Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Teknologi modifikasi cuaca digunakan untuk mengurangi intensitas hujan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Teknologi modifikasi cuaca bertujuan mengumpulkan atau membuyarkan awan.
Cina mengklaim sukses menyemai awan menggunakan roket.
BADAN Pengkajian dan Penerapan Teknologi bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana menggunakan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk mengurangi intensitas hujan di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Operasi itu digelar sejak 3 Januari lalu atau dua hari setelah hujan ekstrem mengakibatkan banjir dan tanah longsor di banyak lokasi yang merenggut 67 korban jiwa. “Tujuan TMC ini pencegahan. Awan-awan yang berpotensi menurunkan hujan berintensitas tinggi disemai agar turun hujannya sebelum masuk wilayah Jabodetabek,” kata Kepala BPPT Hammam Riza pada Kamis, 9 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hammam, teknologi yang selama ini diterapkan BPPT terbilang konvensional karena memakai metode penyemaian awan menggunakan garam dapur (NaCl) berukuran kecil atau halus yang disebut powder (bubuk). “Namun BPPT juga sering melakukan kegiatan penyemaian awan menggunakan flare berbentuk tabung yang kita anggap sebagai cara efektif,” ujarnya.
Selain itu, kata Hammam, BPPT sudah punya cara mempengaruhi atmosfer dengan peralatan di darat yang dinamai ground particle generator. “Teknologi ini diperuntukkan di satu lingkup daerah terbatas, seperti di pertambangan,” ucapnya. BPPT, Hammam menambahkan, terus mencari cara baru dalam memodifikasi cuaca, termasuk menggunakan roket seperti Cina.
Pemerintah Cina menganggarkan US$ 19 juta untuk Proyek Tianhe, yakni percobaan teknologi modifikasi cuaca terbesar di dunia dengan tujuan memindahkan kelebihan uap air di atas cekungan Sungai Yangtze ke daerah-daerah yang lebih kering. Untuk mencapai sasaran itu, sejak 2015, para ilmuwan Cina dari Tsinghua University dan Qinghai University berupaya membuat koridor udara artifisial yang dapat membawa uap air tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enam satelit yang dirancang Shanghai Academy of Spaceflight Technology mulai beroperasi pada 2022 dan akan memandu pembuatan koridor udara di atas sungai terbesar di Asia itu. Satelit-satelit Tianhe itu juga akan memonitor distribusi uap air selama 24 jam. Jika proyek ini sukses, teknologi tersebut mampu memindahkan 5 miliar meter kubik air per tahun sehingga dapat meringankan masalah area kering di Cina bagian utara.
Bagaimana ilmuwan Cina memindahkan uap air itu masih menjadi tanda tanya besar bagi banyak ilmuwan Barat yang ragu akan proyek ini. Namun seorang sumber dari dalam proyek mengatakan kepada Global Times bahwa mereka menggunakan roket untuk mengarahkan uap air itu. Cina berulang kali mengklaim kesuksesan teknologi modifikasi cuaca memakai roket dalam mencegah turunnya hujan saat acara besar. Di antaranya dalam upacara pembukaan Olimpiade Beijing pada 8 Agustus 2008 dan parade akbar hari ulang tahun ke-60 Republik Rakyat Cina pada 1 Oktober 2009.
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin mengatakan teknologi modifikasi cuaca bertujuan mengumpulkan atau membuyarkan awan. Caranya beragam, antara lain dengan pesawat terbang ataupun roket. Satelit seperti Tianhe bertugas memberikan data awan secara rinci. “Data itu sebagai pemandu penembakan roket yang berisi material untuk mengondensasikan awan dan menurunkan hujan di area yang dikehendaki,” tutur Thomas, Rabu, 8 Januari lalu.
Menurut Thomas, BPPT dan Lapan sedang menjajaki penggunaan roket untuk memodifikasi cuaca. “Sudah beberapa kali dicoba, tapi belum operasional,” ucapnya. Uji coba penyebaran material untuk penyemaian awan masih dibatasi sampai ketinggian yang bisa dipantau secara visual. “Kelak, setelah sistem penyemaian sudah bagus, ketinggian roket akan ditingkatkan sampai ketinggian awan 3,6-4,5 kilometer atau lebih tinggi,” ujarnya.
Setelah melaksanakan tugasnya, roket itu langsung terbuang. Lapan mengupayakan roket mendarat dengan aman. “Memakai parasut untuk antisipasi kalau mendarat di darat,” kata Thomas.
Thomas tidak menyebutkan kapan teknologi modifikasi cuaca dengan roket tersebut siap diimplementasikan. Di situs BPPT disebutkan bahwa kerja sama kedua lembaga yang terjalin pada medio 2016 itu ditargetkan selesai pada 2018. Saat ditanyai tentang kendala yang dihadapi, Thomas menjawab, “Hanya karena belum diprogramkan secara serius.”
DODY HIDAYAT, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo