KEKERASAN meletup di Lampung. Sejumlah orang yang disebut kelompok Warsidi menyerang rombongan aparat yang datang ke Dukuh Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, markas mereka, pada 6 Februari 1989. Serangan dengan menggunakan anak panah itu menewaskan Kapten Soetiman, Komandan Rayon Militer 41121 Way Jepara.
Sehari berikutnya, Danrem 043 Garuda Hitam, Kolonel Hendropriyono, menugasi tiga peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brigade Mobil untuk menyerbu ke Talangsari dan mengambil jenazah Soetiman. Tapi upaya ini terhambat. Kelompok Mujahidin Fisabilillah—begitu pihak militer menyebut nama kelompok Warsidi—menyerang aparat keamanan dengan anak panah beracun. Korban pun jatuh di kedua belah pihak. Warsidi tewas.
Kelompok Warsidi adalah fenomena Islam radikal di masa Orde Baru. Para anggotanya sebagian besar orang muda, termasuk remaja belasan tahun, yang direkrut dari berbagai daerah. Selain bertani, mereka berlatih bela diri, memanah, dan membuat bom molotov. Bersikap anti-pemerintah dan merasa ”paling Islam”, mereka hidup eksklusif di tengah masyarakat sekitarnya. Oleh penduduk setempat, mereka dianggap sesat karena mengkafirkan orang di luar kelompok mereka.
Menurut penilaian K.H. Mansur Amin, Ketua Majelis Ulama Daerah Lampung waktu itu, ajaran Warsidi mirip ajaran Abdullah Sungkar dari Solo. ”Orang yang keluar dari kelompoknya dianggap murtad dan berhak dibunuh,” kata Kiai Mansur.
Sungkar bersama Abu Bakar Ba’asyir adalah pendiri Pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo. Jaringan Ngruki sekarang disorot dan dikait-kaitkan dengan Amrozi, tersangka peledakan bom Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini