Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Rusia dalam Warna Baru

Pameran lukisan kontemporer Rusia digelar di Jakarta. Karya-karyanya tak lagi didominasi isu sosial, tapi tetap segar.

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di atas kanvas berukuran 201 x 450 sentimeter, Peter I, Tsar Rusia abad ke-18, "hidup" kembali. Dalam guratan tinta keemasan, sang Kaisar dikelilingi menteri kerajaan, panglima perang, wanita cantik yang konon selirnya, tengkorak sang ayah—Paul I—dalam jubah kerajaan, serta musuh-musuh yang akhirnya membunuhnya. Di belakangnya tergantung gambar Catherine, ibu sang Kaisar, dengan sorot mata tajam dan garis wajah keras.

Lukisan berjudul The Reign of Paul the First itu adalah potret sejarah masa lalu Rusia. Meski kental mengusung gaya romantisme klasik, lukisan ini tidak dibuat beratus tahun lalu. Itulah buah dari goresan kuas seorang pelukis muda Alexander Voronkov di tahun 1988. Di atas medium kertas cardboard dengan cat grisaille, lukisan ini adalah satu dari seratusan karya pelukis Rusia dalam Pameran Seni Rupa Rusia Kontemporer, tanggal 3 hingga 17 April di Galeri Nasional, Jakarta. Di samping Voronkov, tercatat pula nama-nama seperti Vladimir Anisimov, Inozemtsev Konstantin, Vitaly Mironov, Shamil Taktashev, Burtov Nikolai, Vladimir Pereyaslavets, Georgy Poplavsky, Vitaly Popov, dan lain-lain yang juga menggelar karyanya.

Selain Rusia, pameran tersebut mengusung berbagai lukisan dengan latar belakang Indonesia, terutama Jawa, Bali, dan Sumatera. Menurut pelukis sekaligus ketua rombongan, Vladimir Anisimov, proyek ini dilakukan dalam dua kali kunjungan. Pada tahun 2000 lalu, sekitar 20 pelukis Rusia berkeliling Jawa dan Bali selama dua bulan. Selanjutnya, dua tahun kemudian perjalanan serupa kembali di gelar. Kali ini dengan tujuan Sumatera.

Pameran yang merupakan kerja sama pemerintah Indonesia dengan Rusia itu tak urung seperti membangkitkan kembali kejayaan seni rupa Negeri Beruang Merah di awal abad ke-20 silam. Pada masa tersebut negeri ini merupakan salah satu kiblat seni rupa di Eropa, bahkan di Amerika. Kritikus seni rupa Jim Supangkat mengatakan dari sinilah sebetulnya aliran kubisme berkembang. Sayangnya, tak banyak yang tahu hal itu sehingga Pablo Picasso-lah, seorang pelukis Spanyol yang tinggal di Prancis, yang dianggap melahirkan aliran ini.

Selain kubisme, menurut Rifky Efendi, pengamat seni rupa sekaligus kurator Galeri Cemara, Jakarta, aliran konstruktivisme dengan elemen matematis juga banyak digunakan pada awal abad tersebut.

Namun, kilau kejayaan Rusia meredup begitu kaum komunis berkuasa. Saat masih berbentuk Uni Soviet, pemerintah tak mengizinkan para perupanya mengadopsi pengaruh luar, terutama negara-negara Barat. Lukisan-lukisan seperti milik Voronkov, misalnya, yang banyak mengadopsi mithologi Mesir, Yunani kuno, atau berlatar belakang sejarah pra-Revolusi Bolshevik, jelas dilarang.

"Kami seperti hidup di bawah tekanan," tutur Anisimov, lelaki jebolan Moscow Textile Academy ini. Seni rupa Rusia yang menutup diri dari dunia luar itu tenggelam. Tema realis-sosialis dikukuhkan sebagai satu-satunya "kebenaran", tapi tak semua seniman bersedia patuh pada pola yang sudah digariskan oleh pemerintah. Banyak seniman besar Rusia akhirnya memilih hengkang dari negerinya. Di antaranya adalah Ilya dan Emilya Kabakov. Sekitar tahun 1980-an, sepasang suami-istri ini memutuskan hijrah ke New York.

Di sana, selain menemukan kebebasan, reputasinya di dunia seni lukis juga makin dikenal. "Ilya dan Emilya bahkan memiliki anak-anak didik yang akhirnya menjadi pelukis besar," tutur Rifky. Sejumlah karya mereka menghiasi ruang pamer bergengsi di seluruh dunia. Seperti misalnya The Character (1988), seni instalasi pertamanya yang kini dipajang di De Ronald Feldman Gallery, New York, atau The Big Archive (1993) di Stedelijk Museum.

Padahal, sebelum hijrah, keduanya sempat bergabung dengan seniman bawah tanah (underground) yang lain untuk mendobrak kultur seni yang dipatok Uni Soviet. Mereka di antaranya adalah Vitali Komar, Alexander Melamid, Erik Bulatov, dan Dmitri Prigov.

Saat paham komunis tumbang dan diikuti pecahnya Uni Soviet, pintu kebebasan bagi para perupa—dan segala aspek kehidupan lainnya—terbuka lebar-lebar. Bermacam aliran seni rupa ikut menyeruak masuk. Seperti diungkapkan Anisimov, para seniman akhirnya juga mengadopsi aliran yang berkembang di negara-negara Barat. Walhasil, kuas-kuas yang digoreskan di atas kanvas pun tak hanya terpaku pada gaya realis. Bentuk seperti ekspresionis, impresionis, naturalis, romantisme klasik hingga kontemporer ikut mewarnai gaya seni rupa di Rusia.

Gaya realisme sosial kini dianggap ketinggalan zaman di kalangan senirupawan. "Kami sudah jenuh dengan realis," ucap Anisimov terbahak. Dan dari 13 karyanya, tak satu pun yang mengusung aliran ini. Pria berjenggot yang lahir pada tahun 1955 ini lebih suka menggunakan gaya impresionis.

Meski begitu, harus diakui bahwa hampir semua lukisan didukung oleh teknik dan kualitas yang nyaris sempurna. Selain itu, mereka juga lihai memilih sudut bidik yang tidak biasa. Simaklah lukisan Anisimov yang berjudul Old Boats (tahun 2000), misalnya. Dengan penggunaan warna yang lebih hemat, ia justru berhasil merekam suasana sunyi perahu-perahu tua yang ditambatkan di pinggir pantai hingga ke relung hati, bukan sebatas di atas kanvas.

Amati pula lukisan Vitaly Popov berjudul China Town yang dibuat tahun 2000 lalu. Kampung kumuh di pinggir Kali Ciliwung, Jakarta, itu justru tampak lebih meriah di atas medium kertas dibanding dalam kehidupan nyata.

Mencairnya Perang Dingin dan runtuhnya komunis memang mengubah wajah negeri ini menjadi hangat dan terbuka. Begitu pula dalam bidang seni rupa. Mereka sangat agresif membangkitkan kembali kenangan publik akan kejayaan seni rupa Rusia. Seperti dituturkan Kepala Biro Kantor Berita Rusia Novosti di Jakarta, Anatoly Voronkov, selain di Indonesia, Rusia juga aktif menggalang berbagai kerja sama dan pameran di negara-negara Asia dan Eropa.

Sayangnya, tak mudah mewujudkan mimpi ini dalam waktu singkat. Menurut Rifky dan Jim sepakat, hal itu butuh waktu serta proses yang tidak sebentar. Sebab, kalau mau jujur, Rusia telah tertinggal berpuluh langkah dari negara-negara lain. Pintu kebebasan telah terkuak lebar, tapi anggaran pemerintah dan sponsor menipis. Para seniman ditantang untuk menghadapi fenomena umum: pasar mulai menggantikan peran negara.

Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus