SEBUAH LORONG DI KOTAKU
Karya: Nh. Dini
Tebal: 133 halaman
Cetakan: Pertama, 1978
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya
SAMPAI habis membaca bab ke-7 halaman 106, kita belum bisa
dengan pasti membayangkan sebetulnya tokoh "aku" dalam novel ini
usianya berapa. Yang kita tahu dia anak bungsu masih kecil.
Meski boleh bermain-main di kebun yang sedang kebanjiran, ia
harus selalu diawasi ayah dan empat saudaranya. Lalu, membonceng
sepeda di bagasi belakang pun belum diijinkan. Masih harus
dibonceng di kursi khusus yang ditaruh di belakang stang sepeda.
Itulah kemudian kenapa terasa janggal percakapan tokoh "aku"
itu, yang bernama Dini, dengan kakeknya. Coba saja baca:
"Kau takut kepadaku, bukan?"
"Takut sekali," jawabku, selangsung pertanyaannya.
"Mengapa?"
"Karena semua orang kelihatan takut kepada kakek."
"Jangan mengikuti orang lain. Saya juga manusia biasa, seperti
kamu.""Manusia seperti kamu," kalimat ini begitu janggal karena
diucapkan kepada seorang anak yang masuk sekolah pun belum. Dini
baru akan masuk taman kanak-kanak (halaman 107).
Namun lepas dari satu hal itu, Nh. Dini masih juga termasuk
novelis yang memiliki bahasa reportase yang cermat dan hidup.
Novel yang tak sepanjang Pada Sebuah Kapal ini nyaris hanya
merupakan satu laporan pandangar mata tentang hidup satu
keluarga pegawai N.I.S. (Jawatan Kereta Api di jaman Belanda).
Juga bukan merupakan satu riwayat hidup, karena hanya
menceritakan babakan singkat kisah mereka.
Keluarga itu terdiri dari tujuh orang ayah dan ibu beserta dua
anak lelakinya dan tiga anak perempuannya. Termasuk keluarga
mampu (jabatan ayah itu komis). Tentu, mereka juga punya
pembantu rumah tangga. Tapi itu praktis tak disinggung. Satu hal
yang agak anggal sebenarnya, mengingat jaman dan status
keluarga yang dikisahkan novel ini. Mereka berkunjung ke desa,
Tegalrejo di Jawa Timur, rumah kakek. Dan hampir separuh buku
ini (halaman 37-96) menceritakan bagaimana mereka berangkat dari
rumah di Semarang, kegiatan mereka di Tegalrejo dan kemudian
pulang. Selebihnya adalah menceritakan bagaimana si aku Dini
masuk sekolah dan ditutup dengan gambaran suasana menjelang
Jepang menduduki Indonesia.
Novel yang ditulis di Arnhem tahun 1975 ini memang mengasyikkan.
Kita bisa ikut merasakan licinnya memegang ikan kutuk yang
hidup. Mendengarkan betapa ributnya itikitik yang berenang dan
berebut cacing atau katak. Ikut merasakan kegembiraan anak-anak
melihat pemandangan di luar dari jendela kereta api. Juga
merasakan bagaimana kegelisahan orang tua kalau anaknya bermain
ke sungai pada sore hari.
Kecuali itu Nh. Dini juga berhasil menggambarkan bagaimana
suasana rumah satu keluarga mampu di sebuah desa. Selalu ria,
kakek-nenek selalu ramal kepada petani-petani pembantu mereka
Dan si kakek yang juga kyai, tentulah tak mengherankan kalau dia
ditaat oleh warga desa yang polos itu. Tapi ia berhasil juga
menggambarkan suasan rumah kakek-nenek dari ibu mereka yang
tinggal di Ponorogo, yang berbeda dari suasana di Tegalrejo.
Rumah itu terasa murung, bukan terutama karena kakek mereka
buta, tapi karena tata-tertib yang mengekang kebebasan bergerak
anak-anak. Misalnya, makan harus orang tua dulu, tidak
bersama-sama seperti di desa. Ini menimbulkan pertanyaan pada si
kecil Dini, tapi yang sampai halaman habis ternyata tak
disinggung lagi.
Kesan yang terasa kuat pada novel reportase ini ialah gambaran
bagaimana anak-anak kota (Semarang) mengenal seluk-beluk desa
(Tegalrejo). Mereka mencoba berkenalan secara dekat dengan tupai
yang hidup bebas. Mereka mengintip burung puyuh. Mereka
merasakan terkejut tapi senang kalau dari semak-semak tiba-tiba
terbang sambil berkoar seekor ayam hutan. Mencicip segarnya air
kelapa muda begitu kelapa dipetik dari pohonnya, dan
lain-lainnya. Walhasil, reportase yang hidup. Dan tentang
kehidupan di desa itu, mungkin bisa memenuhi nostalgia kita, --
manusia Indonesia yang tak di desa lagi.
Bambang Bujono
BOKS
Sebuah Kutipan dari Masa Kecil
SEJAK beberapa hari hujan turun dengan kepadatan musim yang
tidak dapat ditahan. Cucian yang lembab bergantungan pada
tali-tali yang dlrentangkan ayahku dari dindmg satu ke dinding
yang lainnya di dalam sepen di samping dapur.
Ayam-ayam kerjanya terkantuk-kantuk sepanjang hari tanpa
mendapat kesempatan berjemur karena menghilangnya matahari.
Beberapa ekor yang lebih giat, turun dari tenggeran, keluar
kandang buat menengok kesibukan di balik kurungan mereka.
Berdiri di pelimbahan belakang, kadang-kadang, mereka
beruntung dapat mencegat keong-keong lembut yang muncul entah
dari mana dan hendak mengarungi limpahan air, menyeberangi latar
yang memisahkan bagian rumah besar dengan dapur, kamar mandi dan
sebayainya. Seekor atau dua lainnya naik tangga berjubin hendak
masuk ke dalam emper. Sebegitu orang lalai, mereka masuk ke
dalam ruangan makan, berjalan tenang-tenang seperti seseorang
yang menikmati udara sejuk di sore hari, hingga pada saat
ketahuan oleh iapa pun, disusul oleh suara usiran yang penuh
amarah garang.
***
"Aku diajar berpuasa bukan karena agama, bukan karena
keinginan naik Surga. Kakek mengajarku buat menahan keinginan,
untuk mengetahui sampai di mana aku dapat mengatur kekutan.
Hingga akhirnya aku bisa mengenal kehendak dan kekuatan
tersebut. Karena menurut kakek, mengenal dan mengetahui
keinginan diri sendiri yang sebenarnya itu tidak mudah. Orang
mengatakan mau ini dan itu. Tetapi kebanyakan dari mereka, yang
sesunguhnya, hanya meniru orang-orang lain.
Bersama nenek, tidak ada bedanya bagiku seperti bersama ibu.
Diajarinya mencintai tanah, dan segala yang tumbuh di atasnya.
Diajarinya aku berbicara dengan suara rendah namun semungkin.
Tak perlu bernada lebih dari kawan bicara. Seperti ibu nenek
berpendapat, bahwa tumbuh-tumbuhan juga berjiwa. Berkali-kali
kudapati nenek berbicara kepada pohon jeruknya, kepada
kembang-kembang melatinya, kepada kembojanya. Ketika aku baru
tiba, diperkenalkannya aku kepada cangkokan rambutan yang baru
ditanam, kiriman dari seseorang saudara yang mempunyai kebun
luas di daerah Betawi. Sikap yang ramah penuh terima kasih
selalu ditunjukkannya kepada pembantu dan petani yang bekerja di
rumah maupun di sawah. Kakek dan nenek, meskipun tidak
bersamaan, keduanya sepakat mengajariku untuk mengerti bahwa
kita tidak bisa hidup bersendiri, karena seseorang memerlukan
orang lain untuk merasakan gunanya kehadiran masing-masing.
Keperluan yang sama harus pula ditunjukkan kepada semua mahluk,
termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini