Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sebuah lorong di kotaku kenangan si kecil dini

Pengarang: n.h. dini jakarta: pt. dunia pustaka jaya resensi oleh: bambang bujono.

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH LORONG DI KOTAKU Karya: Nh. Dini Tebal: 133 halaman Cetakan: Pertama, 1978 Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya SAMPAI habis membaca bab ke-7 halaman 106, kita belum bisa dengan pasti membayangkan sebetulnya tokoh "aku" dalam novel ini usianya berapa. Yang kita tahu dia anak bungsu masih kecil. Meski boleh bermain-main di kebun yang sedang kebanjiran, ia harus selalu diawasi ayah dan empat saudaranya. Lalu, membonceng sepeda di bagasi belakang pun belum diijinkan. Masih harus dibonceng di kursi khusus yang ditaruh di belakang stang sepeda. Itulah kemudian kenapa terasa janggal percakapan tokoh "aku" itu, yang bernama Dini, dengan kakeknya. Coba saja baca: "Kau takut kepadaku, bukan?" "Takut sekali," jawabku, selangsung pertanyaannya. "Mengapa?" "Karena semua orang kelihatan takut kepada kakek." "Jangan mengikuti orang lain. Saya juga manusia biasa, seperti kamu.""Manusia seperti kamu," kalimat ini begitu janggal karena diucapkan kepada seorang anak yang masuk sekolah pun belum. Dini baru akan masuk taman kanak-kanak (halaman 107). Namun lepas dari satu hal itu, Nh. Dini masih juga termasuk novelis yang memiliki bahasa reportase yang cermat dan hidup. Novel yang tak sepanjang Pada Sebuah Kapal ini nyaris hanya merupakan satu laporan pandangar mata tentang hidup satu keluarga pegawai N.I.S. (Jawatan Kereta Api di jaman Belanda). Juga bukan merupakan satu riwayat hidup, karena hanya menceritakan babakan singkat kisah mereka. Keluarga itu terdiri dari tujuh orang ayah dan ibu beserta dua anak lelakinya dan tiga anak perempuannya. Termasuk keluarga mampu (jabatan ayah itu komis). Tentu, mereka juga punya pembantu rumah tangga. Tapi itu praktis tak disinggung. Satu hal yang agak anggal sebenarnya, mengingat jaman dan status keluarga yang dikisahkan novel ini. Mereka berkunjung ke desa, Tegalrejo di Jawa Timur, rumah kakek. Dan hampir separuh buku ini (halaman 37-96) menceritakan bagaimana mereka berangkat dari rumah di Semarang, kegiatan mereka di Tegalrejo dan kemudian pulang. Selebihnya adalah menceritakan bagaimana si aku Dini masuk sekolah dan ditutup dengan gambaran suasana menjelang Jepang menduduki Indonesia. Novel yang ditulis di Arnhem tahun 1975 ini memang mengasyikkan. Kita bisa ikut merasakan licinnya memegang ikan kutuk yang hidup. Mendengarkan betapa ributnya itikitik yang berenang dan berebut cacing atau katak. Ikut merasakan kegembiraan anak-anak melihat pemandangan di luar dari jendela kereta api. Juga merasakan bagaimana kegelisahan orang tua kalau anaknya bermain ke sungai pada sore hari. Kecuali itu Nh. Dini juga berhasil menggambarkan bagaimana suasana rumah satu keluarga mampu di sebuah desa. Selalu ria, kakek-nenek selalu ramal kepada petani-petani pembantu mereka Dan si kakek yang juga kyai, tentulah tak mengherankan kalau dia ditaat oleh warga desa yang polos itu. Tapi ia berhasil juga menggambarkan suasan rumah kakek-nenek dari ibu mereka yang tinggal di Ponorogo, yang berbeda dari suasana di Tegalrejo. Rumah itu terasa murung, bukan terutama karena kakek mereka buta, tapi karena tata-tertib yang mengekang kebebasan bergerak anak-anak. Misalnya, makan harus orang tua dulu, tidak bersama-sama seperti di desa. Ini menimbulkan pertanyaan pada si kecil Dini, tapi yang sampai halaman habis ternyata tak disinggung lagi. Kesan yang terasa kuat pada novel reportase ini ialah gambaran bagaimana anak-anak kota (Semarang) mengenal seluk-beluk desa (Tegalrejo). Mereka mencoba berkenalan secara dekat dengan tupai yang hidup bebas. Mereka mengintip burung puyuh. Mereka merasakan terkejut tapi senang kalau dari semak-semak tiba-tiba terbang sambil berkoar seekor ayam hutan. Mencicip segarnya air kelapa muda begitu kelapa dipetik dari pohonnya, dan lain-lainnya. Walhasil, reportase yang hidup. Dan tentang kehidupan di desa itu, mungkin bisa memenuhi nostalgia kita, -- manusia Indonesia yang tak di desa lagi. Bambang Bujono BOKS Sebuah Kutipan dari Masa Kecil SEJAK beberapa hari hujan turun dengan kepadatan musim yang tidak dapat ditahan. Cucian yang lembab bergantungan pada tali-tali yang dlrentangkan ayahku dari dindmg satu ke dinding yang lainnya di dalam sepen di samping dapur. Ayam-ayam kerjanya terkantuk-kantuk sepanjang hari tanpa mendapat kesempatan berjemur karena menghilangnya matahari. Beberapa ekor yang lebih giat, turun dari tenggeran, keluar kandang buat menengok kesibukan di balik kurungan mereka. Berdiri di pelimbahan belakang, kadang-kadang, mereka beruntung dapat mencegat keong-keong lembut yang muncul entah dari mana dan hendak mengarungi limpahan air, menyeberangi latar yang memisahkan bagian rumah besar dengan dapur, kamar mandi dan sebayainya. Seekor atau dua lainnya naik tangga berjubin hendak masuk ke dalam emper. Sebegitu orang lalai, mereka masuk ke dalam ruangan makan, berjalan tenang-tenang seperti seseorang yang menikmati udara sejuk di sore hari, hingga pada saat ketahuan oleh iapa pun, disusul oleh suara usiran yang penuh amarah garang. *** "Aku diajar berpuasa bukan karena agama, bukan karena keinginan naik Surga. Kakek mengajarku buat menahan keinginan, untuk mengetahui sampai di mana aku dapat mengatur kekutan. Hingga akhirnya aku bisa mengenal kehendak dan kekuatan tersebut. Karena menurut kakek, mengenal dan mengetahui keinginan diri sendiri yang sebenarnya itu tidak mudah. Orang mengatakan mau ini dan itu. Tetapi kebanyakan dari mereka, yang sesunguhnya, hanya meniru orang-orang lain. Bersama nenek, tidak ada bedanya bagiku seperti bersama ibu. Diajarinya mencintai tanah, dan segala yang tumbuh di atasnya. Diajarinya aku berbicara dengan suara rendah namun semungkin. Tak perlu bernada lebih dari kawan bicara. Seperti ibu nenek berpendapat, bahwa tumbuh-tumbuhan juga berjiwa. Berkali-kali kudapati nenek berbicara kepada pohon jeruknya, kepada kembang-kembang melatinya, kepada kembojanya. Ketika aku baru tiba, diperkenalkannya aku kepada cangkokan rambutan yang baru ditanam, kiriman dari seseorang saudara yang mempunyai kebun luas di daerah Betawi. Sikap yang ramah penuh terima kasih selalu ditunjukkannya kepada pembantu dan petani yang bekerja di rumah maupun di sawah. Kakek dan nenek, meskipun tidak bersamaan, keduanya sepakat mengajariku untuk mengerti bahwa kita tidak bisa hidup bersendiri, karena seseorang memerlukan orang lain untuk merasakan gunanya kehadiran masing-masing. Keperluan yang sama harus pula ditunjukkan kepada semua mahluk, termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus