SUDAH enam pekan lebih RRI dan TVRI ditinggalkan induk semangnya. Namun, keduanya tak banyak menampakkan tanda-tanda kehilangan. Pembubaran Departemen Penerangan justru menjadi rahmat tersamar bagi RRI dan TVRI. Kini, media itu lebih leluasa mengikis julukan ''corong pemerintah"—sebuah label yang melekat selama setengah abad lebih.
''Kalau dulu corong itu bisa dimanipulasi untuk kepentingan pemerintah, sekarang tidak ada lagi yang akan kita tutup-tutupi," ujar Suryanta Saleh kepada TEMPO. Direktur RRI itu mengakui, pada masa lalu, mereka bisa membatalkan sebuah berita bagus bila merugikan pemerintah. Tapi sekarang, mereka akan kembali ke ''khitah", yakni menjalankan apa yang pernah disumpahkan RRI sejak kelahirannya, 11 September 1945: berdiri di atas segala aliran dan keyakinan partai atau golongan.
Semangat ini akan diimplementasikan dalam setiap pemberitaan. Bahkan, kata Suryanta, tindakan itu telah dilakukan RRI sebelum Departemen Penerangan dibubarkan, yakni menyiarkan Habibie didemo di Surabaya, tahun silam. Semangat yang sama terjadi pula di TVRI. ''Zaman dulu, mana ada kita melihat TVRI meliput jenderal yang dihadapkan di DPR," ujar Suryanta. Model pemberitaan ini akan mewarnai RRI dan TVRI pada masa depan—sebuah langkah yang dibenarkan Direktur TVRI Chairul Zen. ''TVRI akan menjadi lembaga independen. Tidak boleh ada intervensi dari pihak mana pun, terutama dalam kebijakan pemberitaan," ujarnya.
Euforia pembaruan memang tengah melanda kedua media ini. Tekadnya jelas, menyiarkan berita dengan semangat netral, independen, dan seimbang. Niat baik ini bukan tanpa halangan. Pertama, soal mental. Meminjam istilah Suryanta, harus ada switch mental ''mohon petunjuk" yang sudah begitu melekat. Soal kedua? Untuk bisa independen—dari dominasi kepentingan penguasa, terutama—RRI dan TVRI harus lebih mandiri.
Selama ini, status kedua media ini adalah yayasan yang disubsidi penuh pemerintah. Anggaran tahunan RRI (Rp 135 miliar) dan TVRI (Rp 220 miliar) dipenuhi dengan dana APBN. Bagaimana status mereka pada masa mendatang masih digodok di Kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara. Kemungkinan besar keduanya akan menjadi perjan (perusahaan jawatan). Ini salah satu bentuk BUMN yang menekankan pelayanan kepada masyarakat (public service) dan tidak bersifat komersial,
Rancangan perjan dalam peraturan pemerintah yang baru nanti akan sejalan dengan napas dua lembaga itu, yaitu mencantumkan RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik yang independen, netral, dan menyuarakan kepentingan masyarakat. Bentuk perjan membuat RRI dan TVRI masih bisa bernapas lega karena mereka masih boleh mendapat subsidi. Berbeda dengan persero, yang seratus persen berbisnis. Alhasil, selama tiga tahun ke depan, kedua institusi ini masih disuntik bantuan pemerintah.
Lantas, apa kiatnya kelak untuk mandiri dengan tanggungan sebesar 8.790 pegawai RRI dan dan 7.217 pegawai TVRI? Chairul Zen cenderung mengoptimalkan pendapatan melalui iuran. ''Jika 20 juta saja dari seluruh pemilik pesawat televisi di Indonesia rutin membayar iuran Rp 1.000 per bulan, ada pemasukan Rp 20 miliar," ujarnya.
Dengan jangkauan siaran paling luas, TVRI sesungguhnya media iklan yang memikat. Tapi Chairul punya sejumlah pertanyaan. ''Kalau kami benar-benar jadi persero dan mengerahkan iklan untuk pemasukan, bagaimana fungsi pelayanan publik akan berjalan?" ujarnya.
Sikap berbeda ditunjukkan oleh RRI, yang tanpa ragu-ragu berniat meningkatkan siaran iklan. ''Dulu kami kurang aktif mencari iklan karena semua pendapatan negara bukan pajak harus disetor ke kas negara," kata Suryanta. Selain dari iklan, baik TVRI maupun RRI akan menutup kebutuhan dengan macam-macam usaha, dari menyewakan gedung, wisata media, membuka rumah produksi, menyewakan sound system, hingga pembawa acara.
Di luar soal independensi, sebetulnya ada hal yang amat perlu dipikirkan RRI dan TVRI, yakni memproduksi acara-acara bermutu bagi masyarakat. Dan pluralisme media justru mampu memacu peningkatan mutu. Artinya? Kedua lembaga ini tetap bisa menjadi lembaga pemerintah untuk menandingi menjamurnya televisi partikelir. Tentu saja dengan sejumlah catatan perbaikan: dari etos kerja, kebijakan pemberitaan, hingga upaya menumbuhkan sikap mandiri.
Dengan demikian, RRI dan TVRI tak perlu malu menjadi corong. Sebab, bukankah ada kepentingan masyarakat yang lebih luas yang mereka pertaruhkan? Kalaupun ia harus membawa suara pemerintah, kedua media ini, toh, sudah cukup dewasa untuk melakukannya dengan cara yang sama dewasanya. Yakni menyiarkan berita tanpa embel-embel ''mohon petunjuk".
Hermien Y. Kleden, Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini