KETIKA Presiden Soeharto berkunjung ke Riau, dan sempat
menjenguk beberapa lokasi transmigrasi. semuanya dilaporkan
baik-baik saja. "Tak usah terpekik, berketuk saja tidak,"
kelakar banyak orang di Pakanbaru kini. Ternyata lebih 2.000 KK
transmigran dari lokasi Rokan, Siak, Kuala Cinaku, Tempuling,
Reteh dan lainnya, minta dipindahkan ke lokasi baru.
Mengapa rupanya? Mereka tak kuat lagi menghadapi lahan pasang
surut yang sulit diolah. Lahan yang berlapiskan gambut sampai
setebal 1,5 m tak menumbuhkan kebutuhan mereka, sementara masa
bantuan selama setahun sudah berakhir. Soal lain juga ada.
sanjir, intrusi air laut ke lahan dan ancaman berbagai penyakit.
sahkan pihak Kanwil Ditjen Transmigrasi Riau sudah meminta agar
penempatan transmigran di lokasi Rokan dihentikan saja.
Di mana salahnya? "Warga transmigran tak disiapkan untuk
menguasai lahan pasang surut," ujar Dr. Mukhtar Ahmad, ahli
masalah pengelolaan dan pemanfaatan lahan rawa di Riau. Menurut
Mukhtar, yang juga mengajar di Universitas Riau (Unri), hampir
tiap transmigran di lokasi pasang surut, mulai merasakan
kesulitan begitu memasuki tahun kedua.
Tahun pertama, biasanya masih tersedia jatah bantuan, dan lahan
mereka tanami dengan berbagai jenis palawija. Tapi tahun kedua,
bantuan disetop - justru di saat tanah gambut mulai
memperlihatkan ciri khasnya. Ia kering dan mengeluarkan zat
racun yang memusnahkan tanaman apa pun, kecuali lahan itu bisa
cepat diairi kembali.
"Kalau mereka menggunakan ilmu orang Banjar untuk menaklukkan
rawa, tiga tahun kemudian mereka baru bisa tersenyum," ujar
Mukhtar. Dia cukup lama mempelajari sistem pertanian orang
Banjar di Kalimantan Selatan. Di tahun ketiga itu, setelah lahan
itu basah dan ditumbuhi kembali rerumputan atau belukar sebagai
pelindung dari terik matahari, ia kembali subur.
Di Kalimantan Selatan, kelompok petani pernah berhasil
menaklukkan gambut di kawasan pasang surut dengan memanfaatkan
suatu jaringan kanal, peninggalan zaman Belanda. Antara lain
cara ini jadi model para ahli Indonesia ketika merancang
pemanfaatan 38 juta ha kawasan rawa--termasuk 7 juta ha yang
dipengaruhi pasang surut--di Indonesia untuk dijadikan lahan
pertanian.
Orang lanjar biasanya menanam kelapa pada tahul- ketiga.
Tanaman keras itu sekaligus jadi pehndung, menyuburkan kembali
lahan hingga bisa ditanampalawija sebagai tanaman sela. Orang
Banjar biasanya membiarkan lahan itu jadi kebun kelapa. Untuk
padi dan jenis tanaman lain mereka buka lahan baru. Dari tahun
ke tahun areal pertanian mereka terus bertambah, dan akhirnya
mereka "jadi tauke kelapa," ujar Mukhtar.
Meski bertolak dari ilmu orang sanjar, Mukhtar tak ingin jadi
"tauke kelapa". Bersama sejumlah kawannya sejak Juli tahun lalu,
Mukhtar mengadakan penelitian atas satu model usaha pertanian
dengan budidaya terpadu. Ada usaha pertanian, peternakan dan
perikanan, semua menggunakan teknologi sederhana. Kini di atas
lahan 2 ha, Mukhtar dkk berhasil di Desa Kulim, Pakanbaru.
Lahan penelitian itu terdiri dari dua jenis. Satu hektar berupa
bekas rawa yang pernah dimanfaatkan untuk pertanian 20 tahun
lalu dan kini sudah penuh belukar. Satu hektar lagi berupa rawa
perawan, penuh pepohonan dan gambut. Tingkat keasaman tanah
jenis organosol itu rendah dengan Ph hanya 5 yang senantiasa
terendam air sedalam 30 sampai 50 cm.
Problem utama tentunya mengeringkan lahan itu. Di situ ilmu
orang Banjar digunakan. Mula-mula dibuat satu kanal selebar 2 m,
yang menghubungkan lahan itu dengan Sungai Sail, sekitar 120 m
jauhnya. Kanal ini berhasil mengeringkan lahan, meski kadar air
tanah masih mencapai 40 sampai 80%. Kemudian dibuat kolam-kolam.
Tapi tanah gambut dan organosol itu menuntut teknik lain
dibanding untuk tanah biasa yang bercampur tanah liat.
Lebih dulu harus dibangun pematangnya dan setiap lapisan tanah
setinggi 20 cm dipadatkan dulu agar tidak runtuh. Dalam waktu 3
bulan, akhirnya 3 orang--dengan biaya Rp 490 ribu-bisa
menyelesaikan 7 kolam, masing-masing berukuran 10 x 10 m.
Sementara kanal dan jaringan saluran ke kolam-kolam itu selesai
dalam 21 hari dengan biaya Rp 144 ribu.
Di kolam ini kemu dian dibiakkan berbagai jenis ikan. Antara
lain 5.000 ekor ikan nila dengan kepadatan rata-rata 10 ekor per
m2. Meski sampai hari ke-10 sekitar 500 ekor mati, pertumbuhan
ikan kemudian membaik.
Dari panjang semula rata-rata 48 mm, dua minggu kemudian ikan
itu sudah mencapai 50 sampai 78 mm. Bahkan di salah satu kolam
ikan itu bisa memijah dalam tempo 3 bulan.
Kolam-kolam itu letaknya tak berjauhan dari sebuah rumah yang
juga dibangun Mukhtar dkk. Berukuran 7 x 5 m ditambah dapur 4 x
4 Tn, bangunan itu sedikit lebih besar daripada rumah
transmigrasi, meski bahan dan harganya hampir sama. Di belakang
rumah itu dibuat kandang untuk pemeliharaan unggas. Modal untuk
semua itu diperoleh dari Pemerintah Daerah Riau melalui Unri
sebesar US$ 3.000 (Rp 2 juta) dan US$ 8.500 (Rp 5,7 juta) dari
IFS (International Foundation for Science) Swedia.
Sebagian kandang ayam dibuat di atas kolam. Kotoran unggas itu
yang jatuh ke kolam langsung jadi sumber makanan ikan. "Tak ada
yang terbuang dan tak mencemarkan lingkungan," ujar Mukhtar. Dan
bila kolam dikeringkan, kotoran di dasarnya bisa pula dijadikan
pupuk untuk lahan pertanian.
Ternak ayam di sana dalam 7 hari bisa bertambah 29 gram, bahkan
ada yang bisa 38,5 gram, tapi masih di bawah pertambahan ayam
ras yang dipelihara di lahan kering. Itik bisa gemuk tapi tak
mau bertelur. "Mungkin pengalaman memeliharanya yang kurang,"
kata Mukhtar.
Ternyata hampir semua tanaman palawija dan sayuran bisa tumbuh,
meski agak lambat. Hanya padi yang belum sempat dicoba Mukhtar
dkk. Karena sasaran utama penelitian ini untuk melihat
kemungkinan peragaan jenis tanaman pekarangan.
Memang ikhtiar Mukhtar ini bukan semata-mata karena ratap para
transmigran di Riau itu. "Duapuluh tahun lagi akan timbul
masalah keterbatasan lahan kering," ujar Mukhtar, ahli perikanan
jebolan Jepang. "Mau tak mau kawasan rawa bakal jadi sasaran,
dan jika ilmunya tepat, lahan itu bisa memberi sumbangan
berarti."
Namun persoalannya tak gampang. Sudah sekitar 100 ribu ha
kawasan pasang surut dan rawa dibuka di Riau dengan biaya
sekitar Rp 12 milyar. Toh Riau (berpenduduk 2,1 juta)--menurut
Gubernur Imam Munandar--masih tetap minus 140 ribu ton beras
setahun. Sementara produksi ikan, begitu trawl dihapus dari
laut, merosot sampai 30%.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini