Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ambil-alih ilmu banjar

Sistem pertanian orang banjar, kal-sel, untuk mengolah lahan pasang surut. para transmigran di riau, mengeluh, lahan pasang surut mereka sulit diolah. (ilt)

6 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Presiden Soeharto berkunjung ke Riau, dan sempat menjenguk beberapa lokasi transmigrasi. semuanya dilaporkan baik-baik saja. "Tak usah terpekik, berketuk saja tidak," kelakar banyak orang di Pakanbaru kini. Ternyata lebih 2.000 KK transmigran dari lokasi Rokan, Siak, Kuala Cinaku, Tempuling, Reteh dan lainnya, minta dipindahkan ke lokasi baru. Mengapa rupanya? Mereka tak kuat lagi menghadapi lahan pasang surut yang sulit diolah. Lahan yang berlapiskan gambut sampai setebal 1,5 m tak menumbuhkan kebutuhan mereka, sementara masa bantuan selama setahun sudah berakhir. Soal lain juga ada. sanjir, intrusi air laut ke lahan dan ancaman berbagai penyakit. sahkan pihak Kanwil Ditjen Transmigrasi Riau sudah meminta agar penempatan transmigran di lokasi Rokan dihentikan saja. Di mana salahnya? "Warga transmigran tak disiapkan untuk menguasai lahan pasang surut," ujar Dr. Mukhtar Ahmad, ahli masalah pengelolaan dan pemanfaatan lahan rawa di Riau. Menurut Mukhtar, yang juga mengajar di Universitas Riau (Unri), hampir tiap transmigran di lokasi pasang surut, mulai merasakan kesulitan begitu memasuki tahun kedua. Tahun pertama, biasanya masih tersedia jatah bantuan, dan lahan mereka tanami dengan berbagai jenis palawija. Tapi tahun kedua, bantuan disetop - justru di saat tanah gambut mulai memperlihatkan ciri khasnya. Ia kering dan mengeluarkan zat racun yang memusnahkan tanaman apa pun, kecuali lahan itu bisa cepat diairi kembali. "Kalau mereka menggunakan ilmu orang Banjar untuk menaklukkan rawa, tiga tahun kemudian mereka baru bisa tersenyum," ujar Mukhtar. Dia cukup lama mempelajari sistem pertanian orang Banjar di Kalimantan Selatan. Di tahun ketiga itu, setelah lahan itu basah dan ditumbuhi kembali rerumputan atau belukar sebagai pelindung dari terik matahari, ia kembali subur. Di Kalimantan Selatan, kelompok petani pernah berhasil menaklukkan gambut di kawasan pasang surut dengan memanfaatkan suatu jaringan kanal, peninggalan zaman Belanda. Antara lain cara ini jadi model para ahli Indonesia ketika merancang pemanfaatan 38 juta ha kawasan rawa--termasuk 7 juta ha yang dipengaruhi pasang surut--di Indonesia untuk dijadikan lahan pertanian. Orang lanjar biasanya menanam kelapa pada tahul- ketiga. Tanaman keras itu sekaligus jadi pehndung, menyuburkan kembali lahan hingga bisa ditanampalawija sebagai tanaman sela. Orang Banjar biasanya membiarkan lahan itu jadi kebun kelapa. Untuk padi dan jenis tanaman lain mereka buka lahan baru. Dari tahun ke tahun areal pertanian mereka terus bertambah, dan akhirnya mereka "jadi tauke kelapa," ujar Mukhtar. Meski bertolak dari ilmu orang sanjar, Mukhtar tak ingin jadi "tauke kelapa". Bersama sejumlah kawannya sejak Juli tahun lalu, Mukhtar mengadakan penelitian atas satu model usaha pertanian dengan budidaya terpadu. Ada usaha pertanian, peternakan dan perikanan, semua menggunakan teknologi sederhana. Kini di atas lahan 2 ha, Mukhtar dkk berhasil di Desa Kulim, Pakanbaru. Lahan penelitian itu terdiri dari dua jenis. Satu hektar berupa bekas rawa yang pernah dimanfaatkan untuk pertanian 20 tahun lalu dan kini sudah penuh belukar. Satu hektar lagi berupa rawa perawan, penuh pepohonan dan gambut. Tingkat keasaman tanah jenis organosol itu rendah dengan Ph hanya 5 yang senantiasa terendam air sedalam 30 sampai 50 cm. Problem utama tentunya mengeringkan lahan itu. Di situ ilmu orang Banjar digunakan. Mula-mula dibuat satu kanal selebar 2 m, yang menghubungkan lahan itu dengan Sungai Sail, sekitar 120 m jauhnya. Kanal ini berhasil mengeringkan lahan, meski kadar air tanah masih mencapai 40 sampai 80%. Kemudian dibuat kolam-kolam. Tapi tanah gambut dan organosol itu menuntut teknik lain dibanding untuk tanah biasa yang bercampur tanah liat. Lebih dulu harus dibangun pematangnya dan setiap lapisan tanah setinggi 20 cm dipadatkan dulu agar tidak runtuh. Dalam waktu 3 bulan, akhirnya 3 orang--dengan biaya Rp 490 ribu-bisa menyelesaikan 7 kolam, masing-masing berukuran 10 x 10 m. Sementara kanal dan jaringan saluran ke kolam-kolam itu selesai dalam 21 hari dengan biaya Rp 144 ribu. Di kolam ini kemu dian dibiakkan berbagai jenis ikan. Antara lain 5.000 ekor ikan nila dengan kepadatan rata-rata 10 ekor per m2. Meski sampai hari ke-10 sekitar 500 ekor mati, pertumbuhan ikan kemudian membaik. Dari panjang semula rata-rata 48 mm, dua minggu kemudian ikan itu sudah mencapai 50 sampai 78 mm. Bahkan di salah satu kolam ikan itu bisa memijah dalam tempo 3 bulan. Kolam-kolam itu letaknya tak berjauhan dari sebuah rumah yang juga dibangun Mukhtar dkk. Berukuran 7 x 5 m ditambah dapur 4 x 4 Tn, bangunan itu sedikit lebih besar daripada rumah transmigrasi, meski bahan dan harganya hampir sama. Di belakang rumah itu dibuat kandang untuk pemeliharaan unggas. Modal untuk semua itu diperoleh dari Pemerintah Daerah Riau melalui Unri sebesar US$ 3.000 (Rp 2 juta) dan US$ 8.500 (Rp 5,7 juta) dari IFS (International Foundation for Science) Swedia. Sebagian kandang ayam dibuat di atas kolam. Kotoran unggas itu yang jatuh ke kolam langsung jadi sumber makanan ikan. "Tak ada yang terbuang dan tak mencemarkan lingkungan," ujar Mukhtar. Dan bila kolam dikeringkan, kotoran di dasarnya bisa pula dijadikan pupuk untuk lahan pertanian. Ternak ayam di sana dalam 7 hari bisa bertambah 29 gram, bahkan ada yang bisa 38,5 gram, tapi masih di bawah pertambahan ayam ras yang dipelihara di lahan kering. Itik bisa gemuk tapi tak mau bertelur. "Mungkin pengalaman memeliharanya yang kurang," kata Mukhtar. Ternyata hampir semua tanaman palawija dan sayuran bisa tumbuh, meski agak lambat. Hanya padi yang belum sempat dicoba Mukhtar dkk. Karena sasaran utama penelitian ini untuk melihat kemungkinan peragaan jenis tanaman pekarangan. Memang ikhtiar Mukhtar ini bukan semata-mata karena ratap para transmigran di Riau itu. "Duapuluh tahun lagi akan timbul masalah keterbatasan lahan kering," ujar Mukhtar, ahli perikanan jebolan Jepang. "Mau tak mau kawasan rawa bakal jadi sasaran, dan jika ilmunya tepat, lahan itu bisa memberi sumbangan berarti." Namun persoalannya tak gampang. Sudah sekitar 100 ribu ha kawasan pasang surut dan rawa dibuka di Riau dengan biaya sekitar Rp 12 milyar. Toh Riau (berpenduduk 2,1 juta)--menurut Gubernur Imam Munandar--masih tetap minus 140 ribu ton beras setahun. Sementara produksi ikan, begitu trawl dihapus dari laut, merosot sampai 30%.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus