Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Hukum Menolak Pasien Covid-19

Pembaca membedah aturan dalam Undang-Undang Kesehatan dan Undang-Undang Rumah Sakit.

12 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Surat - MBM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bolehkah rumah sakit menolak pasien covid-19?

  • Suap dalam pilkada

  • Krisis ilim

Hukum Menolak Pasien Covid-19

Apakah rumah sakit yang menolak pasien Covid-19 salah secara hukum? Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan melarang rumah sakit menolak pasien dalam kondisi darurat. Keadaan darurat diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yakni “keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan demikian, pimpinan dan tenaga kesehatan rumah sakit bisa mendapat sanksi pidana jika sengaja menolak pasien dalam keadaan gawat darurat yang membutuhkan tindakan medis. Sanksinya adalah 2 tahun penjara dan denda Rp 200 juta, menurut Pasal 190 UU Kesehatan. Sanksi pidana akan lebih berat jika menimbulkan kecacatan atau kematian pasien.

Namun Pasal 29 ayat 1 huruf c UU Rumah Sakit bisa menolak pasien gawat darurat jika melebihi kemampuannya. Masalahnya, keterbatasan peralatan medis tidak disebutkan secara gamblang dalam UU Kesehatan. Untunglah ada pasal 42 ayat 2 UU Rumah Sakit yang mewajibkan rumah sakit terbatas merujuk pasiennya kepada rumah sakit lain yang lebih memadai.

Jika pasien Covid-19 tak menunjukkan gejala gawat, rumah sakit bisa menginstruksikan pasien menjalani karantina mandiri. Rumah sakit akan memprioritaskan pasien yang sudah parah. Bagaimana jika tak memadai? Dokter perlu menjelaskan dua hal: menjelaskan kepada pasien fasilitas rumah sakit dan merujuk pasien kepada rumah sakit lain yang punya alat memadai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Adinda Zahara Ichsan

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia



Suap dalam Pilkada

Momok pemilihan kepada daerah adalah politik uang, netralitas aparatur pemerintah, dan kecurangan. Kampanye mengenai tiga hal ini untuk menyadarkan masyarakat masih kurang. Dari pengalaman saya, masyarakat cenderung tak memakai hak suaranya jika tak mendapat sogokan dari calon. Sementara itu, aparatur tidak netral karena adanya tekanan dari atasan dan janji jabatan dari calon kepala daerah.

Upaya KPU dalam sosialisasi terasa hanya formalitas agar masyarakat memilih. Mengapa anggarannya tidak dipakai untuk pemilih saja? Misalnya, memberikan suvenir bagi yang memilih sehingga pemilih tak menerima uang dari calon. Sebab, suap pemilu akan melanggengkan korupsi. Ini adalah tugas kita semua untuk menciptakan pemilu tanpa suap. Mungkin hal ini bisa dimulai dengan sumpah para calon dan tim suksesnya di depan publik agar berkomitmen tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran tersebut.


Ach Zahid

Madura


Krisis Iklim

Apa isu paling penting dan mesti segera ditangani? Menurut saya, di luar soal-soal politik dan hal-hal lain, isu paling penting adalah krisis iklim. Ini adalah muara dari segala persoalan. Pandemi virus corona yang memukul sendi-sendi kehidupan sosial masyarakat disebabkan oleh krisis iklim. PBB menyatakan, tingkat emisi gas rumah kaca di atmosfer paling tinggi tahun ini. Artinya, pandemi yang menghentikan kegiatan tak cukup mencegah emisi yang membuat suhu bumi menjadi panas.

Karena ini adalah masalah penting, seharusnya semua hal kita fokuskan untuk mencegahnya. Indonesia punya komitmen menurunkan emisi pada 2030. Itu janji yang bagus. Karena itu, janji itu mesti diikuti oleh kebijakan untuk mendukungnya. Krisis iklim memang dipicu oleh negara maju, tapi dampaknya akan paling dirasakan negara tak maju. Jadi, selain mendesak negara maju untuk menekan emisi, negara miskin perlu mencegahnya agar dampak itu tak terlalu buruk.

Solusinya memang kebijakan. Masyarakat juga perlu mengubah gaya hidup. Misalnya, memikirkan lagi jika akan membuang sampah, tidak konsumtif, dan tidak berlebih-lebihan dalam gaya hidup. Saatnya kita peduli. Tahun 2021 harus diniatkan sebagai tahun peduli iklim dan peduli bumi.


Dewi B.

Bogor, Jawa Barat

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus