BANYAK peternak sapi perah Indonesia berpengalaman pahit seperti
Haji Atja Suhanda. Pabrik susu yang ada sekarang hanya menyerap
146.950 liter per hari, sementara produksi kaum peternak tahun
ini ditaksir mencapai 263.590 liter per hari. Gerakan mengimpor
sapi perah meningkat sejak tahun 1979, tapi usaha pengawetan
susu tercecer di belakang.
Haji Atja Suhanda, peternak di Desa Kebunpedes, Bogor, biasanya
mengirim susu sapinya ke pabrik PT Indomilk di Jakarta. Ada
kalanya pabrik menolak susunya--dengan ala.san di bawah kualitas
pabrik. Bisa saja haji itu menjual langsung kepada konsumen,
tapi produksi 13 ekor sapinya, 80 liter per hari, tentu tak
semua laku diecer hari itu juga. Tangki pendingin milik koperasi
peternak hanya mampu mengawetkan susu itu selama 24 jam.
"Setelah itu susu jadi rusak," kata Pak Haji.
Tapi jangan buang ke kali! Sekarang, bila pabrik menolak, dia
bisa mengirim produksinya ke Departemen Biokimia IPB. Di sana
susu itu dipasturisasikan, dicampur sedikit dengan gula dan
cokelat. Setelah dikemas dalam kantung plastik 200 cc, susu
segar itu dijual kepada mahasiswa Rp 100 per kantung. Harga
masih murah dibanding susu keluaran pabrik PT Ultra Jaya
Milk--Rp 250 per kartun 250 cc.
Cukup laris susu itu, kata Dr. Aisjah Girindra. Ketua Lembaga
Pengabdian pada Masyarakat -- IPB itu di kampus dapat julukan
pedagang susu. Dia merintis penggunaan plate heat exchanger
(PHE) atau lempeng pengubah panas dalam mempasturisasikan susu.
Prinsip kerja alat ini sebenarnya sama dengan mesin pasturisasi
yang dipakai pabrik pengawetan susu--seperti di PT Ultra Jaya
Milk--yaitu pemanasan tinggi dalam tempo singkat. Dengan
pemanasan itu (biasanya sampai 70øC) semua jasad renik atau
bakteri akan mati, dan susu tetap segar.
Bentuknya sederhana, dan harganya murah. "Sehingga alat ini
cocok untuk koperasi susu yang modalnya lemah," kata Aisjah.
Harga alat pasturisasi ini --dengan kapasitas 500 liter per
jam--cuma Rp 4 juta satu set. Tapi, menurut Aisjah, suatu unit
usaha yang terdiri dari lahan, gedung, alat kemas, kamar
pendingin, liesel penggerak, pompa air, dan sebagainya, mungkin
mencapai Rp 44,5 juta. Ini masih mungkin terjangkau oleh
koperasi .
Gedung yang dimaksud di sini bukan yang mentereng. Ruangan PHE
di Departemen Biokimia IPB itu, misalnya, hanya 5 kali 5 meter.
PHE terdiri dari lempengan-lempengan kecil (3 kali 10 cm) logam
tahan korosi (stainless steel) yang dihubungkan satu sama lain,
sehingga membentuk parit-parit kecil. Mirip radiator mobil.
Pada tiap parit kecil yang licin itu dialirkan susu, air panas,
dan air dingin. Sebuah Pompa Sentrifugal (CP) akan memompakan
susu dari tangki ke dalam parit-parit, kemudian dari arah
berlawanan dipompakan pula ke parit-parit lain yang terisolisasi
air yang sudah dipanaskan dalam suhu tertentu. Air itu berfungsi
untuk memanaskan susu sampai 70øC.
Biasanya setelah 15 detik, susu itu dianggap sudah bersih
bakteri, sementara, "hanya terjadi sedikit mungkin perubahan
rasa, komposisi dan nilai nutrisinya dibanding susu semula,"
kata Aisjah . Maka ke dalam parit lain dialirkan air dingin
untuk menurunkan kembali suhu susu itu. Semuanya berlangsung
dengan merata, berkat susu, air panas, dan dingin yang mengalir
pada parit-parit begitu tipisnya.
Lewat pipa-pipa, susu yang sudah dipasturisasikan dipompakan ke
dalam kemasan plastik. sereslah sudah. Sekarang susu itu bisa
awet 4 sampai 5 hari dalam keadaan cair--malah bisa bertahan
satu minggu bila disimpan dalam keadaan beku di dalam lemari
pendingin.
PHE memang bukan barang baru, terutama bagi peternak sapi perah
di luar negeri. PHE yang ada di Biokimia IPB itu--tipe Junior
N640--diimpor enam bulan yang lalu dari Australia. Tapi, menurut
Aisjah, kecuali lempengan logam itu, komponen lainnya sudah bisa
dibuat oleh pabrik logam di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini