Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Jangan naikkan subsidi gas 3 kilogram.
Inovasi mandek aparatur kita.
Jangan Cabut Subsidi Gas
EKONOMI global memang sedang melemah dan melambat. Ancaman krisis bisa terjadi apabila para pemimpin dunia tak hati-hati bersikap. Kami juga mengerti bahwa keuangan negara sedang mengalami defisit neraca perdagangan dan pembayaran. Akibatnya: inflasi naik, harga-harga makin tinggi. Di tengah kesulitan itu, tiba-tiba pemerintah akan mencabut subsidi gas 3 kilogram dan menaikkan iuran BPJS Kesehatan serta cukai rokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bila harga gas, iuran BPJS, dan cukai rokok naik, kami akan terpaksa mengubah menu makan dan gizi anak-anak, menghemat pembelian baju, peralatan sekolah anak, dan kebutuhan lain, juga menyetop berbagai kegiatan rekreasi keluarga sekalipun yang murah meriah. Semoga Presiden Joko Widodo mengambil opsi kebijakan ekonomi lain yang lebih inovatif dan kreatif ketimbang mengambil kebijakan tak populis yang membuat rakyat murung dan resah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak hal produktif lain yang bisa disegerakan, seperti menyita aset para koruptor, menekan biaya belanja rutin para pejabat yang tak efektif, meningkatkan ekspor barang produksi Indonesia untuk meningkatkan pendapatan negara, mengurangi impor pangan yang bisa merugikan kaum petani lokal, serta banyak upaya nasionalistis lain. Hidup rakyat kian susah. Mohon tidak mencabut subsidi gas dan batalkan rencana kenaikan iuran BPJS serta cukai rokok.
Semoga Bapak Presiden mendengarkan. Jangan dengarkan para pembisik yang hendak membuat Bapak melakukan blunder dan menyengsarakan rakyat. Mendengarkan suara rakyat adalah mendengarkan suara Tuhan. Sebab, agama apa pun pasti mengajarkan sebaik-baiknya pemimpin adalah yang memberikan keteladanan dan menyejahterakan rakyatnya.
Ricky Tamba, SE
Jakarta
Inovasi Aparatur Kita
BONDAN Winarno pernah menulis kalimat satire tentang kinerja aparatur sipil negara (ASN) tahun 1980-an. Jika ada aparatur yang inovatif, pasti ia tidak jujur karena menghalalkan segala cara agar populer sebagai karyawan inovatif. Jika ada aparatur yang jujur, pasti ia tak inovatif, bekerja hanya untuk menggugurkan kewajiban. Jika ada orang jujur dan inovatif, hampir pasti ia bukan pegawai pemerintah.
Potret buram tersebut masih membayang-bayangi. Hasil survei Badan Kepegawaian Negara 2017 menunjukkan 62 persen aparatur kita adalah tenaga administrasi yang tak punya kemampuan teknis fungsional. Inkompetensi itu membuat posisi kita masih di urutan ke-95 dalam 2018 Global Effectiveness Index.
Perencanaan amburadul di pemerintah daerah turut memberikan andil pada pelemahan inovasi ASN. Menteri Keuangan Sri Mulyani masih menemukan puluhan pemda yang menganggarkan lebih dari 50 persen anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk belanja rutin, bukan untuk pembangunan. Tak aneh istilah “kopasus” (kopi paste ubah sedikit) poin-poin rencana kerja anggaran tahun sebelumnya masih populer di kalangan ASN kita.
Pakar manajemen Peter Drucker mendefinisikan inovasi sebagai suatu proses perubahan yang membutuhkan ruang (space) untuk tumbuh kembang agar dapat memberikan dimensi baru atas kinerja serta produk yang dihasilkan. Laiknya tanaman, ia memerlukan “zat hara” ide-ide segar agar dapat menyeruak menggapai aras produktivitas tertinggi. Sayangnya, kultur birokrasi kita seperti yang diuraikan sebelumnya masih menjadi “kanopi penghambat” munculnya inovasi.
Hal itu makin parah karena aroma militeristik mengakibatkan komunikasi atasan-bawahan bersifat satu arah. Inisiatif berkreasi, sebagai fondasi inovasi, hanya muncul dari pucuk pimpinan. Reformasi birokrasi oleh Kabinet Kerja I pemerintahan Joko Widodo sebenarnya berada di jalur yang benar, yang dibuktikan dengan kenaikan efektivitas ASN setara dengan pegawai pemerintah di negara-negara berpenghasilan menengah-bawah. Salah satu faktor pengungkitnya adalah terbukanya keran penyalur inovasi arus bawah ASN yang bersifat bottom-up di pelbagai kementerian dan lembaga pemerintahan.
Kompetisi inovasi layanan publik Sinovik yang diselenggarakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, contohnya. Sejak, 2014 Sinovik menampung ratusan ide kreatif dari pelbagai instansi pemerintah, tapi belum dinamis dan terbuka sepenuhnya. Persyaratan yang berbelit-belit menjadi hambatan khas birokrasi kita. Semestinya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara membuka keran lebar-lebar dan menerima ide-ide kreatif ASN baik yang bersifat individual maupun institusi. Kementerian itu bisa mencontoh Kementerian Keuangan, yang membuka unit Central Transformation Office yang bertugas mendorong serta mengawal inovasi dari bawah.
Ide Presiden Jokowi mengganti pejabat eselon III dan IV dengan robot kecerdasan buatan patut diacungi jempol. Namun itu bakal sia-sia jika tak diiringi dengan tindakan strategis yang menumbuhkan iklim berkreasi. Meminjam ungkapan Bondan Winarno dalam Seratus Kiat (1986), sebatas memangkas dahan dan ranting pohon takkan menumbuhkan benih inovasi pada sebuah “hutan mati”.
Muhammad Hatta
Dokter di Badan Narkotika Nasional
RALAT
DALAM artikel majalah Tempo edisi 13-19 Januari 2020 berjudul “Di Bawah Lindungan Tirtayasa”, Wahyu Setiawan disebut pernah menjabat Ketua Komisi Pemilihan Umum Jawa Tengah. Jabatan yang benar adalah anggota KPU Jawa Tengah 2013-2017. Mohon maaf atas kekeliruan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo