Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Orang-orang sendirian di tanah runtuh

Pekerjaan menggembalakan biri-biri, di daerah tanah runtuh, palu, merupakan warisan turun menurun. kini mereka harus bekerja rangkap untuk menambah penghasilan, bahkan beberapa ada yang hanya sebagai buruh gembala. (sd)

15 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"TANAH Runtuh" merupakan bukit gundul dengan rumput kering yang terletak 2 Km di utara Palu, Sulawesi Tengah itu, adalah surga bagi gembala. Di bawah bentangan langit, selalu terlihat ratusan bintik putih domba berserakan mencabuti jenggot-jenggot bukit. Seorang lelaki tegak memandang -- sementara di kakinya terlihat tempat air. Ia berkata: "Coba lihat, mereka sedang makan dengan lahapnya. Inilah salah satu kesenangan saya, di samping hasil untuk biaya hidup sehari-hari." Taona Rapamani, jejaka tua berusia 40 tahun, setiap hari menggembala 300 ekor domba. Ia tinggal di kampung Talise -- 2 km dari Palu. Perawakannya kekar, keriting dan tampan. Rumahnya di lereng bukit, berhampiran dengan kuburan Islam Talise. Di sana ia mendirikan kandang tempat dombadomba itu tidur, kencing, berak, kawin, berkelahi dan sebagainya. Sejak kecil, gembala yang memutuskan pendidikan di kelas tiga SD ini telah berkewajiban membuka pintu kandang antara pukul 8-9 pagi. Saat itu binatang itu melonjak dan menyerbu ke seluruh punggung bukit. Radius operasi biri-biri Taona mencapai 7-10 Km. Di dalamnya tergabung jantan-betina, besar kecil, semuanya berada dalam satu komando. Pukul 5 sore, tanpa bantuan siapa-siapa, dengan patuh seluruh binatang itu mengalir perlahan-lahan menghampiri kandang kembali. Taona cukup menyaksikan saja dan membiarkan ternak itu singgah ke lembah sebentar, untuk minum. Tak lama kemudian mereka akan memasuki kandang dan menutup kebebasan hari itu, sekian. Demikianlah, tak ada yang sulit buat seorang penggembala. Ia hanya harus pandai memilih sebuah puncak bukit yang strategis, untuk mengamati seluruh medan. Selebihnya adalah kesabaran, kecintaan untuk menunggu hari sore, sambil melawan kesunyian, kekosongan dan sengatan matahari. Taona memiliki persyaratan ini. Ia seorang gembala yang baik. Di kampungnya ia dianggap alim, pendiam serta berwibawa. Ia sendiri memiliki kebanggaan yang cukup pada pekerjaannya, karena ia selalu mengingat bahwa Presidennya di Jakarta pada masa kecilnya juga seorang gembala. "Saya pernah baca di koran, Presiden Soeharto waktu masih kecil pernah menjadi penggembala kerbau pamannya," ujar Taona. "Menggembala bukanlah pekerjaan hina, kami ini hanya mengikuti jejak Nabi Muhammad. Bukankah Nabi waktu masih kecil terkenal sebagai gembala?" Tapi itu tidak menjamin bahwa biri-biri merupakan olahan yang empuk. Binatang itu sendiri sudah ditakdirkan menjadi binatang yang paling manja. Ia sangat ringkih. Sedikit menderita, ia lebih suka mampus. Kalau musim hujan dan kandangnya sampai terendam basah, ia akan terancam penyakit "kuku berulat". Praktis pada masa itu ia akan kurang makan. Karena kalau ia terpaksa juga harus melalap rumput-rumput muda yang terlalu hijau atau rerumputan basah, perutnya akan segera diserang radang mencret. Dua-duanya bisa bikin meninggal. Sebaliknya di musim kemarau, panas bisa jadi berkelebihan. Rumput-rumput tidak hanya kering akan tetapi mati. Lalu punggung bukit itu menjadi klimis dalam arti yang sebenar-benarnya, sehingga tidak ada yang bisa dicomot lagi. Dan karena rumput menjadi andalan satu-satunya, ancaman ini juga bisa membuat biri-biri itu punah. "Binatang itu harus dijaga betul setiap hari supaya perutnya kenyang," kata Taona. "Rumput yang paling bagus buat mereka adalah rumput yang setelah kena hujan beberapa hari lalu mengering karena panas beberapa hari." Selain teliti terhadap rumput, Taona juga harus teliti mengawasi agar kawasan biri-biri itu tetap bersatu. Kalau tidak, ada kemungkinan beberapa ekor jadi nakal lalu tercecer masuk kelompok lain. Kadangkala anjing-anjing hutan dari pinggiran bukit tiba-tiba menyergap dan mencabik-cabik binatang yang lemah lembut itu. Taona terpaksa harus tetap awas sepanjang hari, dengan mata maupun telinga. Gelagat dan suara-suara dari biri-biri itu harus cepat ditangkap karena mereka merupakan radar terhadap bahaya yang mengancam. Sebagaimana juga penggembala lainnya, Taona setiap kali diharuskan berlari ke sana ke mari, turun naik bukit sambil berkoar-koar -- seandainya gerombolan itu kucar-kacir. Untunglah binatang-binatang itu dikaruniai ingatan untuk mengenal suara "tuannya" -- sehingga para gembala dapat bekerja sama dengan mereka. Afdol "Pekerjaan ini warisan turun temurun dari nenek moyang saya, mereka memang penggembala tulen," kata Taona dengan bangga. Ayahnya dahulu terkenal di seluruh lembah sebagai pemilik biri-biri yang paling banyak. Tidak ada seorang pun yang mampu menandingi jumlah biri-birinya. Tetapi lantaran konsentrasinya begitu tinggi, kawinnya jadi terlambat. Ayah Taona baru bisa menikah setelah berumur sekitar 50 tahun. Taona memulai kariernya dengan 40 ekor biri-biri, di pertengahan tahun enam puluhan. Melihat jumlahnya sekarang, ia dapat dikatakan berhasil. Biri-biri atau domba beranak sekali setahun. Pada "musim Barat" kebanyakan anaknya jantan. Sedangkan pada "Musim Timur" sebaliknya. Musim Timur, galibnya ditandai oleh hujan yang turun pagi hari, sedangkan Musim Barat, hujan turun sore. Ini memudahkan para gembala untuk menentukan jadwal makan ternak itu. Tapi sekarang ini musim sudah senewen tidak bisa dipastikan lagi. Beternak biri-biri atau domba di Lembah Palu, tidak dapat dipisahkan dengan nafsu penduduk untuk makan dagingnya. Pesta atau kenduri apa saja di sana dianggap tidak afdol kalau tidak pakai santapan daging tersebut. Karena itu pasaran selalu tinggi. Harga maksimal setiap ekor bisa mencapai Rp 25 ribu. Sedangkan yang paling kecil, sudah murah kalau bisa didapat dengan harga Rp 7.500. Namun demikian, hidup semata-mata dari ternak itu tidak bisa bikin kaya mendadak seperti tanaman cengkeh. Penghasilan seorang penggembala lebih merupakan semacam "Tabanas" -- hasilnya dalam jangka waktu tertentu, baru bisa berbuah. Buruh Gembala Untuk menambal kekurangan hidup hariannya, Taona merangkap jadi petani garam. Ia menggarap garamnya pagi hari sebelum menggembala dan diteruskan lagi petangnya setelah ternak masuk kandang. Kadang-kadang ia menjadi tukang batu dan menerima upah Rp 1000 sehari kerja. Ini bisa terjadi, lantaran adanya usaha dari penggembala untuk menyatukan ternak mereka dan mengatur giliran menggembala. Kelompok Taona yang terdiri dari 5 gembala, 14 hari sekali giliran, sehingga Taona sebelum gilirannya, selalu punya 8 minggu kosong. Inilah yang menolong para gembala itu dalam penghasilan tambahan -- sementara menunggu "tambang" mereka itu meledakkan uang sekali tempo nanti. Tetapi tidak semua gembala adalah pemilik. Di sinilah sedihnya. Darasa, wanita usia 45 tahun dari Kampung Bale yang belum ketemu jodohnya sekarang, adalah buruh gembala. Perempuan kecil dan pemalu ini menggembalakan sekitar 200 ekor biri-biri milik orang lain. Setiap sepuluh hari ia memperbaharui kontraknya yang hanya bernilai Rp 3000. Pekerjaan yang dijabatnya sejak kecil itu ia warisi dari orang tuanya. Upah yang diterimanya sekarang tak cukup untuk hidup. "Saya berusaha mencari tambahan penghasilan lain, misalnya dengan jalan membuat minyak kelapa sebotol dua botol, lalu saya jual," kata Darasa yang memulai tugasnya pukul sebelas untuk berada di padang selama 7 jam. Baco, pemuda berwajah tua, meskipun masih 17 tahun, juga penggembala bayaran. Kontraknya untuk 10 hari kerja berharga Rp 4 ribu. Anak muda yang tinggal di Kampung Walangguni dan putus sekolah di kelas IV SD ini, juga merangkap dalam kelompok kerja gembala dan menerima giliran kerja. Waktu-waktu lowongnya diisi sebagai tukang batu. Di samping itu ia berusaha menanam jagung, ubi serta sayur mayur untuk keperluan keluarga sendiri. Baco masih tinggal bersama orang tuanya. Dapat dimaklumi mengapa cita-cita yang paling santer di kepalanya sekarang adalah menabung, lalu membuat rumah sendiri. Tetapi sebagaimana juga Taona, Darasa serta penggembala-penggembala yang lain, ia sama sekali belum terburu-buru untuk kawin. Barangkali karena nasib mereka ang masih buruk. Tapi apakah nasib itu akan berubah? Tanah Runtuh yang sorga itu, sekarang terpaksa harus dibagi. Ia tidak lagi dimonopoli oleh para gembala. Perkembangan olahraga telah melemparkan semangat "golf" -- permainan yang tersohor mewah dan kelas atas itu -- membetot kebebasan para gembala. Sejumlah bapak-bapak, setiap sore, apalagi Minggu dan hari-hari libur, mulai berkeliaran bersama-sama dengan biri-biri. Sekitar 10 hektar persegi, terlihatlah pagar dan pintu membatasi daerah yang rumputnya mahal. Di dalamnya dibangun sorga-sorga buatan untuk melepaskan kesenangan para pemain golf. Apalagi selang beberapa bulan terakhir ini sebuah perusahaan Jepang yang berkongsi dengan pengusaha pribumi mulai menggarap "kayu". Sebuah jalan menoreh dari pantai teluk utara menembus bukit, gunung dan hutan, di sebelah selatan Palu. Apakah ini tanda-tanda kemajuan, atau isyarat bakal terancamnya kehidupan para gembala? Kita tidak tahu dan barangkali juga tidak perlu meramalkan apa-apa. Akan tetapi Darasa, buruh gembala itu, pernah ketanggor pengalaman pahit. "Sekarang ini setelah ada jalan Nipon ini di sini, saya menjadi khawatir kalau-kalau domba gembalaan saya ditabrak mobil-mobil Nipon itu," ujarnya. Suatu kali Darasa pernah berusaha menyeberangkan ternaknya melintasi jalan. Sebuah mobil berhenti. Orangnya turun dan mencak-mencak. "Dia marah dengan bahasa yang tidak saya mengerti," katanya. Darasa takut setengah mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus