Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jakarta Bagian Mana ?

Dalam rangka HUT DKI, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan pameran Jakarta dalam sketsa di ruang pameran TIM. Beberapa karya yang ditampilkan, tidak menunjukkan ciri-ciri khas Jakarta dan tidak tampil sebagai karya seni yang baik.(sr)

15 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BICARA tentang Jakarta, ibukota kita yang tengah merayakan ulang tahunnya yang ke-451, bisa dari berbagai segi. Tergantung siapa yang bicara, dan menggunakan medium apa. Jika seorang pelukis berbicara tentang Jakarta, tentu titik berat pada segi visualnya. Lihat saja Pameran Jakarta Dalam sketsa, Ruang Pameran TIM, 4 - 9 Juli ini. Kebanyakan mengambil obyek rumah-rumah yang berhimpit, lalu-lintas yang macet. Meski ada juga yang menggambar satu kampung yang sunyi, atau setasiun yang sepi. Memang Jakarta serba ada. Dan yang lebih mau menampilkan Jakarta secara lebih khas tapi dengan begitu boleh dibilang konvensional -- tentu mencantumkan Monas, atau menggambar saja ondel-ondel. Ada juga yang menggambarkan Jakarta secara lebih abstrak, artinya memberi tekanan pada segi yang bukan visual. Misalnya punya Joko Tri, yang berjudul Sebuah baskom, sebuah becak di Jakarta. Ada gambar becak -- "becak nikmat" katanya -- ada gambar gadis penjaja kue -- yang akhirnya juga menjajakan tubuhnya. Tapi ada juga yang menyuguhkan karya-karya non-figuratif, misalnya punya Syahnagra atau punya Gatot Pralosa. Entah itu kesannya tentang Jakarta atau bukan, karya non-figuratif memang pantas diberi judul apa saja. Maka seorang pengunjung bertanya keada Gatot: "Ini Jakarta bagian mana?" Kalau kita melihat pameran ini dalam kerangka "Festival Jakarta," memang tak ada ciri-ciri khas pameran sehingga bisa disebut "Jakarta Dalam Sketsa" secara tegas. Sebagian besar sekali para senirupawan itu hanya menyuguhkan kembali apa-apa yang dilihatnya di Jakarta, tanpa seleksi. Artinya, mana-mana yang memang khas Jakarta, dan mana yang bisa terdapat di mana saja. Satu sudut kampung yang sunyi, dengan rumah yang kira-kira bisa terdapat di kawasan mana pun, tentu susah dibilang itu khas Jakarta. Lalu, masalah yang lebih mengganggu saya lagi ialah kwalitas karya-karya sungguh di bawah standar. Hingga memberi kesan, mereka bisa tampil karena membonceng "Festival Jakarta". Anda lihatlah pameran ini dengan niat untuk melihat karya seni rupa, tanpa embel-embel apa pun. Ternyata sedikit sekali yang bisa dinikmati. Kalau melihat katalogus, memang sebagian besar sekali peserta pameran ini mereka-mereka yang baru berangkat untuk terjun ke dunia seni rupa. Memang ada juga nama Nashar -- dan tampil dengan dua karya -- tapi kehadirannya terasa sebagai pengiring saja. Juga ada Tarmizi Firdaus, lalu Totok Ribudiyanto, Sulebar Sukarman. Rasa-rasanya mereka-mereka ini hanya daripada tidak ikut. Konon, apa yang sekarang dipamerkan memang dibuat dengan tergesa (bahkan beberapa karya baru diserahkan sehari sebelum pameran dibuka, sehingga tak tercantum dalam katalogus). Sebabnya, menurut salah seorang peserta, para semrupawan yang diundang untuk membuat "Jakarta dalam sketsa" sebagian besar sekali tak memenuhi undangan dari Dewan Kesenian Jakarta. Seorang yang diundang dan tak memenuhi undangan memberikan alasan: ukurannya ditentukan itu membatasi kebebasan, katanya. Juga mungkin karena arak waktu antara pengiriman undangan dan waktu pameran terlalu jauh, menjadikan yang diundang abai atau lupa atau jadi malas. Dan mungkin juga undangan tak sampai. Macam-macamlah sebabnya. Tapi lepas dari itu semua, pameran ini pun mempunyai hikmah. Cobalah anda berkeliling melihat-lihat " Jakarta dalam sketsa" ini. Pada karya-karyanya kurang baik, kita rasanya ingin tahu: daerah mana yang digambar pelukis ini. Tapi pada gambar yang baik, ternyata pertanyaan itu tak muncul. Kita menerima begitu saja karya itu sebagai karya yang baik. Tiba-tiba tidak penting benar apa itu Jakarta apa bukan. Ini membuktikan, bahwa karya seni pertama-tama adalah karya seni. Embel-embel, entah itu bernama religi, atau protes sosial, atau cerita tentang apa boleh ada boleh tidak dan hal-hal itu tidak menentukan baik buruknya karya. Contohnya, dalam pameran ini, lihat saja karya-karya Budi Dharmadi H. atau Syahnagra. Yang pertama menyuguhkan garis-garis yang irit tapi puitis dan kena. Ada penggarapan bidang. Yang kedua menyuguhkan bentuk-bentuk yang diulang-ulang dengan nuansa warna yang lembut. Dan sekali lagi, tidak penting benar apa itu Jakarta apa bukan. Tapi itu karya yang baik bukan begitu ?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus