Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UPAYA membatasi pemilihan presiden melalui persyaratan 20 persen perolehan suara partai politik (RUU Pemilihan Presiden Pasal 5 Ayat 4) dicoba diberi pembenaran ilmiah melalui ilmu statistik oleh Dr. Riswanda Imawan, dosen Fisipol UGM, anggota tim perumus RUU tersebut. (Lihat kolom di TEMPO Edisi 7-12 April lalu, Angka dari Kahyangan.)
Niat akademis Dr. Riswanda tentu saja baik, mencari model pemilu yang efisien dan murah. Sayang sekali, jalan pikirannya keliru. Akibatnya, RUU yang ikut ia bidani itu dapat menjadi skandal akademis yang memalukan.
Kekeliruannya, ia berpikir bahwa ketentuan konstitusi tentang pemilihan presiden adalah simpang-siur. Riswanda mengambil Pasal 6A Ayat 3 UUD sebagai penghalang yang akan membuat pemilihan presiden itu harus berlangsung dalam 724 kali putaran (bila terdapat 15 pasangan presiden dan wakilnya), agar terpilih pemenang yang memenuhi ketentuan pasal 6A ayat 3 itu (yaitu memperoleh suara 50 persen +1).
Dalam kalkulasi Riswanda, angka probabilitas 1 pasangan memenuhi syarat pasal 6A ayat 3 itu adalah sebesar 0,069 (untuk 15 pasangan) dan 0, 137 (untuk 8 pasangan setelah berkoalisi). Kalau angka ini kita uji secara statistik (seperti dilakukan para peneliti di Perhimpunan Indonesia Baru), total probabilitas dari hitungan Dr. Riswanda itu masing-masing adalah 1, 035 (untuk 15 pasangan) dan 1,096 (untuk 8 pasangan). Kedua angka itu adalah lebih besar dari 1. Padahal teori probabilitas menghendaki angka itu harus sama dengan 1. Jadi, ada matematika yang keliru dalam perhitungan Dr. Riswanda.
Kekeliruan yang sama, ia berpikir, dengan memasukkan angka 20 persen melalui Pasal 5 (4) RUU Pemilihan Presiden, pemilu dapat diselesaikan dalam satu putaran. Lagi-lagi, kalau kita hitung statistik dari pikiran Riswanda itu, hasilnya adalah bahwa besarnya peluang bagi satu pasangan calon presiden dan wakilnya untuk memperoleh suara 50 persen + 1 hanya 0,0625 (dengan rentang jumlah pemilih dari 1 juta orang sampai 100 miliar). Itu artinya, angka 20 persen di RUU Pemilihan Presiden itu tidak menyelesaikan soal sedikit pun. Dengan kata lain, tetap diperlukan putaran kedua pemilihan presiden. Seharusnya Dr. Riswanda mengerti bahwa tidak perlu ada hubungan statistik antara pembatasan jumlah calon presiden dan jumlah putaran pemilu. Dalam ilmu statistik, tidak boleh mengambil kesimpulan dari dua kejadian yang terpisah. Karena itu, angka 20 persen dari Riswanda memang angka dari kahyangan.
Memakai statistik untuk menerangkan kesamaan probabilitas terpilihnya seorang presiden tidaklah sama dengan menerangkan probabilitas terpilihnya sebuah nomor undian berhadiah. Popularitas, kedudukan kekuasaan, politik uang, dan elemen-elemen kebudayaan lain pasti ikut mempengaruhi probabilitas itu.
Sebetulnya, jalan keluar yang disediakan konstitusi sudah sangat jelas. Bila pada putaran pertama tidak tercapai angka 50 persen + 1, terbukalah pintu bagi putaran kedua yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon peraih jumlah suara terbesar pertama dan kedua dalam putaran pertama. Di sini pasti diperoleh suara terbanyak yang akan menghantarkan satu pasang calon presiden dan wakil presiden sebagai presiden dan wakil presiden. Sangat jelas. Lalu, apa yang simpang-siur? Mungkin jalan pikiran Riswanda yang agak simpang-siur.
Saya menduga, Riswanda telah salah mengartikan kesatuan logis dari pasal Konstitusi yang mengatur pemilihan presiden itu, yaitu pasal 6A ayat 3 dan pasal 6A ayat 4. Filosofi yang benar, pasal 6A ayat 3 melahirkan dari dalam dirinya pasal 6A ayat 4. Artinya, pasal 6A ayat 3 itu menciptakan turunan logis dalam bentuk pasal 6A ayat 4 untuk menyelamatkan suatu kasus pemilihan presiden yang tidak dapat diselesaikan oleh pasal 6A ayat 3 itu. Dengan itu, semua kemungkinan simpang-siur sudah diantisipasi oleh kesatuan pasal itu sendiri. Politik memang tidak gampang. Begitu juga statistik.
ERNA ZETHA
Mahasiswa S3 FE-UI,
Pengurus Partai PIB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo