BICARA tentang Jakarta, ibukota kita yang tengah merayakan
ulang tahunnya yang ke-451, bisa dari berbagai segi.
Tergantung siapa yang bicara, dan menggunakan medium apa.
Jika seorang pelukis berbicara tentang Jakarta, tentu titik
berat pada segi visualnya. Lihat saja Pameran Jakarta Dalam
sketsa, Ruang Pameran TIM, 4 - 9 Juli ini. Kebanyakan mengambil
obyek rumah-rumah yang berhimpit, lalu-lintas yang macet. Meski
ada juga yang menggambar satu kampung yang sunyi, atau
setasiun yang sepi. Memang Jakarta serba ada. Dan yang lebih mau
menampilkan Jakarta secara lebih khas tapi dengan begitu boleh
dibilang konvensional -- tentu mencantumkan Monas, atau
menggambar saja ondel-ondel.
Ada juga yang menggambarkan Jakarta secara lebih abstrak,
artinya memberi tekanan pada segi yang bukan visual. Misalnya
punya Joko Tri, yang berjudul Sebuah baskom, sebuah becak di
Jakarta. Ada gambar becak -- "becak nikmat" katanya -- ada
gambar gadis penjaja kue -- yang akhirnya juga menjajakan
tubuhnya.
Tapi ada juga yang menyuguhkan karya-karya non-figuratif,
misalnya punya Syahnagra atau punya Gatot Pralosa. Entah itu
kesannya tentang Jakarta atau bukan, karya non-figuratif memang
pantas diberi judul apa saja. Maka seorang pengunjung bertanya
keada Gatot: "Ini Jakarta bagian mana?"
Kalau kita melihat pameran ini dalam kerangka "Festival
Jakarta," memang tak ada ciri-ciri khas pameran sehingga bisa
disebut "Jakarta Dalam Sketsa" secara tegas. Sebagian besar
sekali para senirupawan itu hanya menyuguhkan kembali apa-apa
yang dilihatnya di Jakarta, tanpa seleksi. Artinya, mana-mana
yang memang khas Jakarta, dan mana yang bisa terdapat di mana
saja. Satu sudut kampung yang sunyi, dengan rumah yang kira-kira
bisa terdapat di kawasan mana pun, tentu susah dibilang itu
khas Jakarta.
Lalu, masalah yang lebih mengganggu saya lagi ialah kwalitas
karya-karya sungguh di bawah standar. Hingga memberi kesan,
mereka bisa tampil karena membonceng "Festival Jakarta". Anda
lihatlah pameran ini dengan niat untuk melihat karya seni rupa,
tanpa embel-embel apa pun. Ternyata sedikit sekali yang bisa
dinikmati.
Kalau melihat katalogus, memang sebagian besar sekali peserta
pameran ini mereka-mereka yang baru berangkat untuk terjun ke
dunia seni rupa. Memang ada juga nama Nashar -- dan tampil
dengan dua karya -- tapi kehadirannya terasa sebagai pengiring
saja. Juga ada Tarmizi Firdaus, lalu Totok Ribudiyanto, Sulebar
Sukarman. Rasa-rasanya mereka-mereka ini hanya daripada tidak
ikut.
Konon, apa yang sekarang dipamerkan memang dibuat dengan tergesa
(bahkan beberapa karya baru diserahkan sehari sebelum pameran
dibuka, sehingga tak tercantum dalam katalogus). Sebabnya,
menurut salah seorang peserta, para semrupawan yang diundang
untuk membuat "Jakarta dalam sketsa" sebagian besar sekali tak
memenuhi undangan dari Dewan Kesenian Jakarta. Seorang yang
diundang dan tak memenuhi undangan memberikan alasan: ukurannya
ditentukan itu membatasi kebebasan, katanya. Juga mungkin
karena arak waktu antara pengiriman undangan dan waktu pameran
terlalu jauh, menjadikan yang diundang abai atau lupa atau jadi
malas. Dan mungkin juga undangan tak sampai. Macam-macamlah
sebabnya.
Tapi lepas dari itu semua, pameran ini pun mempunyai hikmah.
Cobalah anda berkeliling melihat-lihat " Jakarta dalam sketsa"
ini. Pada karya-karyanya kurang baik, kita rasanya ingin
tahu: daerah mana yang digambar pelukis ini. Tapi pada gambar
yang baik, ternyata pertanyaan itu tak muncul. Kita menerima
begitu saja karya itu sebagai karya yang baik. Tiba-tiba tidak
penting benar apa itu Jakarta apa bukan.
Ini membuktikan, bahwa karya seni pertama-tama adalah karya
seni. Embel-embel, entah itu bernama religi, atau protes sosial,
atau cerita tentang apa boleh ada boleh tidak dan hal-hal itu
tidak menentukan baik buruknya karya. Contohnya, dalam pameran
ini, lihat saja karya-karya Budi Dharmadi H. atau Syahnagra.
Yang pertama menyuguhkan garis-garis yang irit tapi puitis dan
kena. Ada penggarapan bidang. Yang kedua menyuguhkan
bentuk-bentuk yang diulang-ulang dengan nuansa warna yang
lembut. Dan sekali lagi, tidak penting benar apa itu Jakarta apa
bukan. Tapi itu karya yang baik bukan begitu ?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini