MENJELANG Pelita III, seminar dan simposium sudah terjadi silih
berganti. Kaum fisikawan Indonesia, walaupun dalam jumlah kecil,
mengadakannya pula pekan lalu. Di Aryaduta Hyatt Hotel, Jakarta.
Simposium Fisika Nasional Vll berlangsung agak mentereng, hingga
Dr Parangtopo, ketua panitia penyelenggaranya, perlu meminta
maaf pada waktu pembukaannya.
Pertemuan ilmiah ini, katanya, bertujuan menghimbau para anggota
Himpunan isika Indonesia supaya "ikut terjun melibatkan diri"
ke dalam program pengembangan industri dan teknologi. Himbauan
itu diperkuat oleh Wakil Presiden Adam Malik.
"Saya sendiri adalah seorang awam dalam ilmu fisika," kata Wakil
Presiden, "tapi . . . tidak salah kalau saya minta perhatian
para fisikawan pada beberapa masalah . . . antara lain
pengolahan sumber daya alam dan energi, pembinaan lingkungan
fisik, pencegahan pencemaran atau pollution, dan pengamatan
serta peramalan bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung
berapi, dan musim yang terlampau kering atau terlampau basah."
Semua masalah yang disebutnya itu diketahui dapat dihadapi dari
sudut ilmu fisika.
Para peserta simposium mengangguk-angguk tapi umumnya menyadari
terbatasnya tenaga ahli. Terutama di bidang fisika ini,
Indonesia sudah jauh ketinggalan. Informasi dari simposium itu
menunjukkan bahwa ahli fisika Indonesia bergelar doktor (Ph.D)
-- masih berjumlah 26, atau 0,2 ahli untuk tiap juta penduduk.
Nigeria yang berpenduduk 60 juta mempunyai 60 ahli. Rasio 1:1
itu masih rendah bila dibanding dengan Malaysia (3), Brazilia
(3,5), Jepang (70), AS (250), dan Uni Soviet (250).
Sarjana fisika tapi belum bergelar doktor di Indonesia pun masih
300-an. Mengingat tuntutan teknologi yang makin meningkat di
Indonesia, jelas diperlukan jumlah fisikawan yang lebih banyak.
Namun dengan cara pendidikan seperti sekarang, Dr Parangtopo
yang menjabat ketua jurusan Fisika, FIPIA Ul, melihat bahwa
rasio 1:1 belum akan tercapai 5 tahun lagi. "Input dari SLA ke
jurusan Fisika sangat kecil, dan lulusnya pun lambat," katanya.
UI, UGM dan ITB -- ketiga universitas besar ini setahun cuma
menghasilkan 20 sarjana fisika, di antaranya mungkin hanya 2
yang bisa mencapai Ph.D. Lambatnya pertumbuhan di jurusan ini,
misalnya, kelihatan menyolok di ITS. Hanya dua mahasiswa ITS
yang mengambil Fisika Murni, yaitu M. Faui dan Asyhada dari
tingkat IV. Itu pun masih akan susut, karena Asyhada kabarnya
mau "lari" ke Fisika Teknik. Jumlah pendaftar ke FIPIA ITS juga
kecil sekali seperti di universitas lain. Maka sejak 1976 ia
melakukan kampanye ke SMA di Jawa Timur dan Bali, yang
dilanjutkannya ke Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, NTB
dan NTT guna menarik pendaftar lebih banyak. Ditawarkannya pula
lebih banyak bea-siswa.
UGM dan ITB mencoba menarik pendaftar bagi FIPIA melalui Proyek
Perintis 11 dalam tahun akademi berikutnya. Dengan Perintis II
itu, yang tadinya cuma dilaksanakan IPB, para pelajar terbaik
dari SLA yang diundang bisa diterima menjadi mahasiswa tanpa
testing.
Ikatan dinas dan bea-siswa bisa gampang diperoleh mahasiswa
fisika di UGM. "Fasilitas fakultas bisa menerima (mahasiswa)
lebih banyak dari sekarang ini," demikian drs. Soemartono MSc,
sekretaris FIPA-UGM.
Di ITB, sebelum tahun 1975 "kami merasa kesepian," kata drs. B.
Darmawan MSc, ketua Departemen Fisika. Tahun 1975, diterima
semua 36 pendaftar yang sudah terbilang banyak untuk jurusan
fisika ITB, dibanding dengan rata-rata 10 saja pada tahun-tahun
sebelulmnya. Jumlahnya pada tahun 1976 meningkat ke 50 pendaftar
yang juga diterima semua. Mulai 1977, hanya 50 bila diterima
walaupun 90 calon yang mendaftar. Dan peminat juga kelihatan
meningkat tahun lalu. "Kini kami malah kewalahan," kata
Darmawan.
Tapi fisika masih dianggap "jurusan kering" yang belum menjamin
kehidupan. Tidak ada fisikawan menjadi penganggur. Tapi memang
benar, kata Prof Dr. Achmad Baiquni, ketua pusat Himpunan Fisika
Indonesia, "penghasilannya tidak tergolong tinggi."
Kurs fisikawan di pasaran sesungguhnya mulai naik dalam beberapa
tahun terakhir ini. Dulu mereka selalu ditampung sebagai dosen
atau guru SLA. Tapi kini, menurut Darmawan, "perusahaan asing di
Indonesia malah datang ke ITB mencari sarjana fisika."
Cerita Montir
Bahwa penghargaan masyarakat terhadap ahli fisika masih rendah,
Dr. ir Purnomosidi Hadjisaroso bisa bercerita. Menteri Pekerjaan
Umum ini mengisahkan pengalaman seorang yang mobilnya mogok, dan
tak bisa membetulkannya. Orang itu memanggil montir ahli.
Setelah melihat sebentar, sang montir memukul salah satu bagian
mesin. Mobil pun hidup, dan ia meminta ongkos yang sebanding
dengan 100 dollar. Pemilik mobil meminta penjelasan tentang
kenapa begitu mahal. "Dua dollar ongkos mukulnya, sedang 98
dollar lagi untuk ininya," kata momir sambil menunjuk dahinya.
Dosen Indonesia yang ahli umumnya dibayar rendah oleh
universitasnya, demikian Purnomosidi selanjutnya. "Maka ia pukul
sana, pukul sini" supaya bisa memperoleh uang secukupnya.
Justru karena terlalu banyak "pukul" rupanya, demikian dirasakan
para peserta simposium ini, fisikawan Indonesia kurang mempunyai
waktu bersisa untuk melakukan penelitian. Sedang simposium ini
yang dihadiri juga oleh perutusan Singapura, Malaysia dan
Thailand, menurut Dr. Parangtopo, dimaksud juga untuk
mengusahakan terbentuknya pusat penelitian ASEAN.
Tapi itu terlalu tinggi. Anjuran yang sederhana saja tapi masih
sukar dilaksanakan, yaitu: Supaya buku pelajaran fisika untuk
tingkat rendah maupun atas diperbanyak dalam bahasa Indonesia.
Supaya jumlah pengajar fisika ditambah dan dirangsang minatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini