ISUNYA dimulai oleh sebuah berita yang dimuat Yomiuri Shimbun.
Koran Jepang itu mengatakan tanggal 21 Oktober lalu sebuah kapal
selam angkatan laut Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) berhasil
menembakkan peluru kendali yang dapat mencapai sasaran sejauh
1.200 km. Dikatakan pula bahwa dalam waktu sepuluh hari
berikutnya percobaan lain akan dilakukan. Kabar itu kemudian
diperkuat oleh Xinhua, kantor berita milik Beijing.
Sudah sejak 1 Oktober RRC mengumumkan apa yang dikatakannya
rencana percobaan peluncuran roket. Ia pun memperingatkan agar
lalu lintas laut menjauhkan diri dari Laut Cina bagian timur
sebelah utara Taiwan dan sebelah barat Okinawa.
Sebenarnya sudah dari bulan Mei tahun 1980 Cina melakukan
serangkaian percobaan yang disebutnya sebagai peluncuran "roket
pembawa". Tetapi baru kali inilah sebuah kapal selamnya berhasil
meluncurkan peluru kendali. Di masa dekat tak mustahil kalau
roket itu sanggup membawa kepala nuklir. Mengingat RRC sejak
tahun 60-an merupakan salah satu pemilik senjata dahsyat itu.
Para ahli militer dan strategi Barat umumnya menduga bahwa roket
itu memiliki daya capai sekitar 750 sampai 1.500 mil laut. Sama
dengan roket-roket polaris Amerika.
Menurut ukuran Barat, senjata semacam itu masih terbilang
primitif. Diperkirakan paling tidak-RRC masih memerlukan waktu
lima tahun lagi untuk mengembangkan teknologinya buat
menjadikannya operasional. Namun, tak urung itu telah
menempatkan Beijing ke dalam "klub elite" pemilik senjata itu
bersama dengan Amerika, Inggris, Uni Soviet dan Prancis.
Ada beberapa "kebetulan" yang patut mendapat perhatian dalam hal
peluncuran roket itu.
Pertama, peristiwa itu terjadi setelah kongres partai yang baru
saja berakhir beberapa pekan yang silam. Ada dugaan bahwa
kebijaksanaan Deng Xiaoping untuk membongkar rel revolusi Maois
telah mendapat tantangan keras dari tentara. Para jenderal
senior TPR umumnya tak menyetujui program depolitisasi tentara
dan ditinggalkannya konsep perang rakyat Mao dalam strategi
militer.
Peluncuran itu, sebagai konsumsi dalam negeri, barangka1i untuk
menggaris-bawahi bahwa konsep perang rakyat sudah kuno. Dengan
adanya senjata mutakhir itu TPR yang terdiri dari 4 juta serdadu
dengan peralatan yang sudah usang harus dikurangi dan
dimodernisasi.
Ini sejalan dengan proses pelangsingan administrasi dan
personil, dan sesuai pula dengan program Empat Modernisasi.
Konsep perang rakyat yang hendak "menggulung musuh dalam lautan
manusia" sudah ketinggalan zaman. Dalam perang modern di masa
depan, saling melihat musuh tak penting lagi. Yang perlu cuma
tinggal tekan tombol saja.
Pembaharuan ideologi dan strategi ini diperkuat dengan kampanye
mengkritik bahaya kekiri-kirian yang sekarang sedang berjalan
dalam tubuh TPR. Renmin Ribao (Harian Rakyat) dan Jiefangjunbao
baru-baru ini memuat tulisan yang menyerang ideologi 'kiri" yang
menghalangi kemajuan dan modernisasi.
Kedua, peristiwa itu terjadi di kala Cina membuka lagi
perundingan dengan "Uni Soviet setelah terputus selama tiga
tahun. Pembicaraan pendahuluan yang diadakan di Beijing
nampaknya tidak menghasilkan apa-apa. Beijing menuntut tiga hal
yang sukar dikabulkan oleh Moskow: penarikan tentara dari
perbatasan Cina, penarikan mundur tentara pendudukan Soviet di
Afghanistan, dan penghentian dukungan atas ekspansionisme
Vietnam di Kampuchea. Walaupun tidak menghasilkan apa-apa, di
tengah kekecewaan Beijing terhadap kebijaksanaan pemerintah
Reagan dalam masalah Taiwan, kedua pihak setuju untuk bertemu
lagi di Moskow.
Peluncuran roket dengan demikian merupakan isyarat buat Moskow,
Washington dan Taipei. Di satu pihak ia memperkuat posisi Cina
dalam perundingan dengan Moskow. Dan di pihak lain menunjukkan
kepada Taipei dan Washington bahwa pilihan kekerasan senjata
bisa saja ditempuh oleh RRC dalam masalah Taiwan. Ini diperkuat
oleh kenyataan bahwa percobaan dilakukan di Laut Cina. Padahal
di masa-masa lalu percobaan penembakan roket RRC selalu
dilakukan di Pasifik .
PERKEMBANGAN baru ini tentu saja membawa akibat besar dan
bergema terhadap strategi militer di Asia pada umumnya. Armada
Soviet--dan tentu saja Amerika di Pasifik dalam beberapa tahun
mendatang harus sudah mempertimbangkan kehadiran angkatan laut
RRC di sana. Selama ini kekuatan laut TPR cuma dianggap sebagai
tentara penjaga pantai belaka. Ini juga akan merupakan cambuk
bagi Jepang untuk memperbesar angkatan bersenjatanya.
Yang paling dini bereaksi keras adalah Taiwan. Tentu saja karena
percobaan peluncuran itu dilakukan hanya kurang lebih 300 mil
laut sebelah utara negara pulau itu. Menteri Penerangan James
Soong mengatakan bahwa percobaan senjata itu membuktikan sekali
lagi bahwa para penguasa daratan Cina bertekad merebut Taiwan
dengan kekerasan senjata. Mereka, kata Soong, memperlagakan
kekuatan senjata untuk memecahkan konflik internasional, dan
untuk mengalihkan perhatian dunia dari kekalutan dalam
negerinya.
RRC bukan saja merupakan ancaman bagi Taiwan, tetapi juga
terhadap Pasifik Barat dan Asia Pasifik pada umumnya. Peluncuran
roket tersebut, menurut Soong, "merupakan jawaban jitu atas
tanggapan yang meremehkan bahwa tentara komunis Cina masih
menggunakan tenaga hewan untuk menyeret perlengkapan perang
mereka, dan dengan demikian bukan merupakan ancaman terhadap
Taiwan."
Para ahli strategi Asia Tenggara yang melihat RRC sebagai
ancaman jangka panjang, juga sudah harus memikirkan strategi
baru. Walaupun Jenderal Zhang Aiping, Wakil Kepala Staf TPR tak
lama setelah percobaan itu mengatakan bahwa negara-negara lain
di Asia khususnya tak perlu khawatir. "Suksesnya penembakan dari
kapal selam itu adalah demi keamanan nasional sendiri dan
perdamaian dunia pada umumnya. Dengan pengembangan senjata
tersebut tidak berarti bahwa RRC berniat untuk menggerogGti
kedaulatan negara lain. Kami harus segera memodernisasikan
ketangguhan pertahanan kami buat mengimbangi dan melampaui daya
serang pihak yang punya potensi untuk jadi musuh," tambah
Jenderal Zhang lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini