Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

"Pukul" Sana-sini

Wapres Adam Malik menghimbau anggota himpunan fisika Indonesia untuk terjun melibatkan diri ke dalam program pengembangan industri & teknologi. Jumlah fisikawan di Indonesia masih sedikit. (ilm)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG Pelita III, seminar dan simposium sudah terjadi silih berganti. Kaum fisikawan Indonesia, walaupun dalam jumlah kecil, mengadakannya pula pekan lalu. Di Aryaduta Hyatt Hotel, Jakarta. Simposium Fisika Nasional Vll berlangsung agak mentereng, hingga Dr Parangtopo, ketua panitia penyelenggaranya, perlu meminta maaf pada waktu pembukaannya. Pertemuan ilmiah ini, katanya, bertujuan menghimbau para anggota Himpunan isika Indonesia supaya "ikut terjun melibatkan diri" ke dalam program pengembangan industri dan teknologi. Himbauan itu diperkuat oleh Wakil Presiden Adam Malik. "Saya sendiri adalah seorang awam dalam ilmu fisika," kata Wakil Presiden, "tapi . . . tidak salah kalau saya minta perhatian para fisikawan pada beberapa masalah . . . antara lain pengolahan sumber daya alam dan energi, pembinaan lingkungan fisik, pencegahan pencemaran atau pollution, dan pengamatan serta peramalan bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, dan musim yang terlampau kering atau terlampau basah." Semua masalah yang disebutnya itu diketahui dapat dihadapi dari sudut ilmu fisika. Para peserta simposium mengangguk-angguk tapi umumnya menyadari terbatasnya tenaga ahli. Terutama di bidang fisika ini, Indonesia sudah jauh ketinggalan. Informasi dari simposium itu menunjukkan bahwa ahli fisika Indonesia bergelar doktor (Ph.D) -- masih berjumlah 26, atau 0,2 ahli untuk tiap juta penduduk. Nigeria yang berpenduduk 60 juta mempunyai 60 ahli. Rasio 1:1 itu masih rendah bila dibanding dengan Malaysia (3), Brazilia (3,5), Jepang (70), AS (250), dan Uni Soviet (250). Sarjana fisika tapi belum bergelar doktor di Indonesia pun masih 300-an. Mengingat tuntutan teknologi yang makin meningkat di Indonesia, jelas diperlukan jumlah fisikawan yang lebih banyak. Namun dengan cara pendidikan seperti sekarang, Dr Parangtopo yang menjabat ketua jurusan Fisika, FIPIA Ul, melihat bahwa rasio 1:1 belum akan tercapai 5 tahun lagi. "Input dari SLA ke jurusan Fisika sangat kecil, dan lulusnya pun lambat," katanya. UI, UGM dan ITB -- ketiga universitas besar ini setahun cuma menghasilkan 20 sarjana fisika, di antaranya mungkin hanya 2 yang bisa mencapai Ph.D. Lambatnya pertumbuhan di jurusan ini, misalnya, kelihatan menyolok di ITS. Hanya dua mahasiswa ITS yang mengambil Fisika Murni, yaitu M. Faui dan Asyhada dari tingkat IV. Itu pun masih akan susut, karena Asyhada kabarnya mau "lari" ke Fisika Teknik. Jumlah pendaftar ke FIPIA ITS juga kecil sekali seperti di universitas lain. Maka sejak 1976 ia melakukan kampanye ke SMA di Jawa Timur dan Bali, yang dilanjutkannya ke Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, NTB dan NTT guna menarik pendaftar lebih banyak. Ditawarkannya pula lebih banyak bea-siswa. UGM dan ITB mencoba menarik pendaftar bagi FIPIA melalui Proyek Perintis 11 dalam tahun akademi berikutnya. Dengan Perintis II itu, yang tadinya cuma dilaksanakan IPB, para pelajar terbaik dari SLA yang diundang bisa diterima menjadi mahasiswa tanpa testing. Ikatan dinas dan bea-siswa bisa gampang diperoleh mahasiswa fisika di UGM. "Fasilitas fakultas bisa menerima (mahasiswa) lebih banyak dari sekarang ini," demikian drs. Soemartono MSc, sekretaris FIPA-UGM. Di ITB, sebelum tahun 1975 "kami merasa kesepian," kata drs. B. Darmawan MSc, ketua Departemen Fisika. Tahun 1975, diterima semua 36 pendaftar yang sudah terbilang banyak untuk jurusan fisika ITB, dibanding dengan rata-rata 10 saja pada tahun-tahun sebelulmnya. Jumlahnya pada tahun 1976 meningkat ke 50 pendaftar yang juga diterima semua. Mulai 1977, hanya 50 bila diterima walaupun 90 calon yang mendaftar. Dan peminat juga kelihatan meningkat tahun lalu. "Kini kami malah kewalahan," kata Darmawan. Tapi fisika masih dianggap "jurusan kering" yang belum menjamin kehidupan. Tidak ada fisikawan menjadi penganggur. Tapi memang benar, kata Prof Dr. Achmad Baiquni, ketua pusat Himpunan Fisika Indonesia, "penghasilannya tidak tergolong tinggi." Kurs fisikawan di pasaran sesungguhnya mulai naik dalam beberapa tahun terakhir ini. Dulu mereka selalu ditampung sebagai dosen atau guru SLA. Tapi kini, menurut Darmawan, "perusahaan asing di Indonesia malah datang ke ITB mencari sarjana fisika." Cerita Montir Bahwa penghargaan masyarakat terhadap ahli fisika masih rendah, Dr. ir Purnomosidi Hadjisaroso bisa bercerita. Menteri Pekerjaan Umum ini mengisahkan pengalaman seorang yang mobilnya mogok, dan tak bisa membetulkannya. Orang itu memanggil montir ahli. Setelah melihat sebentar, sang montir memukul salah satu bagian mesin. Mobil pun hidup, dan ia meminta ongkos yang sebanding dengan 100 dollar. Pemilik mobil meminta penjelasan tentang kenapa begitu mahal. "Dua dollar ongkos mukulnya, sedang 98 dollar lagi untuk ininya," kata momir sambil menunjuk dahinya. Dosen Indonesia yang ahli umumnya dibayar rendah oleh universitasnya, demikian Purnomosidi selanjutnya. "Maka ia pukul sana, pukul sini" supaya bisa memperoleh uang secukupnya. Justru karena terlalu banyak "pukul" rupanya, demikian dirasakan para peserta simposium ini, fisikawan Indonesia kurang mempunyai waktu bersisa untuk melakukan penelitian. Sedang simposium ini yang dihadiri juga oleh perutusan Singapura, Malaysia dan Thailand, menurut Dr. Parangtopo, dimaksud juga untuk mengusahakan terbentuknya pusat penelitian ASEAN. Tapi itu terlalu tinggi. Anjuran yang sederhana saja tapi masih sukar dilaksanakan, yaitu: Supaya buku pelajaran fisika untuk tingkat rendah maupun atas diperbanyak dalam bahasa Indonesia. Supaya jumlah pengajar fisika ditambah dan dirangsang minatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus