Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Tanggung Jawab Para Jenderal

Menurut responden, para petinggi TNI harus bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi di Aceh, meski mereka dianggap hanya menjalankan perintah panglima tertinggi.

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JENDERAL-jenderal itu masih tampak gagah. Bukan hanya karena mereka mengenakan jas atau dasi, raut muka mereka pun menyiratkan kepercayaan diri yang besar. Begitulah kesan umum yang muncul ketika para bekas petinggi TNI hadir di Senayan, memenuhi undangan Panitia Khusus (Pansus) DPR untuk masalah Aceh, awal pekan lalu. Enam jenderal datang ke DPR, didampingi bekas Gubernur Daerah Istimewa Aceh, Prof. Dr. Ibrahim Hasan. Mereka bukan sembarang jenderal. Ada bekas Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal (Purn.) L.B. Moerdani, bekas Panglima ABRI Jenderal (Purn.) Try Sutrisno, dan bekas Panglima ABRI Jenderal (Purn.) Feisal Tanjung. Hadir pula ke Senayan bekas Panglima Komando Daerah Militer I Bukitbarisan, Jenderal (Purn.) Pramono, bekas Komandan Resor Militer 011/Lilawangsa Letjen (Purn.) Syarwan Hamid, dan bekas Kepala Badan Intelijen ABRI yang pada Mei 1991—Maret 1992 menjadi Komandan Satuan Tugas Khusus ABRI di Aceh, Mayjen Zacky Anwar Makarim. Hampir sepekan sebelumnya, bekas Panglima ABRI yang sekarang menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Jenderal Wiranto, juga menghadap Pansus untuk soal yang sama. Inilah, untuk pertama kalinya di republik ini, serombongan bekas jenderal dipanggil DPR untuk dimintai keterangan. Pemanggilan itu dilatarbelakangi situasi Aceh yang makin gawat. Rakyat Aceh tak lagi bisa menerima perlakuan semena-mena: tanah dijarah, hasil bumi diangkut, kaum lelakinya banyak yang dirudapaksa, dibunuh, sedangkan perempuannya ada yang diperkosa. Warga Serambi Mekah pun menuntut referendum dengan opsi merdeka. Ada dugaan, TNI telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia di sana. DPR ingin mengklarifikasi sangkaan itu. Mereka ingin tahu, apakah jenderal-jenderal itu terlibat atau paling tidak tahu sebab-sebab mengapa Aceh jadi seperti sekarang ini. Benarkah mereka yang bertanggung jawab menjadikan Tanah Rencong itu sebagai daerah operasi militer? Keingintahuan para anggota dewan sama dengan warga kebanyakan. Jajak pendapat TEMPO memperlihatkan, hampir semua responden menganggap para jenderal memang perlu datang ke DPR untuk memberi penjelasan. Menurut mereka, para bekas petinggi militer itulah yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di bumi Aceh. Bagaimana reaksi para jenderal? "Pemerintah dan militer tidak pernah menyatakan Aceh sebagai daerah operasi militer," kata Try Sutrisno lantang. Semua tindakan keamanan yang dilakukan TNI di Aceh adalah sah dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Apalagi, TNI waktu itu sering membicarakan soal Aceh dengan Komisi I DPR, "Dan Presiden [Soeharto] sudah mempertanggungjawabkannya di depan Sidang Umum MPR," ujar Try. Mendengar jawaban itu, para anggota DPR seperti kehabisan peluru pertanyaan tajam untuk mengorek keterangan para jenderal lebih jauh. Ada kesan dewan tidak mengerjakan "pekerjaan rumah" mereka dengan baik. Mereka seperti tidak melakukan riset mendalam sebelum melontarkan pertanyaan. Alhasil, sampai rapat berakhir menjelang tengah malam, persoalan yang menyelimuti Aceh pun tetap masih gelap. Penonton yang menyaksikan rapat yang disiarkan televisi secara langsung itu mungkin kecewa. Namun, memang para jenderal itu bukan satu-satunya yang dianggap menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Setidaknya, menurut sebagian besar responden jajak pendapat TEMPO, para petinggi itu hanya menjalankan perintah panglima tertinggi ABRI alias presiden yang berkuasa waktu itu. Maka, jangan heran bila responden menilai Jenderal Besar (Purn.) Soeharto adalah orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di Aceh. Meski begitu, tak berarti militer bisa bebas dari jangkauan hukum. Publik, seperti tecermin dalam jajak pendapat ini, meminta agar yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi di Aceh diadili di mahkamah militer. Itu satu persoalan tersendiri karena tidak mudah membawa tentara ke meja hijau. Di antara anggota kabinet pun, pendapat terbelah dua. Menteri-menteri bidang politik dan keamanan, seperti Menteri Hukum dan Perundang-undangan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Negara HAM Hasballah M. Saad, dan Jaksa Agung Marzuki Darusman, di pihak yang setuju penyidangan para jenderal pelanggar hak asasi manusia. Apalagi, sudah ada beberapa temuan yang bisa dijadikan bahan pengusutan. Di kubu lain, Menteri Wiranto, Panglima TNI Laksamana Widodo, dan Kapolri Jenderal Roesmanhadi menolak ide itu. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berada di tengah kedua sikap itu. Di mata Ghazi Hussien Yoesoef, anggota Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh, sikap pemerintah sebetulnya agak mengherankan. Menurut dia, komisi sudah melakukan penyelidikan, testimoni, dan sebagainya. Komisi bahkan sudah menyodorkan rekomendasi kepada pemerintah pada 10 November silam, tapi itu belum diproses sampai sekarang. Padahal, TNI sendiri sesungguhnya mengakui adanya pelanggaran hak asasi. "Cuma, ada permintaan dari TNI agar jangan hanya TNI yang dituduh melanggar hak asasi dan melakukan tindak kekerasan," kata Ghazi kepada Mustapha Ismail dari TEMPO. Wah, pantas saja para jenderal yang hadir di DPR itu pulang dengan gagah, dan para anggota dewan berebutan menyalami mereka.

Wicaksono


INFO GRAFIS
Menurut Anda, apakah DPR perlu memanggil para petinggi TNI yang dianggap terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia selama Aceh dijadikan sebagai daerah operasi militer?
Ya88%
Tidak tahu11%
Tidak2%
 
Apakah para petinggi TNI itu memang orang yang bertanggung jawab terhadap adanya pelanggaran hak asasi di Aceh?
Ya71%
Tidak tahu20%
Tidak9%
 
Apakah para petinggi TNI itu perlu diadili di mahkamah militer?
Ya64%
Tidak tahu28%
Tidak8%
 
Bagaimana keterlibatan para petinggi TNI dalam pelanggaran hak asasi di Aceh?
Sebagai orang yang mendapatkan perintah dari panglima tertinggi54%
Sebagai orang yang memberi perintah kepada anak buah di lapangan24%
Tidak tahu9%
Tidak terlibat sama sekali4%
 
Apakah bekas presdien Soeharto sebagai panglima tertinggi ABRI waktu itu merupakan orang yang harus bertanggung jawab adanya pelanggaran hak asasi semasa Aceh merupakan daerah operasi militer?
Ya85%
Tidak tahu14%
Tidak1%
 

Metodologi jajak pendapat ini:

  • Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 515 responden di lima wilayah DKI pada 27 November-30 Desember 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.

  • Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.

MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB

Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum