan, apalagi menjerumuskan kita ke dalam polemik yang berkepanjangan. Kontroversi dan perdebatan akan menimbulkan persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja aparat penegak hukum, khususnya KPK. Karena itu, kontroversi harus segera dihentikan.
CHAIRUL RAHMAN Jalan Jaya Mandala II/43, Menteng Dalam, Jakarta Selatan
Telat Bayar SPP Dikeluarkan
Saya mahasiswa semester I angkatan 2006-2007 Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang baru saja di-drop out (DO) oleh pihak rektorat. Alasannya, saya terlambat membayar SPP beberapa hari. Selain saya, ada informasi sekitar 10 mahasiswa semester satu yang juga di-DO, 20-an mahasiswa di atas semester II yang dipaksa cuti dengan alasan serupa.
Berikut kronologinya: Kebijakan rektorat bagi yang terlambat membayar SPP dengan alasan apa pun—tanpa pengecualian, termasuk sakit dan belum punya uang, yang terjadi pada sebagian besar mahasiswa ter-DO—harus menerima konsekuensi tidak dapat mengikuti perkuliahan semester berikutnya. Bagi mereka yang di atas semester II, sebagai bentuk konfirmasi keberlanjutan studi (agar tidak dianggap mengundurkan diri), mereka terpaksa membuat permohonan cuti. Sedangkan bagi mahasiswa semester I, karena belum dapat mengajukan permohonan cuti, dengan demikian statusnya secara otomatis adalah gugur studi alias DO. Bila kemudian ingin tetap melanjutkan studi, ia harus mengikuti ujian seleksi kembali pada tahun ajaran baru, membayar uang pangkal, dan lain-lain (mengulang lagi dari nol).
Ada beberapa hal yang saya permasalahkan atas berlakunya kebijakan tersebut:
- Saya tidak melakukan kesalahan fatal dalam perjalanan studi, namun harus menerima hukuman terberat yang bisa dijatuhkan universitas kepada mahasiswanya. Padahal, ada bentuk hukuman lain seperti denda atau skors yang lebih mendidik;
- Kebijakan ini mengabaikan unsur kemanusiaan dengan tidak memberikan dispensasi atau pengecualian untuk alasan tertentu semisal sakit;
- Pada saat pemerintah tengah giat-giatnya memperluas akses studi bagi warganya untuk kemajuan bangsa, kebijakan UIN justru kontraproduktif (menyebabkan sejumlah orang putus studi), di mana (lagi-lagi) pangkal persoalannya adalah uang;
- Kalau kemudian kebijakan ini tetap dianggap rasional dan realistis, keberatan utama saya adalah tidak adanya sosialisasi bentuk konsekuensi yang harus diterima mahasiswa indisipliner pra-registrasi, khususnya untuk mahasiswa baru. Beberapa spanduk dan pamflet yang terpasang hanya menginformasikan waktu pelaksanaan registrasi.
Berkenaan dengan hal ini, sebenarnya saya sudah coba melakukan dialog dengan pihak jurusan, fakultas, dan rektorat. Namun tidak ada perubahan kebijakan. Melalui surat ini, saya ingin mengungkapkan kekecewaan yang mendalam kepada universitas yang sebenarnya mulai saya banggakan. Semoga masih ada celah bagi saya dan kawan-kawan ter-DO lain untuk tetap dapat menyalurkan gairah studi yang masih membuncah di kampus perjuangan, UIN SUKA Yogyakarta.
WIDYA PRIYAHITA Yogyakarta
Ide Kembali ke UUD 1945 Asli
Keinginan mengembalikan UUD 1945 ke naskah asli kembali disuarakan beberapa kalangan, baik para politisi maupun mantan jenderal. Beberapa waktu yang lalu, di sekretariat Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) berlangsung diskusi yang intinya menginginkan UUD 1945 yang telah diamendemen dikembalikan ke naskah aslinya.
Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto, salah satu pembicara yang kini aktif dalam Gerakan Revolusi Nurani (GRN), sangat antusias mengembalikan UUD 1945 ke naskah asli. Ia menyebut amendemen UUD 1945 tidak sesuai dengan hukum, sehingga produknya ilegal, termasuk presidennya.
Saat reformasi digaungkan, siapa pun boleh menyuarakan pendapatnya dan tidak ada yang melarang. Namun, ketika sekelompok orang berpendapat untuk mengembalikan UUD 1945 yang telah diamendemen kembali ke aslinya, sikap ini menimbulkan pertanyaan. Sebab, keinginan ini sama saja memutar arah jarum jam kembali ke masa lalu yang kelabu sebelum adanya tuntutan reformasi di negeri ini.
Salah satu agenda reformasi adalah mengamendemen UUD 1945. Agenda tersebut merupakan salah satu keinginan rakyat Indonesia yang mengharapkan perubahan di negeri ini. Walau pelaksanaan reformasi masih terseok-seok, masyarakat puas. Rakyat bebas berpendapat dan bisa memilih secara langsung pemimpinnya. Semua ini mungkin tidak akan terlaksana jika tidak ada amendemen UUD 1945.
NURANI Jalan R.E. Martadinata 223, Tangerang, Banten
UUD 1945 Diamendemen lagi?
UUD 1945 sudah empat kali diamendemen. Namun, setelah dilakukan amendemen, bangsa ini menghadapi masalah-masalah baru di bidang konstitusi. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sedang mengusulkan untuk melakukan amendemen kelima, tetapi masih ada pro dan kontra. Sementara itu, kelompok yang menginginkan agar kembali ke UUD 45 yang asli juga tidak kalah serunya menuai pro dan kontra.
Semua itu terjadi karena empat kali amendemen UUD dilakukan dengan semangat kebebasan pada saat euforia reformasi yang terlalu besar. Akibatnya, tanpa terasa perubahan yang terlalu luas itu justru menimbulkan masalah baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Yang perlu kita renungkan adalah amendemen UUD 45 diakui telah memuat sejumlah perbaikan. Misalnya, pembatasan masa jabatan presiden, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung, kewenangan DPR (legislatif) yang diperbesar, ketentuan HAM yang lebih lengkap, dan adanya Mahkamah Konstitusi yang bertugas melakukan judicial review.
Kita masih tertatih-tatih menyesuaikan sistem penyelenggaraan negara dengan perubahan yang cukup drastis itu. Sebab itu, kepada semua pihak yang merasa kurang sreg dengan pola yang kini sedang berjalan, mohon agar bisa menahan diri. Biarkan sistem yang ada berjalan mapan dulu. Gagasan para politisi yang berkaitan dengan perubahan konstitusi hendaknya diutarakan dengan penuh kehati-hatian, kendatipun sekadar wacana. Sebab, implikasinya sangat luas.
ANGGI ASTUTI
Kompleks Parung Permai Blok I-2/No.15, Parung, Bogor
Desentralisasi Kota, Revitalisasi Desa
Dalam kunjungan ke Kampung Lele, Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Boyolali, Jawa Tengah, pada 20 Februari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono minta agar sarjana menghidupkan desa. Langkah kembali ke desa bagi sarjana yang berhasil menyelesaikan pendidikannya di kota merupakan impian agar kehidupan desa lebih bergairah dalam berbagai bidang khususnya dalam bidang ekonomi. Bergeraknya roda kehidupan desa diharapkan dapat mengurangi beban kehidupan kota, yang saat ini hampir mendekati ambang batas normal populasi kota. Di tengah otonomi daerah, seharusnya bisa diiringi dengan berkurangnya ketergantungan pada kota (desentralisasi kota).
Imbauan Presiden itu wajar muncul karena kenyataannya para sarjana lebih banyak menggantungkan hidupnya di kota, seperti Jakarta. Bahkan mereka yang berasal dari daerah sengaja merantau ke Jakarta dan meninggalkan kampung halaman, yang sejatinya lebih membutuhkan tenaganya. Wajar apabila profesor bertaburan di kota besar, sementara di daerah untuk mencari doktor atau magister pun sulitnya bukan main.
Kondisi ini seharusnya bisa diselesaikan melalui kebijakan yang bisa membuat betah para sarjana untuk tinggal dan hidup bersama masyarakat di pedesaan. Salah satu caranya dengan mengoptimalkan program otonomi daerah yang memberikan peluang bagi peran para sarjana. Yang terjadi saat ini, otonomi daerah menjadi pertaruhan dan pertarungan para politisi untuk meraup keuntungan pribadinya. Konsekuensinya, para sarjana yang masih kental idealismenya harus tersingkir dan mencari makan di kota besar seperti Jakarta.
Secara formal mungkin harus disosialisasikan perlunya desentralisasi kota dengan membagi peran dan fungsi kota ke daerah-daerah sehingga tidak terjadi penumpukan populasi di kota tertentu. Kini tinggal bagaimana harapan SBY di atas mampu diimplementasikan oleh para pembantunya secara efektif melalui optimalisasi daerah, khususnya daerah tertinggal. Dengan cara ini, keberjarakan (distorsi) antara harapan Presiden dan realitas implementasi yang dilakukan anggota kabinet tidak akan terjadi.
HABIBAH THAIBAH Jalan Cakung Raya, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara
Anggota DPRD Jangan Egois
Unjuk rasa yang dilakukan seribu anggota DPRD se-Indonesia untuk menentang revisi Peraturan Pemerintah No 37 Tahun 2006 sia-sia. Pemerintah tetap merevisi peraturan yang mengatur tunjangan komunikasi anggota dan pimpinan DPRD itu. Bahkan Presiden Yudhoyono akan mengadakan rapat terbatas yang agendanya adalah finalisasi revisi PP No. 37/2006, dan PP baru pengganti PP No 37/2006 akan disahkan.
Kehadiran anggota DPRD ke Jakarta untuk bertemu SBY di Istana Negara tak perlu digubris dan ditanggapi. Sebab, cara mereka sangat aneh dan lucu. Demi kepentingan pribadinya, mereka melakukan ancaman untuk menggugat lembaga non-pemerintah dan akademi yang mengkritisi tindakan anggota DPRD yang menolak revisi PP No. 37.
Saat ini rakyat Indonesia masih banyak yang menderita. Janganlah anggota DPRD melakukan tindakan yang berlawanan dengan aspirasi rakyat itu sendiri. Sebagai wakil rakyat, berilah contoh yang baik. Bila memang harus mengembalikan rapelan yang telah diterima, kembalikan saja. Sebab, uang itu juga uang rakyat.
Bila dilihat dari sisi hukum, tindakan anggota DPRD itu sebenarnya sah-sah saja. Namun rakyat tidak akan melihat masalah tersebut dari sudut hukum, melainkan dari sisi moral wakil rakyatnya. Jangan sakiti hati mereka dengan melakukan tindakan yang melawan arus bawah. Sebaiknya, anggota DPRD menahan diri dengan menghentikan aksi yang kurang etis di mata rakyat itu. Jika tidak, citra mereka akan makin buruk dan rakyat tidak percaya lagi.
MAXIMUS MERE Jalan Tambak 39, Jakarta
Aksi Anggota DPRD Memalukan
DI tengah penderitaan rakyat Jakarta yang menjadi korban banjir. Juga duka rakyat Porong, Sidoarjo yang terusir dari kampungnya. Kepedihan keluarga-keluarga yang terkena bencana longsor, wabah demam berdarah, kenaikan harga beras serta beragam bencana yang menimpa rakyat Indonesia, kita menyaksikan sebuah dagelan akbar yang dimainkan oleh para anggota DPRD dari seluruh penjuru Indonesia. Ya, dagelan tidak lucu itu berlakon ”demo minta uang rapelan ke Senayan”.
Saya bingung, geram sekaligus geli melihat tingkah polah para anggota DPRD yang berdemo di DPR. Bergerombol, berteriak, mengoceh dalam sorotan televisi menggugat revisi PP No. 37/200. Mereka meminta uang rapelan dan kemaikan gaji yang ”katanya” merupakan hak mereka. Hak siapa? Dan uang siapa yang mereka minta? Tidak sadarkah wahai para anggota DPRD bahwa uang yang anda minta adalah uang rakyat. Uang yang dikumpulkan dari kucuran keringat rakyat yang bekerja siang malam dan secara paksa maupun sukarela membayar pajak kepada negara. Uang itu sejatinya harus kembali lagi dalam bentuk fasilitas dan pelayanan bagi warga. Bukan untuk dibagi-bagikan kepada para anggota DPRD, DPR atau siapapun juga. Jadi berhentilah meributkan uang yang bukan menjadi hak anda semua.
Kepada pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY dan Menteri Dalam Negeri, berhentilah membuat kebijakan yang merugikan rakyat. Bagaimanapun PP No. 37/ 200 adalah produk yang dibuat pemerintah. Merevisi atau bahkan membatalkannya sekalipun bukanlah suatu tindakan hebat. Tetapi hanyalah sebuah keinsyafan kecil dari sebuah keteledoran besar.
Sekali lagi, kepada para anggota DPRD berhentilah meminta rapelan dan kenaikan tunjangan. Gaji anda sekalian sudah cukup besar dibandingkan dengan apa yang sudah kalian dihasilkan.
Ruswandi Zarkasih Bintaro Jaya, Jakarta Selatan
Sutiyoso dan Banjir
MEnyimak komentar-komentar Sutiyoso di berbagai media soal banjir di Jakarta, saya menangkap adanya upaya meyalahkan pihak lain alias mau cuci tangan sendiri dari pak Gubernur. Yang jadi kambing hitam selalu saja kawasan Puncak dan Bogor di Jawa Barat sebagai para pengirim air bah ke Jakarta. Padahal semua warga Jakarta tahu kalau banjir besar beberapa minggu lalu awalnya disebabkan oleh hujan lokal selama 3 hari berturut-turut di wilayah Jakarta.
Jadi, secara logika masalahnya berarti ada di kota Jakarta sendiri.
ZULFARIDANINGSIH Tanahbaru, Depok
Ralat:
Pada rubrik Opini, Tempo edisi 25 Februari 2007, halaman 24, dengan judul ”Penjara untuk Jenderal Polisi”, tertulis ”Suyitno Landung menjalani hukuman 18 tahun penjara.…” Yang benar, ”Suyitno Landung menjalani hukuman 18 bulan penjara.…” Kami mohon maaf atas kekeliruan ini—Redaksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo