Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Tanggapan buat Junus Jahja

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA ingin menanggapi surat pembaca dari Junus Jahja di TEMPO Edisi 10-16 Februari 2003 berjudul Baperki dan LPKB. Tulisan tersebut dimaksudkan sebagai koreksi atas tinjauan buku yang berjudul Dari Krisis ke Krisis yang saya tulis di TEMPO Edisi 16-22 Desember 2002.

Junus Jahja menuduh bahwa Siauw Giok Tjhan amat dekat dengan PKI. Memang benar, setelah Pemilu 1955, Siauw Giok Tjhan sebagai Ketua Baperki semakin condong ke kiri. Hal itu disebabkan oleh sikap PKI di parlemen yang mendukung perjuangan antidiskriminasi terhadap orang Cina sebagaimana diperjuangkan oleh Baperki. Sedangkan partai-partai lain bersikap tidak peduli atau malah membenarkan diskriminasi rasial. Namun tuduhan Junus Jahja bahwa Siauw Giok Tjhan adalah seorang komunis sama sekali tak berdasar. Jika kita membaca pidato ataupun tulisan Siauw Giok Tjhan serta dokumen-dokumen Baperki, tidak pernah komunisme dicanangkan sebagai tujuan perjuangan politik mereka. Kebiasaan memberikan label ataupun stigma komunis adalah sesuatu yang tipikal Orde Baru, tapi Junus Jahja masih gemar menggunakannya lima tahun setelah Orde Baru tumbang.

Lebih parah lagi, Junus Jahja membuat dikotomi ideologis antara Baperki dan Lembaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa (LPKB) sebagai ”bad Chinese” dan ”good Chinese”. Saya yakin bahwa Baperki dan LPKB sama-sama punya tujuan baik meski keduanya menempuh strategi yang berseberangan.

Memang benar bahwa LPKB bukan antek Peking, melainkan binaan militer. Tak mengherankan, setelah September 1965, penguasa militer melakukan pembersihan terhadap segala sesuatu yang dianggap kiri, komunis, pro-Peking, maka dengan sendirinya LPKB berhasil menyelamatkan ratusan ribu orang Cina.

Politikus keturunan Cina dari LPKB, menurut penuturan mantan Ketua Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC), ikut mendesain kebijakan anti-Cina, seperti ganti nama, larangan merayakan Imlek secara publik, penutupan sekolah Cina, pelarangan aksara Cina, serta marginalisasi orang Cina dari politik dan kehidupan publik. Semua itu didasari keyakinan kelompok LPKB bahwa hanya melalui proses asimilasilah ”masalah Cina” bisa diselesaikan.

LPKB, dengan maksud baiknya, telah ”menggadaikan” kebebasan orang Cina di Indonesia selama masa Orde Baru (1966-1998). Hasilnya, seperti kita semua tahu, pada Mei 1998 orang Cina—bukannya sudah terasimiliasi—malah menjadi target penjarahan, pembunuhan, dan pemerkosaan secara massal dan terorganisasi. Adakah rasa bersalah (mea culpa) kelompok LPKB?

BENNY SUBIANTO
Center for Chinese Studies
Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus