Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tegang di Aceh, Bertemu di Jakarta

Kekhawatiran ulang tahun GAM akan menyebabkan banjir darah tak terbukti. Tapi sikap pemerintahan Presiden Gus Dur di Jakarta tentang Aceh masih belum jelas.

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELIHAT prosesi upacaranya, tidak ada yang berbeda antara upacara militer AGAM (Angkatan Gerakan Aceh Merdeka) dan upacara militer lainnya—di negeri mana pun. Di sebuah tanah lapang nun jauh di pelosok Kabupaten Aceh Utara, ribuan pendukung GAM berbaris rapi. Pasukan berseragam militer berbaris teratur dalam formasi huruf U. Senjata jenis AK 47 rapat dalam pelukan di dada. Matahari mulai beringsut ke barat ketika peluit tanda upacara itu ditiup. Barisan disusun berdasarkan kesatuannya: pasukan intelijen bertopeng sebanyak 70 orang, polisi GAM berbaju cokelat sebanyak 102 orang, pasukan tempur 180 orang, Karadus (pasukan elite berbaret hijau) 80 orang, pasukan perempuan Inong Balee 139 orang, dan pasukan biasa 95 orang. Di bagian muka pasukan, sebuah teratak plastik dibangun. Para petinggi GAM, Tengku Abdullah Safii, pengawal beberapa undangan, dan wartawan duduk rapi. Sebuah pesan agar rakyat Aceh siap perang dari Teuku Hasan Tiro dibacakan. "Saya meminta semua warga Aceh, pria, wanita, tua dan muda, agar siap menghadapi musuh bila mereka menyerang. Kita akan membuat setiap jengkal tanah suci Aceh ini menjadi medan perang," tulis Hasan Tiro di Swedia, tempat persembunyiannya sejak 1979. Hadirin mendengarkan ajakan itu dengan kalem. Tak ada letusan senapan, tak ada darah mengalir. Padahal sebelumnya banyak yang memperkirakan Aceh akan bersimbah darah pada hari peringatan ulang tahun GAM, 4 Desember 1999 lalu itu. Sebab, pada hari itulah diisukan bahwa rakyat Aceh telah memberi tenggat kepada pemerintah Jakarta untuk merespons permintaan referendum tanda merdeka yang mereka tuntut. Tak aneh jika ribuan orang telah mengungsi ke luar Aceh. Apalagi setelah Presiden Abdurrahman Wahid memastikan hanya setuju dilakukan referendum bila tanpa opsi merdeka sehingga ramalan akan terjadi bentrokan keras di Aceh pun bergulir kencang mengikutinya. Agaknya inilah sebuah antiklimaks. Wartawan dalam dan luar negeri, yang sudah memenuhi hotel-hotel di Banda-aceh dan beberapa kota besar lainnya untuk menunggu hari H, kecele. "Upacara ini sebagai hari kemerdekaan. Saya sangat gembira campur rasa takut," kata Indryatai, remaja putri berusia 17 tahun anggota pasukan Inong Balee yang baru bergabung dalam AGAM sejak dua bulan lalu. Peringatan serupa terjadi juga di 17 tempat lainnya di Aceh. Di Acehrayeuk, Kabupaten Acehbesar, kesan hati-hati panitia sangat terasa. Seluruh pengunjung yang menghadiri perayaan diperiksa identitasnya dengan ketat. Wartawan yang mau meliput diharuskan meninggalkan kartu identitas. Tapi, di luar kantong-kantong wilayah GAM, sebagian penduduk menyambut 4 Desember dengan bertafakur di masjid dan meunasah (musala). Di Masjid Jamik Lampisang, Kecamatan Seulimuem, Acehbesar, Selasa pekan lalu, ribuan orang dari berbagai pelosok kampung berkumpul untuk mengadakan kenduri selamatan dan doa tolak bala. Sebanyak 17 ekor sapi dan puluhan kambing disembelih warga untuk selamatan itu. Di beberapa rumah penduduk terlihat bendera berkibar. Tapi, di Kabupaten Acehbesar, bendera tidak dikerek di muka rumah, melainkan di pinggir-pinggir jalan. Perihal menaikkan bendera GAM ini memang dilematis. Di satu sisi, mereka akan berhadapan dengan GAM kalau tidak menaikkan bendera. Tetapi di sisi lain, kalau mengibarkan bendera, mereka akan berhadapan dengan TNI. "Kondisi seperti inilah yang menyebabkan banyak orang mengungsi," kata Maimul Fidar, Koordinator Koalisi NGO HAM. Sementara itu, Ibu Kota Banda-aceh seperti kota mati. Sunyi, kecuali suara angin. Toko-toko sejak pagi Sabtu pekan lalu tidak ada yang buka. Sehari sebelum peringatan ulang tahun GAM, ibu-ibu rumah tangga menyerbu pasar untuk menyetok barang. Tapi markas-markas militer Aceh siaga satu. Markas Korem 012/Teuku Umar dipa-sangi barikade karung pasir menutupi hampir separuh kantor. Hal yang sama juga terjadi di Markas Kodim 0101 Acehbesar. Bahkan kantor Polres Acehbesar di wilayah Jambotape dibentengi karung pasir sampai ke bagian belakang kantor. Sekilas seperti tak bertuan, tapi di bawah remang cahaya kelihatan sepasukan polisi dalam posisi siaga bersembunyi di balik gundukan karung pasir. Lalu, akan ke manakah Aceh selepas 4 Desember? Tidak ada yang bisa memastikan. GAM menyatakan akan menggunakan perjuangan tanpa kekerasan, kecuali diserang TNI. Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA), lembaga yang mengoordinasi persiapan referendum, menyatakan masih menaruh harapan pada Presiden Dur. "Kami yakin Gus Dur akan menyetujui referendum dengan opsi merdeka," kata Muhammad Nazar, Koordinator SIRA. Sementara itu, Gus Dur sendiri Selasa pagi pekan lalu tanpa diketahui banyak orang mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Aceh. Pertemuan tertutup di rumah Presiden Dur di Ciganjur itu tidak tanggung-tanggung dihadiri oleh 60 tokoh Aceh. Yang hadir mulai dari tokoh Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), GAM, Thaliban (yang diwakili Rais Am-nya, Tengku Bulqani Tanjongan), mahasiswa, sampai LSM asal Aceh. Saking rahasianya pertemuan tersebut, presiden kali ini tidak didampingi seorang menteri pun. Tempatnya pun dipilih yang tidak formal. "Di sini Anda bertemu dengan Abdurrahman Wahid. Kalau di Istana, Anda bertemu dengan presiden," kata Gus Dur, berseloroh. Apa hasil pertemuan fajar yang dilanjutkan dengan sarapan pagi tersebut? Para tokoh Aceh menginginkan referendum dengan menyertakan opsi merdeka, sementara Gus Dur sendiri belum mau banyak "menjual" harapan. "Saya masih harus meminta pendapat DPR dan MPR," katanya. Tapi ada kesan—naga-naganya—kelompok 60 itu bisa dilunakkan si Gus. Lembaga ulama berpengaruh semacam HUDA, misalnya, menurut ketuanya, Tengku Haji Ibrahim Bardan, meski menuntut referendum, toh, menginginkan Aceh tetap berada dalam pangkuan Pertiwi. Sebelumnya, sesaat sebelum berangkat ke Amerika Serikat tempo hari, Presiden Wahid juga mendapat jaminan serupa dari penasihat HUDA, Tengku Marhaban Kruengkale. Jika jaminan ini bisa dipegang, paling tidak Gus Dur sudah menguasai sebagian ulama, selain dunia internasional. Dukungan dunia internasional? Begitulah tampaknya. Kunjungan Presiden Wahid ke beberapa negara sahabat, selain mendatangkan pinjaman dan bantuan uang, ternyata juga menghasilkan dukungan yang besar bagi tetap dipertahankannya Aceh sebagai bagian Indonesia. Negara-negara anggota ASEAN, Amerika Serikat, RRC, Yordania, Qatar, dan Palestina secara tegas menyatakan berdiri di sudut Gus Dur dalam soal Aceh. Bahkan diharapkan dukungan sebagian negara berbasiskan Islam itu akan memicu dukungan negara Islam lain dalam KTT Organisasi Negara-Negara Islam (OKI). "Jadi, negara-negara Islam pun tidak mendukung separatisme Aceh Merdeka, yang juga menggunakan simbol-simbol Islam," kata Dirjen Politik Departemen Luar Negeri, Nugroho Wisnumurti, kepada wartawan TEMPO Karaniya Dharmasaputra. Dalam konteks ini, Gus Dur di atas kertas menang 1:0 melawan Aceh. Soalnya, bagaimanapun, sebuah negara sulit berdiri tanpa dukungan internasional. Tapi, semulus itukah skenario Gus Dur? Belum tentu juga. Pasalnya, meski bertekad mengedepankan pendekatan kultural dalam menyelesaikan persoalan Aceh, tantangan terberat dari "dapur sendiri" justru datang dari tentara. Bagi pembaca yang rajin menyimak koran, perbedaan sikap presiden dan tentara itu memang sudah tercium jelas: sering kali statemen presiden berbeda dengan statemen TNI. Sementara Gus Dur beramah-ramah, militer menyatakan siap melibas gerakan separatis. Klimaks kesan pertentangan ini terjadi Rabu pekan lalu ketika Kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, yang dipimpin Jenderal Wiranto, mengeluarkan press release setebal sembilan halaman atas nama Presiden Gus Dur. Dalam rilis tersebut dikatakan, presiden menyetujui pendekatan represif digunakan untuk menyelesaikan separatisme. Anehnya, rilis itu dikeluarkan tanpa kop resmi kepresidenan, dan nama presiden "kepeleset" menjadi Abdurachman Wahid (dengan "ch"). Menjelang malam, barulah kemudian keluar rilis serupa dengan kop Sekretariat Presiden dan nama presiden yang telah diedit. Sumber TEMPO di Istana Negara membenarkan bahwa Gus Dur memang "ditelikung" militer soal rilis tersebut. "Kalau kami yang membuat, kan tidak mungkin nama presidennya salah," kata sumber tersebut. Menteri Luar Negeri Alwi Shihab sendiri ketika dikonfirmasi ihwal rilis tersebut membenarkan bahwa yang mengajukan pernyataan heboh itu adalah Wiranto. Tapi, "Itu diteken Gus Dur sendiri dan isinya sudah atas sepengetahuannya," kata Alwi. Gus Dur sendiri di hadapan wartawan, Kamis pekan lalu di Diaoyutai Villa Beijing—wisma negara milik pemerintah RI—membenarkan bahwa ia sudah meneken dokumen yang mengizinkan digunakannya pendekatan represif untuk menyelesaikan kasus Aceh. "Itu kan maunya TNI. Kalau berontak, ya, mesti dihadapi dengan represi," katanya. Presiden Abdurrahman masuk dalam genggaman militer, atau inikah taktik memberi pilihan antara madu dan racun? Tidak ada yang bisa memastikan. Yang pasti adalah konsentrasi kekuatan militer di Aceh menjelang dan pada 4 Desember lalu meningkat. Seorang sumber TEMPO di Badan Intelijen TNI menyebutkan, di Aceh menjelang ulang tahun GAM sudah tersedia satu batalyon marinir dalam keadaan siaga. Mereka adalah unsur Satuan Tugas (Satgas) Rencong yang siap dialihfungsikan. Selain itu, 1,5 batalyon marinir dan 1 batalyon Brimob sudah sampai di Aceh. Kekuatan itu rencananya akan digunakan untuk membatasi manuver GAM. Info intelijen ini dibenarkan oleh seorang perwira Pusat Penerangan TNI. Artinya, jika GAM bergerak Sabtu lalu, banjir darah benar-benar terjadi di Aceh. Banjir darah ini bahkan nyaris terjadi di Pidie. Itulah saat bentrokan antara aparat dan ratusan peserta pawai Aceh Merdeka meletus di depan kantor Kodim di Kota Sigli. Dikabarkan dua orang luka tertembak. Usman Basyah (39) terkena peluru tajam di bagian pinggang dan Lukman (30) terserempet peluru. Usman Ibrahim, yang mengaku sebagai kepala desa, mengatakan penembakan itu dilakukan oleh tentara. Namun, Komandan Kodim Pidie, Letkol Iskandar Sahil, membantahnya. Ia malah menuding pihak separatis yang melakukannya. "Kalau kami yang melakukannya, korbannya pasti jauh lebih banyak," katanya. Ia menyatakan penembakan gelap dari arah belakang massa itu terjadi saat petugas Kodim sedang bernegosiasi dengan para pemimpin pawai. Penembakan gelap juga dilaporkan terjadi di Lhokseumawe, Aceh Timur. Seorang pria dikabarkan tertembak saat mengibarkan bendera GAM di depan rumahnya. Itulah Aceh. Banjir darah memang tak terjadi tapi mengalirnya darah belum juga dapat dihentikan hingga kini. Arif Zulkifli, Setiyardi, Arief A. Kuswardono (Jakarta), Bambang Soedjiartono, J. Kamal Farza (Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus