"TANAH Runtuh" merupakan bukit gundul dengan rumput kering yang
terletak 2 Km di utara Palu, Sulawesi Tengah itu, adalah surga
bagi gembala. Di bawah bentangan langit, selalu terlihat ratusan
bintik putih domba berserakan mencabuti jenggot-jenggot bukit.
Seorang lelaki tegak memandang -- sementara di kakinya terlihat
tempat air. Ia berkata: "Coba lihat, mereka sedang makan dengan
lahapnya. Inilah salah satu kesenangan saya, di samping hasil
untuk biaya hidup sehari-hari."
Taona Rapamani, jejaka tua berusia 40 tahun, setiap hari
menggembala 300 ekor domba. Ia tinggal di kampung Talise -- 2 km
dari Palu. Perawakannya kekar, keriting dan tampan. Rumahnya di
lereng bukit, berhampiran dengan kuburan Islam Talise. Di sana
ia mendirikan kandang tempat dombadomba itu tidur, kencing,
berak, kawin, berkelahi dan sebagainya. Sejak kecil, gembala
yang memutuskan pendidikan di kelas tiga SD ini telah
berkewajiban membuka pintu kandang antara pukul 8-9 pagi. Saat
itu binatang itu melonjak dan menyerbu ke seluruh punggung
bukit.
Radius operasi biri-biri Taona mencapai 7-10 Km. Di dalamnya
tergabung jantan-betina, besar kecil, semuanya berada dalam satu
komando. Pukul 5 sore, tanpa bantuan siapa-siapa, dengan patuh
seluruh binatang itu mengalir perlahan-lahan menghampiri
kandang kembali. Taona cukup menyaksikan saja dan membiarkan
ternak itu singgah ke lembah sebentar, untuk minum. Tak lama
kemudian mereka akan memasuki kandang dan menutup kebebasan hari
itu, sekian.
Demikianlah, tak ada yang sulit buat seorang penggembala. Ia
hanya harus pandai memilih sebuah puncak bukit yang strategis,
untuk mengamati seluruh medan. Selebihnya adalah kesabaran,
kecintaan untuk menunggu hari sore, sambil melawan kesunyian,
kekosongan dan sengatan matahari. Taona memiliki persyaratan
ini. Ia seorang gembala yang baik. Di kampungnya ia dianggap
alim, pendiam serta berwibawa. Ia sendiri memiliki kebanggaan
yang cukup pada pekerjaannya, karena ia selalu mengingat bahwa
Presidennya di Jakarta pada masa kecilnya juga seorang gembala.
"Saya pernah baca di koran, Presiden Soeharto waktu masih kecil
pernah menjadi penggembala kerbau pamannya," ujar Taona.
"Menggembala bukanlah pekerjaan hina, kami ini hanya mengikuti
jejak Nabi Muhammad. Bukankah Nabi waktu masih kecil terkenal
sebagai gembala?"
Tapi itu tidak menjamin bahwa biri-biri merupakan olahan yang
empuk. Binatang itu sendiri sudah ditakdirkan menjadi binatang
yang paling manja. Ia sangat ringkih. Sedikit menderita, ia
lebih suka mampus. Kalau musim hujan dan kandangnya sampai
terendam basah, ia akan terancam penyakit "kuku berulat".
Praktis pada masa itu ia akan kurang makan. Karena kalau ia
terpaksa juga harus melalap rumput-rumput muda yang terlalu
hijau atau rerumputan basah, perutnya akan segera diserang
radang mencret. Dua-duanya bisa bikin meninggal.
Sebaliknya di musim kemarau, panas bisa jadi berkelebihan.
Rumput-rumput tidak hanya kering akan tetapi mati. Lalu punggung
bukit itu menjadi klimis dalam arti yang sebenar-benarnya,
sehingga tidak ada yang bisa dicomot lagi. Dan karena rumput
menjadi andalan satu-satunya, ancaman ini juga bisa membuat
biri-biri itu punah. "Binatang itu harus dijaga betul setiap
hari supaya perutnya kenyang," kata Taona. "Rumput yang paling
bagus buat mereka adalah rumput yang setelah kena hujan beberapa
hari lalu mengering karena panas beberapa hari."
Selain teliti terhadap rumput, Taona juga harus teliti mengawasi
agar kawasan biri-biri itu tetap bersatu. Kalau tidak, ada
kemungkinan beberapa ekor jadi nakal lalu tercecer masuk
kelompok lain. Kadangkala anjing-anjing hutan dari pinggiran
bukit tiba-tiba menyergap dan mencabik-cabik binatang yang lemah
lembut itu. Taona terpaksa harus tetap awas sepanjang hari,
dengan mata maupun telinga. Gelagat dan suara-suara dari
biri-biri itu harus cepat ditangkap karena mereka merupakan
radar terhadap bahaya yang mengancam.
Sebagaimana juga penggembala lainnya, Taona setiap kali
diharuskan berlari ke sana ke mari, turun naik bukit sambil
berkoar-koar -- seandainya gerombolan itu kucar-kacir.
Untunglah binatang-binatang itu dikaruniai ingatan untuk
mengenal suara "tuannya" -- sehingga para gembala dapat bekerja
sama dengan mereka.
Afdol
"Pekerjaan ini warisan turun temurun dari nenek moyang saya,
mereka memang penggembala tulen," kata Taona dengan bangga.
Ayahnya dahulu terkenal di seluruh lembah sebagai pemilik
biri-biri yang paling banyak. Tidak ada seorang pun yang mampu
menandingi jumlah biri-birinya. Tetapi lantaran konsentrasinya
begitu tinggi, kawinnya jadi terlambat. Ayah Taona baru bisa
menikah setelah berumur sekitar 50 tahun.
Taona memulai kariernya dengan 40 ekor biri-biri, di pertengahan
tahun enam puluhan. Melihat jumlahnya sekarang, ia dapat
dikatakan berhasil. Biri-biri atau domba beranak sekali setahun.
Pada "musim Barat" kebanyakan anaknya jantan. Sedangkan pada
"Musim Timur" sebaliknya. Musim Timur, galibnya ditandai oleh
hujan yang turun pagi hari, sedangkan Musim Barat, hujan turun
sore. Ini memudahkan para gembala untuk menentukan jadwal makan
ternak itu. Tapi sekarang ini musim sudah senewen tidak bisa
dipastikan lagi.
Beternak biri-biri atau domba di Lembah Palu, tidak dapat
dipisahkan dengan nafsu penduduk untuk makan dagingnya. Pesta
atau kenduri apa saja di sana dianggap tidak afdol kalau tidak
pakai santapan daging tersebut. Karena itu pasaran selalu
tinggi. Harga maksimal setiap ekor bisa mencapai Rp 25 ribu.
Sedangkan yang paling kecil, sudah murah kalau bisa didapat
dengan harga Rp 7.500.
Namun demikian, hidup semata-mata dari ternak itu tidak bisa
bikin kaya mendadak seperti tanaman cengkeh. Penghasilan seorang
penggembala lebih merupakan semacam "Tabanas" -- hasilnya dalam
jangka waktu tertentu, baru bisa berbuah.
Buruh Gembala
Untuk menambal kekurangan hidup hariannya, Taona merangkap jadi
petani garam. Ia menggarap garamnya pagi hari sebelum
menggembala dan diteruskan lagi petangnya setelah ternak masuk
kandang. Kadang-kadang ia menjadi tukang batu dan menerima upah
Rp 1000 sehari kerja.
Ini bisa terjadi, lantaran adanya usaha dari penggembala untuk
menyatukan ternak mereka dan mengatur giliran menggembala.
Kelompok Taona yang terdiri dari 5 gembala, 14 hari sekali
giliran, sehingga Taona sebelum gilirannya, selalu punya 8
minggu kosong. Inilah yang menolong para gembala itu dalam
penghasilan tambahan -- sementara menunggu "tambang" mereka itu
meledakkan uang sekali tempo nanti.
Tetapi tidak semua gembala adalah pemilik. Di sinilah sedihnya.
Darasa, wanita usia 45 tahun dari Kampung Bale yang belum ketemu
jodohnya sekarang, adalah buruh gembala. Perempuan kecil dan
pemalu ini menggembalakan sekitar 200 ekor biri-biri milik orang
lain. Setiap sepuluh hari ia memperbaharui kontraknya yang hanya
bernilai Rp 3000.
Pekerjaan yang dijabatnya sejak kecil itu ia warisi dari orang
tuanya. Upah yang diterimanya sekarang tak cukup untuk hidup.
"Saya berusaha mencari tambahan penghasilan lain, misalnya
dengan jalan membuat minyak kelapa sebotol dua botol, lalu saya
jual," kata Darasa yang memulai tugasnya pukul sebelas untuk
berada di padang selama 7 jam.
Baco, pemuda berwajah tua, meskipun masih 17 tahun, juga
penggembala bayaran. Kontraknya untuk 10 hari kerja berharga Rp
4 ribu. Anak muda yang tinggal di Kampung Walangguni dan putus
sekolah di kelas IV SD ini, juga merangkap dalam kelompok kerja
gembala dan menerima giliran kerja. Waktu-waktu lowongnya diisi
sebagai tukang batu. Di samping itu ia berusaha menanam jagung,
ubi serta sayur mayur untuk keperluan keluarga sendiri.
Baco masih tinggal bersama orang tuanya. Dapat dimaklumi mengapa
cita-cita yang paling santer di kepalanya sekarang adalah
menabung, lalu membuat rumah sendiri. Tetapi sebagaimana juga
Taona, Darasa serta penggembala-penggembala yang lain, ia sama
sekali belum terburu-buru untuk kawin.
Barangkali karena nasib mereka ang masih buruk. Tapi apakah
nasib itu akan berubah? Tanah Runtuh yang sorga itu, sekarang
terpaksa harus dibagi. Ia tidak lagi dimonopoli oleh para
gembala. Perkembangan olahraga telah melemparkan semangat "golf"
-- permainan yang tersohor mewah dan kelas atas itu -- membetot
kebebasan para gembala. Sejumlah bapak-bapak, setiap sore,
apalagi Minggu dan hari-hari libur, mulai berkeliaran
bersama-sama dengan biri-biri. Sekitar 10 hektar persegi,
terlihatlah pagar dan pintu membatasi daerah yang rumputnya
mahal. Di dalamnya dibangun sorga-sorga buatan untuk melepaskan
kesenangan para pemain golf.
Apalagi selang beberapa bulan terakhir ini sebuah perusahaan
Jepang yang berkongsi dengan pengusaha pribumi mulai menggarap
"kayu". Sebuah jalan menoreh dari pantai teluk utara menembus
bukit, gunung dan hutan, di sebelah selatan Palu.
Apakah ini tanda-tanda kemajuan, atau isyarat bakal terancamnya
kehidupan para gembala? Kita tidak tahu dan barangkali juga
tidak perlu meramalkan apa-apa. Akan tetapi Darasa, buruh
gembala itu, pernah ketanggor pengalaman pahit. "Sekarang ini
setelah ada jalan Nipon ini di sini, saya menjadi khawatir
kalau-kalau domba gembalaan saya ditabrak mobil-mobil Nipon
itu," ujarnya.
Suatu kali Darasa pernah berusaha menyeberangkan ternaknya
melintasi jalan. Sebuah mobil berhenti. Orangnya turun dan
mencak-mencak. "Dia marah dengan bahasa yang tidak saya
mengerti," katanya.
Darasa takut setengah mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini