Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUKAN kebiasaan Sugiman menenteng fotokopi kartu tanda penduduk ke mana-mana. Namun, demi mendapatkan jatah pembelian pupuk yang akhir-akhir ini langka, petani Desa Junjung, Kecamatan Sumbergempol, Tulung-agung, Jawa Timur, itu rela berperilaku bak peminta sedekah.
Pekan lalu, fotokopi KTP itu juga di-bawanya bertandang ke Sambidoplang. Kedatangannya ke desa tetangga itu tak lain untuk memburu pupuk bersubsidi, yang di desanya raib dari pasar. ”Mau beli saja harus bawa fotokopi KTP,” kata-nya, merepet. Itu pun, ”Pembelian paling- banyak hanya boleh dua sak.”
Sutarji, dari desa yang sama, punya cerita lain. Petani yang hanya punya lahan kurang dari setengah hektare ini bahkan harus bersepeda motor sejauh 60 kilometer ke Kecamatan Srengat, Blitar, untuk bisa memperoleh pupuk.
Begitulah, harga pupuk di Jawa Timur terus melangit. Satu sak berisi 50 kilogram pupuk urea bersubsidi, yang dipatok pemerintah berdasarkan harga eceran tertinggi Rp 52 ribu, di pasaran kini mencapai Rp 140 ribu. ”Kalau sudah begini, petani seperti saya ini makan apa?” kata Agus Slamet, petani di Bojonegoro.
Tak tahan akan kondisi ini, sejumlah petani melakukan unjuk rasa di gudang pupuk PT Petrokimia Gresik, Lamong-an. Mereka menuntut pupuk segera dipasok ke pasaran dan harganya ditekan. Di Ngawi, para petani pun mendatangi kantor DPRD, menuntut ketersediaan pupuk murah.
Situasi tak jauh berbeda dialami peta-ni di Majalengka, Jawa Barat. Pupuk urea bersubsidi, yang seharusnya dijual Rp 1.050 per kg, di pasaran harganya Rp 1.400-1.500 per kg. Maman, petani di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, juga harus menunjukkan KTP untuk bisa membeli pupuk.
Alasan yang dikemukakan penjual, bahwa ketentuan ini untuk menghindari pembelian pupuk oleh orang dari luar daerah itu, bagi Maman masih bisa diterimanya. Tapi dalam batin ia bertanya: kenapa pupuk tetap dijual di atas harga patokan pemerintah?
Keluhan para petani juga bergema di banyak daerah di Jawa Tengah. Apalagi pupuk yang bisa diperoleh pun rata-rata cuma bisa menutup setengah dari kebutuhan. ”Kami harus berbagi di antara sesama petani agar semua bisa memupuk sawahnya,” kata Parmin, petani di Dusun Ngipik, Bangsri, Karanganyar.
Buat para petani, masa paceklik pupuk ini jelas pukulan berat. Sebab, saat ini sudah mulai memasuki masa tanam dan pemupukan tahap kedua. Jika persoalan ini tak kunjung tuntas, dikhawatirkan panen bakal bangkrut.
Padahal, kata Direktur Utama Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo, dari target produksi gabah kering giling tahun ini yang 54,8 juta ton, sekitar 60 persennya (32,9 juta ton) diharapkan dihasilkan pada masa panen raya ini. Dengan- kelangkaan pupuk, ditaksir pro-duksi gabah bakal turun sekitar 10 persen, atau 3,3 juta ton.
Melihat gejala itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bu-ru-buru turun tangan. Ketika meresmikan pabrik baru PT Pupuk Kujang di Desa Dawuan, Cikampek, Karawang, Jawa Barat, Senin pekan lalu, ia memerintahkan Menteri BUMN Sugiharto, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono segera menangani persoalan ini.
Yudhoyono juga menjamin kelangsungan pasokan gas untuk industri pupuk. ”Kita memang butuh devisa, tapi tidak semua gas harus diekspor,” katanya. Perubah-an kebijakan ini memang diperlukan agar kesulitan pasokan gas, seperti yang dialami PT Pupuk Iskandar Muda dan Aceh Asean Fertilizer, tak terulang. Sebab, pasokan gas alam yang ada sekarang hanya bisa mencukupi 68 persen kebutuhan seluruh pabrik pupuk.
Menurut Menteri Fahmi, akibat ke-terbatasan pasokan gas itu, tingkat utili-sasi pabrik pupuk di Indonesia saat ini belum optimal. Keadaan ini diperparah dengan kondisi pabrik pupuk yang rata-rata sudah berumur di atas 20 tahun. Itu sebabnya, kapasitas produksi urea seluruh pabrik pupuk di Indonesia, yang mencapai 7,9 juta ton per tahun, tak bisa termanfaatkan penuh.
Produksi pupuk urea paling-paling hampir berimbang dengan tingkat kebutuhan konsumsi pertanian, yang setiap tahunnya ditaksir sekitar 5,9 juta ton. Akibatnya, ketika salah satu—dari lima—pabrik mengalami gangguan, pasokan pupuk di dalam negeri langsung goyah.
Kekhawatiran itulah yang kini jadi kenyataan. Kerusakan di pabrik PT Petrokimia Gresik, sejak 5 Februari lalu, menjadi salah satu penyebab kekurangan pasokan pupuk. Sebagai langkah antisipasi, PT Petrokimia sesungguhnya telah meminta PT Pupuk Kaltim memasok 57 ribu ton pupuk. Namun, yang bisa dipenuhi ternyata hanya 37 ribu ton.
Belum lagi soal hambatan distribusi. Pemindahan sumber pasokan dari PT Petrokimia di Jawa Timur ke PT Pupuk Kaltim yang berlokasi di Kalimantan Timur bukan perkara mudah. Proses penyaluran pupuk menghadapi kendala transportasi, yaitu tidak adanya pengapalan pupuk.
Urusan distribusi ini sebetulnya sudah lama bikin pusing. Sebab, dari total permintaan pupuk urea bersubsidi sebanyak 4,3 juta ton, lebih dari 60 persennya datang dari Jawa. Padahal, tiga pabrik pupuk berada di Sumatera dan Kalimantan. ”Ini masalah besar dalam distribusi pupuk nasional,” kata Menteri Perdagangan Mari Pangestu.
Dengan jarak berjauhan itu, biaya distribusi menjadi amat mahal. Apalagi setelah terjadi beberapa kali kenaik-an harga bahan bakar minyak. Biaya transportasi diperkirakan meningkat 40-70 persen, sementara harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi tidak pernah berubah sejak tiga tahun silam.
Berdasarkan peraturan Menteri Pertanian tahun 2005, harga tertinggi pupuk urea dipatok Rp 1.050 per kg, pupuk ZA Rp 950 per kg, pupuk SP36 Rp 1.400 per kg, dan pupuk NPK Rp 1.600 per kg. Patokan itu jauh berbeda dengan harga di pasar komersial (non-subsidi), yang lebih tinggi Rp 750-950 per kg.
Disparitas inilah, kata Mari, yang kemudian memicu penye-lewengan distribusi pupuk bersubsidi ke pasar komersial. Belum lagi jika dibandingkan dengan harga pupuk di pasar internasional yang terus melambung sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia.
Kondisi ini, kata Achmad Suryana, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, mendorong terjadinya praktek ekspor ilegal pupuk bersubsidi. Akibatnya, pasokan pupuk domestik langka dan harganya meningkat.
Menteri Anton termasuk yang mencium bau busuk ini. Kelangkaan pupuk- selama sebulan terakhir, kata kader- Partai Keadilan Sejahtera itu, salah satu-nya disebabkan penyimpangan distribusi pupuk bersubsidi ke tambak, perkebun-an besar, dan industri (seperti tekstil dan perkayuan). ”Yang merem-bes ke tambak mencapai dua ton per hektare,” ujarnya kepada Tempo.
Nah, untuk mengatasinya, Achmad memandang perlu perbaikan sistem distribusi yang bisa menjamin pengecer menyalurkan sepenuhnya pupuk bersubsidi ke kalangan petani. Lantas, mengenai perlu-tidaknya kenaikan patokan harga jual pupuk bersubsidi—untuk memperkecil jurang perbedaan harga itu—keputusannya masih harus menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.
Audit yang memakan waktu lebih dari sebulan ini akan menghitung ulang biaya produksi pupuk, seperti saat BPK mengaudit biaya pokok pengadaan listrik PT PLN. Termasuk mengevaluasi efektivitas kebijakan subsidi pupuk. ”Siapa sebenarnya yang menikmati subsidi selama ini, pabrik ataukah petani?” kata Ketua BPK, Anwar Nasution.
Metta Dharmasaputra, Ewo Raswa, Agus Supriyanto, Nanang Sutisna, Sunudyantoro (Surabaya), Anas Syahirul (Karanganyar), Ivansyah (Majalengka)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo