JULI 1977, New York kematian listrik selama 25 jam. Amerika
Serikat gempar. "Matinya listrik akibat sambaran petir di New
York, baiknya dijadikan bahan pelajaran bagi kita di Indonesia,"
kata seorang ahli listrik Indonesia waktu itu. "Sebab risiko
disambar petir di pulau ini yang tertinggi di seluruh dunia."
Ternyata, Juni 1978, PLN Pembangkitan Jawa Barat/Jakarta Raya,
terkena musibah 'mini-New York'. Di Pangalengan, 30 km selatan
Bandung, Jumat petang 23 Juni lalu, kilat telah menyambar salah
satu transformator (trafo) Gardu Induk PLTA (Pembangkit listrik
Tenaga Air) Lamajan.
Trafo V itu kontan terbakar. Dibarengi hujan rintik-rintik serta
awan gelap, kebakaran yang mulai menjelang jam 5 sore itu segera
menular ke trafo-trafo transmisi lainnya. Walhasil senja itu,
langit di kampung Pangalengan diterangi pesta api yang melahap 6
dari 7 trafo yang ada di Gardu Induk itu.
Menurut laporan wartawan Pikiran Rakyat, seorang supir kolt
tewas dan sembilan orang lainnya luka berat gara-gara tabrakan
antara sebuah kolt dengan mobil pemadam kebakaran yang bergegas
ke Pangalengan.
Namun para langganan listrik di kota Bandung dan sekitarnya baru
sadar setelah membaca koran pagi keesokan harinya. Lampu mereka
tak sampai kena pemadaman bergilir. Berkat terpadunya jaringan
listrik Jawa Barat dan Jakarta Raya, hilangnya daya 18 juta Watt
dari Lamajan otomatis diisi oleh PLTA Jatiluhur, yang
berkekuatan 125 juta Watt. Ini dibantu lagi oleh PLTA-PLTA kecil
sekaliber Lamajan.
Seperti dijelaskan ir AD Kamarga, Pemimpin PLN Pembangkitan
Jabar/Jaya kepada Said Muchsin dari TEMPO: "Peranan PLTA Lamajan
dalam jaringan interkoneksi Jawa Barat dan Jakarta Raya ini
hanya 3%. Sebab beban puncak Jawa Barat dan Jakarta kini telah
mencapai 433,8 juta Watt."
Mungkin bagi PLN, musibah ini ada juga hikmahnya. Sebab dengan
kebakaran ini, trafo dan banyak peralatan di PLTA maupun Gardu
Induk Lamajan yang sudah uzur dapat dipertimbangkan
penggantiannya. Turbin listrik itu sendiri didirikan tahun 1923.
Termasuk dua trafo buatan Siemens, berukuran masing-masing 4
MVA.
Tapi risiko tak hilang dengan adanya penggantian. Dalam udara
mendung dan sarat muatan listrik yang bisa jadi bibit petir,
peralatan transmisi listrik atas-tanah yang sudah uzur, dan PLN
bisa sewaktu-waktu jadi korban lagi. Apalagi Pulau Jawa memang
rawan terhadap bahaya petir -- kondisi yang belum tentu sudah
diperhitungkan dalam disain alatalat transmisi beberapa puluh
tahun yang lalu. Kenyataannya, trafo 8 MVA yang baru dipasang
tahun 1962 --jadi baru 16 tahun silam -- justru yang paling dulu
disambar kilat dan terbakar.
Kilat memang paling gemar benda-benda magnetis, radio-aktif atau
listrik. Juga gunung tinggi, gedung jangkung, ujung menara
gereja dan mesjid yang lancip. Jaringan listrik di atas tanah
seperti gardu, trafo, menara dan kabel udara, juga mudah memikat
kilat. Itu sebabnya, sebagian kabel transmisi dan distribusi
listrik di Amerika kini sudah dipendam di dalam tanah. Selain
kelihatannya lebih rapi, juga lebih aman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini