Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlukah Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia terkait pemberian visa terhadap 42 warga Papua pencari suaka? (28 Maret - 04 April 2006) | ||
Ya | ||
27,31% | 367 | |
Tidak | ||
71,35% | 959 | |
Tidak tahu | ||
1,34% | 18 | |
Total | 100% | 1.344 |
Hubungan Indonesia-Australia te-rus memanas. Pada Senin pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono- ikut melontarkan pernyataan keras. Ia meng-utarakan kekecewaannya atas keputusan Australia yang memberikan visa sementara kepada 42 warga Papua. ”Pemberi-an suaka itu tidak realistis dan sepihak,” katanya di Istana Negara.
Presiden menilai bahwa kasus visa ini meng-usik kedaulatan dan kehormatan In-donesia. ”Soal kedaulatan dan kehormatan tidak ada kompromi,” katanya.
Tak cuma soal suaka, Yudhoyono juga menunjukkan ketidaksenangannya atas pemuatan karikatur koran The Weekend Aus-tralian yang menggambarkan dirinya- sedang menunggangi orang Papua. Ia berha-rap Australia tak menganggap enteng soal itu. ”Banyak perang dunia yang dipicu hal-hal sepele,” ujarnya.
Sejak kasus pemberian visa itu, Indonesia telah menurunkan derajat hubungannya- dengan Australia melalui penarikan Duta Besar Hamzah Thayeb. Belum jelas kapan Hamzah akan kembali bertugas di Canberra. ”Nanti jika cuaca membaik,” kata Men-teri Luar Negeri Hassan Wirajuda.
Sementara itu, Perdana Menteri Australia John Howard optimistis hubungan nega-ranya dengan Indonesia pada akhirnya membaik lagi. Dia memprediksi kemarahan Presiden Yudhoyono tak akan merusak hubungan jangka panjang kedua negara. ”Indonesia dan Australia itu dekat. Ba-nyak yang harus kita pertaruhkan dalam ke-mitraan bersama ini,” katanya.
Kendati situasi panas, hasil jajak pen-da-pat Tempo Interaktif menunjukkan sebagi-an besar responden menilai Indonesia tak perlu memutuskan hubungan diplomatik dengan Australia. Riza, seorang res-ponden Tempo Interaktif di Jakarta, me-nilai- pemutusan hubungan diplomatik- akan me-nyenangkan pihak Organisasi Pa-pua Mer-deka (OPM ). ”Yang penting pe-merin-tah ha-rus menyejahtera-kan penduduk Papua,”- ujar-nya.
Adapun Gustavo, di Yog-yakarta, berpen-dapat sebaliknya. ”Sebaiknya pemerintah- member-ikan ul-ti-matum kepada pe-merintah- Australia agar meminta maaf atas apa yang telah dilakukan. K-alau me-reka tak mau minta maaf, tak ada salahnya peme-rintah kita memutuskan hu-bung-an diplomatik de-ngan Australia,” ujarnya.
Indikator Pekan Ini: Rencana revisi Undang-Undang Nomor- 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menyu-lut aksi demo para buruh di Jakarta dan ber-ba-gai kota di Indonesia. Revisi tersebut dianggap- melemahkan posisi buruh. Ko-odinator Aliansi Buruh Menggugat, Ba-yu Murninto, mengata-kan bahwa para buruh akan tetap berunjuk rasa hingga 1 Mei, jika revisi tak dicabut. Demontrasi buruh diperkirakan mem-buat dunia usaha merugi ratusan miliar rupiah. ”Pengusaha di Jawa Barat saja sudah mencatat kerugian Rp 32 miliar dan Jawa Ti-mur Rp 52 miliar,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia, Djimanto. Menurut Djimanto, ketentuan yang tak tercantum di UU Ketenagakerjaan bukan- ber-arti tak dilaksanakan. Contohnya, ada- ketentuan yang di-atur dalam UU No.3/1993 ten-tang- Jamin-an Sosial- Te-na-ga Kerja dan di Kitab UU Hukum Perdata. Dia ya-kin- pihak yang berwe-nang merevisi peraturan itu akan menampung as-pi-rasi semua pihak dan memutuskannya secara bijak-sana. Menurut Anda, perlu-kah revisi Undang-Un-dang Nomor 13 Ta-hun 2003 tentang Kete-na-gakerjaan? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo